Membaca Arah Pergerakan Hukum di Era Presiden Prabowo: Sebuah Catatan terhadap RPJMN 2025-2029
Wahyu Aji May 25, 2025 04:31 PM

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan

TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan arah pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Dari rencana tersebut terlihat gambaran strategi implementasi Program Asta Cita Presiden dan Rencana Pemerintah Jangka Panjang Nasional 2025-2045 atau lebih banyak dikenal dengan tagline “Menuju Indonesia Emas”.

Terdapat delapan sasaran prioritas nasional dengan segala indikator dan program besar yang akan menjadi prioritas seluruh program Kementerian dan lembaga. Bidang hukum sendiri masuk dalam delapan sasaran prioritas nasional tersebut.

RPJMN 2025–2029 merupakan dokumen strategis nasional yang mengarahkan pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan, termasuk di bidang penegakan hukum.

Dalam kerangka Indonesia Emas 2045, penegakan hukum menjadi salah satu pilar penting untuk memastikan keadilan, ketertiban, serta perlindungan hak asasi manusia.

Dalam RPJPN 2025-2045 tahap I dalam mencapai pembangunan nasional melalui bidang hukum, fokus kebijakan diarahkan pada pembaharuan substansi hukum, pembangunan budaya hukum, transformasi kelembagaan hukum untuk mencapai tujuan hukum (keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan) dan perdamaian berasaskan Pancasila.

Serta tata kelola keamanan dalam negeri, transformasi pada RPJPN Tahap I tersebut diarahkan pada pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan dan infrastruktur pendukungnya. 

Oleh sebab itu RPJMN 2025-2029 di bidang hukum ini seharusnya diarahkan untuk melakukan transformasi di bidang hukum tersebut.

Pada Prioritas Nasional Nomor 7 (tujuh) RPJMN 2025-2029, program pemerintah di bidang hukum mengarah pada Penguatan Reformasi Politik, Hukum, dan Birokrasi serta Memperkuat Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Narkoba, Judi, dan Penyelundupan.

Dalam RPJMN tersebut digambarkan sasaran prioritas nasional di bidang hukum yang menyasar pada beberapa indikator, yakni peningkatan indeks pembangunan hukum, persepsi korupsi, materi hukum, integritas nasional, dan integritas partai politik.

Adapun juga upaya untuk menurunkan angka prevalensi penyalahgunaan Narkoba, disamping indeks-indeks lain yang terkait dengan reformasi birokrasi, seperti indeks reformasi birokrasi nasional, pelayanan publik, sistem pemerintahan berbasis elektronik, dan pelayanan dan pelindungan WNI di luar negeri.

Dibandingkan dengan Program Nawa Cita di era Presiden Jokowi yang juga memiliki RPJMN 2020-2024, sasaran Pemerintah di bidang hukum saat itu diarahkan pada pemantapan stabilitas hukum, keamanan, dan Hak Asasi Manusia.

Sedangkan kesamaan dari program Asta Cita dan Nawa Cita, tetap difokuskan pada pembangunan Sumber Daya Manusia, kelembagaan, dan pembangunan infrastrukturnya.

Melihat dari beberapa program prioritas dan rencana strategi implementasinya tersebut, memang masih belum sepenuhnya dapat tergambarkan upaya apa yang menjadi tujuan dan outcome dari bidang penegakan hukum Pemerintah pada periode ini, walaupun terdapat pula beberapa sasaran bidang hukum yang telah menjadi perhatian besar.

Kita dapat melihat bahwa RPJMN 2025-2029 tersebut sudah mulai menyasar pada beberapa persoalan hukum di masyarakat, namun kita tentu boleh berpendapat bahwa masih ada beberapa persoalan besar dan mendasar yang masih belum terlihat strategi atau upaya penyelesaiannya.

Upaya untuk menciptakan negara hukum sebagaimana amanat Konstitusi secara nyata masih belum sepenuhnya tergambarkan dalam agenda tersebut.

Selayang Pandang RPJMN 2025-2029 di bidang Hukum

Sebagaimana ada dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2025, RPJMN 2025-2029 dibidang hukum mengarah pada penguatan reformasi politik, hukum, dan birokrasi. Selain itu, secara spesifik, Pemerintah merinci prioritas bidang penegakan hukum yakni program pencegahan dan pemberantasan Korupsi, Narkoba, Judi, dan Penyelundupan.

