TRIBUNNEWS.COM - Berbagai peristiwa penting terjadi di dunia dalam 24 jam terakhir.
Berikut rangkuman berita internasional terpopuler Tribunnews.com, Minggu 25 Mei 2025.
Pemerintahan Amerika Serikat di bawah pimpinan Donald Trump resmi mencabut sanksi ekonomi menyeluruh terhadap Suriah.
Langkah ini diumumkan oleh Departemen Keuangan AS pada Jumat (23/5/2025), menandai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Negeri Paman Sam menyusul berakhirnya kekuasaan rezim Bashar al-Assad.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Times Of Israel, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan pencabutan sanksi ini diusulkan Presiden Trump setelah bertemu dengan pemimpin baru Suriah, Ahmed Al-Sharaa, di Arab Saudi.
Adapun pencabutan sanksi memungkinkan Suriah untuk kembali berbisnis dengan AS dan mitra-mitra dagangnya lainnya, setelah ekonomi negara itu hancur akibat perang saudara selama 13 tahun.
Langkah ini termasuk penerbitan General License 25 oleh Departemen Keuangan AS, yang memungkinkan transaksi dengan pemerintah transisi Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed al-Sharaa, termasuk bank sentral dan perusahaan milik negara.
Selain itu, pemerintahan Trump memberikan pengecualian selama 180 hari terhadap sanksi yang diberlakukan oleh Caesar Syria Civilian Protection Act.
Bertujuan untuk mendorong investasi baru dan memastikan penyediaan layanan penting seperti listrik dan air, serta transaksi yang berkaitan dengan produk minyak dan gas Suriah.
Universitas kondang di Amerika Serikat (AS), Harvard mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Trump buntut perseteruan terkait kebijakan mahasiswa internasional.
Dalam keterangan resmi yang dikutip The Guardian, gugatan diajukan Universitas Harvard ke pengadilan federal pada Jumat (24/5/2025).
Adapun isi gugatan lembaga pendidikan itu berupa protes atas langkah pemerintah Trump yang mencabut sertifikasi Student and Exchange Visitor Program (SEVP) milik Harvard.
Tanpa sertifikasi tersebut, Harvard tidak dapat lagi menerbitkan dokumen imigrasi yang diperlukan untuk visa pelajar.
Akibatnya, lebih dari 7.000 mahasiswa internasional terancam kehilangan status hukum mereka di Amerika Serikat, harus menghentikan studi, atau bahkan dideportasi.
Situasi ini juga memicu ketidakpastian akademik dan emosional bagi mahasiswa, serta menimbulkan risiko reputasi bagi Harvard sebagai institusi pendidikan global.
Menanggapi hal tersebut, Harvard mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan federal Boston, menyebut tindakan pemerintah sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap Konstitusi AS" dan bentuk pembalasan politik yang mengancam kebebasan akademik.
Dalam dokumen gugatan setebal 72 halaman, Harvard menekankan bahwa tanpa mahasiswa internasional, identitas dan misi universitas akan terganggu secara signifikan.
(Tribunnews.com)