Terdapat beberapa agenda atau program yang saya catat sebagai program yang penting yakni pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan termasuk penguatan terhadap peran perempuan dan generasi muda. Selain itu masih terdapat pula penguatan untuk transformasi kelembagaan.

Selanjutnya saya melihat adanya upaya untuk menciptakan reformasi sistem hukum yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Penguatan untuk transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas merupakan indikator yang sangat penting untuk pembangunan dan fondasi negara hukum yang kuat.

Melihat dari indikator dan target dari program-program tersebut, saya berpandangan bahwa masih terdapat sejumlah agenda reformasi hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan negara hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan. Pertama adalah sorotan saya terhadap orientasi sistem hukum yang terkesan agak elitis dan kurang responsif.

Stigma ini masih menjadi persoalan yang belum terjawab dalam RPJMN 2025–2029. Penekanan pada reformasi kelembagaan, digitalisasi sistem hukum, serta penguatan supremasi hukum telah menjadi wacana, namun ketika dilihat lebih mendetail indikasinya, arah dan tujuannya justru cenderung top-down dan tidak cukup melibatkan masyarakat sipil.

Reformasi hukum semestinya juga menyentuh aspek keadilan substantif, seperti pelibatan masyarakat secara luas atau akses terhadap bantuan hukum bagi kaum miskin dan marginal.

Catatan saya selanjutnya adalah penggunaan pendekatan Restoratif dan Keadilan Sosial yang kini menjadi tren baru penegakan hukum dan peradilan.

Penegakan hukum yang dicita-citakan dalam RPJMN masih terlalu fokus pada aspek penindakan (retributif), sementara pendekatan restoratif, yang menekankan pemulihan hubungan dan keadilan transformatif dan korektif, terlihat masih belum mendapat porsi yang memadai.

Penegakan hukum memang diperlukan untuk dibangun secara tegas dan berani, namun pendekatan restoratif untuk beberapa jenis pelanggaran perlu dikedepankan terlebih dahulu, untuk menghindari over-kriminalisasi, penyalahgunaan kewenangan penegakan hukum, dan pembangunan budaya hukum.

Selanjutnya, masih adanya keraguan masyarakat dalam program Pemberantasan Korupsi. Sasaran terhadap pemberantasan korupsi dalam RPJMN menjadi salah satu titik fokus utama, namun tidak dibarengi dengan strategi yang lebih komprehensif dari sebelumnya. Pembangunan sistem dan budaya anti korupsi masih hanya sebatas sosialisasi tanpa langkah tegas dan jelas.

Komitmen yang konkrit belum tergambarkan dalam RPJMN ini. Program-program yang ada masih menggunakan cara lama dan cenderung kurang inovatif dan efektif. Pola pengawasan, penindakan atau penegakan hukum, serta pembangunan transparansi sistem secara luas belum tergambarkan atau terealisasi dalam program sasaran prioritas ini.

Sistem akuntabilitas dan pengawasan masih banyak mengandalkan subyektivitas manusia yang terkadang lemah dan penuh dengan celah penyalahgunaan. 

Pola penegakan hukum belum menyasar pada level implementasi dan pendekatan yang efektif secara khusus. Beberapa kebijakan dan aturan perundang-undangan telah secara tegas mengatur berbagai strategi dan pendekatan, khususnya dalam memerangi tindak pidana atau kejahatan yang bersifat khusus seperti Narkotika, Penyelundupan atau Pencucian Uang. Bahkan kejahatan yang mengarah pada eksploitasi anak dan perempuan masih kerap terjadi.

Kini mulai marak dengan pemanfaatan teknologi seperti tindak pidana di ruang siber. Pemerintah telah menyadari persoalan ini namun seperti masih tidak memiliki pola yang efektif untuk penanggulangannya.

Berbagai pendekatan telah diatur, namun tetap saja menggunakan pola penegakan hukum yang tidak proporsional. 

Ketimpangan antara wilayah dan pusat masih ada dan nyata. Penegakan hukum yang adil memerlukan pemerataan infrastruktur hukum—termasuk jumlah hakim, jaksa, pengacara, serta fasilitas pengadilan—yang saat ini masih sangat timpang antara wilayah barat dan timur Indonesia. RPJMN perlu memiliki pendekatan afirmatif dalam mengatasi disparitas ini, bukan sekadar target abstrak.

Menarik untuk dicatat adalah permasalahan disparitas ini selalu menjadi problem internal dan mental di tata kelola SDM di berbagai institusi.

Banyak yang berupaya untuk ditempatkan di Jakarta atau setidaknya Pulau Jawa atau kota-kota besar sehingga terasa seperti “lahan basah” bagi anggota institusi penegak hukum.

Kebutuhan untuk penyelesaian mafia tanah dan lingkungan hidup sebagai salah satu fokus penataan hukum dan penegakannya yang tegas tidak terilustrasikan dalam RPJMN ini. Salah satu masalah kronik yang masih kerap terjadi di Indonesia adalah permasalahan agraria dan lingkungan.

Selain kesadaran hukum dan kelemahan-kelemahan administratif, mafia tanah, mafia peradilan, dan pelanggaran lingkungan hidup masih eksis karena banyaknya celah di level implementasi. 

Pembentukan satuan tugas khusus pada periode sebelumnya belum efektif untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Demikian pula dalam berbagai bidang lainnya yang memungkinkan celah penyelundupan, suap, dan berbagai kecurangan-kecurangan yang merugikan negara dan masyarakat masih sering terjadi. 

Jika kita melihat di media massa maupun media sosial, kita masih sering melihat fenomena sengketa tanah berujung konflik, polusi udara oleh industri, barang ilegal, dan disertai dengan pelanggaran oknum pemerintah. Dalam hal ini pengawasan menjadi kata kunci yang selalu terabaikan dan tidak efektif. 

Meskipun telah ada pengawasan internal dan eksternal, celah pelanggaran selalu terjadi dan seolah tidak memiliki efek jera.

Terkait dengan HAM yang seperti menjadi bias di dalam program pengembangan budaya hukum dan strukturnya. Pelanggaran HAM dan budaya kekerasan atau premanisme yang masih ada. Pemerintah saat ini sepertinya merasa bahwa penegakan hukum telah berhasil menyelesaikan permasalahan HAM.

Pada kenyataannya, kemajuan dalam penanganan kasus-kasus HAM masih sangat lambat dan terkesan terpinggirkan atau bahkan dipetieskan.

Penegakan HAM menjadi penting untuk memberi tanda kepada seluruh elemen bangsa bahwa negara Indonesia sangat menghormati HAM dan Hak Konstitusional secara bertanggungjawab. Perilaku dengan kekerasan dan ancaman seharusnya dapat tertanggulangi, seperti fenomena premanisme.

embangunan budaya hukum dan penindakan secara tegas seharusnya diberlakukan tatkala menghadapi fenomena pelanggaran HAM dan budaya premanisme. Konstelasi HAM seharusnya selalu dikedepankan dalam setiap perumusan dan pembentukan aturan dan kebijakan maupun pengawasan implementasinya. 

Terkait dengan dukungan terhadap penciptaan sistem peradilan yang bersih, adil, mudah diakses, dan independen.

Saat ini sektor penegakan hukum telah menemukan celah yang cukup lebar pada sistem peradilan yakni pengaruh mafia hukum dan peradilan.

Meskipun ketentuan perundang-undangan telah mengatur dan menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, namun terdapat beberapa sarana yang perlu dibangun untuk mendukung penciptaan sistem peradilan yang bersih, cepat, dan adil; seperti pengaturan, pengawasan, dan keterbukaan atau transparansi.

Prinsip check and balances tetap berjalan terutama dalam upaya bersama untuk menciptakan sistem dan Sumber Daya Manusia lembaga peradilan yang adil, merdeka, dan profesional.

Mengenai salah satu prioritas utama dalam RPJMN 2025-2029 ini yakni untuk mendukung optimalisasi pendapatan negara atau perekonomian nasional, beberapa langkah dan strategi kebijakan dirumuskan untuk meningkatkan pendapatan dan keuangan negara, termasuk dari sektor penegakan hukum.

Hal-hal baru seperti optimalisasi aset BUMN, pemberian insentif pajak dan investasi, kuota impor, hingga hilirisasi diharapkan mampu mendobrak roda perekonomian nasional. 

Akan tetapi pengawasannya, termasuk dari sisi penindakan atau penegakan hukum, perlu untuk terus dioptimalkan.

 Oleh sebab itu, implementasi RPJMN di sektor penanggulangan kejahatan korupsi dan korporasi seharusnya memperhatikan faktor penunjang untuk mengedektifkan kemampuan lembaga penegak hukum dan pengawasnya.

Road map pencegahan kebocoran negara dan penindakan terhadap pelanggarannya secara tegas perlu untuk dirumuskan secara lebih komprehensif dan bertolok ukur atau memiliki indikator yang jelas.

Satu hal lain yang dapat menjadi perhatian kita bersama adalah adanya upaya transformasi pada Kejaksaan sebagai penuntut dan pengacara negara (advocaat general) yang tampaknya menjadi prioritas pemerintah saat ini, dibandingkan dengan transformasi lembaga lainnya. Transformasi Kejaksaan memiliki tempat khusus di hati Pemerintah untuk dapat dioptimalkan.

Hal ini tidak mengherankan jika dilihat dari hasil kinerja Kejaksaan beberapa waktu belakangan ini yang berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi besar seperti PT Timah dan Pertamina, termasuk pengungkapan kasus suap hakim yang sangat fantastis jumlah sitaannya. 

Seusai itu Kejaksaan seolah menjadi sorotan, termasuk dalam beberapa isu hangat seperti pro dan kontra pemberian pengamanan Kejaksaan oleh TNI, pembututan Kejaksaan oleh oknum Densus, hingga penggantian Jaksa Agung.

Namun bagaimana pendapat publik terkait dengan kinerja Kejaksaan disamping bidang penegakan hukum yang dinilai cukup berhasil? 

Kejaksaan telah berhasil mengungkap sejumlah kasus besar terutama di kasus korupsi, termasuk klaim bahwa Kejaksaan telah berhasil menyelematkan kerugian negara. Hal ini tentu patut diapresiasi mengingat kondisi perekonomian masyarakat dan global yang sedang menghadapi krisis. 

Apalagi masyarakat kini belum terpuaskan atau belum percaya dengan kemampuan dan komitmen Pemerintah untuk memberantas korupsi.

Akan tetapi, perlu untuk dicatat bahwa dukungan terhadap Kejaksaan dan seluruh lembaga penegakan hukum saat ini masih dapat dikatakan kurang memadai.

Isu politisasi maupun intervensi masih sering mencuat, terutama dalam beberapa penanganan kasus, seperti kasus korupsi impor gula maupun kasus yang terkait dengan UU ITE yang terkait dengan penghinaan terhadap Presiden atau Pemerintah.

Dari catatan-catatan tersebut, saya melihat bahwa RPJMN Tahap I 2025-2029 ini telah menyasar pada beberapa hal yang mendasar yakni reformasi sumber daya manusia (kultur) dan kelembagaan.

Transformasi yang direncanakan terhadap bidang penegakan hukum telah mengarah pada pembangunan budaya dan substansi hukum yang ingin menyeimbangkan prinsip-prinsip dalam tujuan hukum. 

Akan tetapi, RPJMN ini masih menyisakan sejumlah agenda dalam jangka pendek dan menengah yang harus dilakukan untuk mendukung RPJPN dan menuju agenda Indonesia Emas 2045 yang selalu diwacanakan.

 Kita semua menginginkan sistem peradilan dan penegakan hukum yang tidak hanya terpadu, melainkan juga berbasis keadilan dan HAM, akuntabel-responsif, serta menjamin keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.

Saya menggarisbawahi perlunya sebuah pembangunan hukum secara filosofis yang menghormati HAM dan Konstitusi, serta mampu menjawab berbagai tantangan, termasuk tantangan global. RPJMN harus mencerminkan peta jalan (road map) yang jelas dan terukur target dan tujuannya.

Untuk menghadirkan negara hukum yang konsiten dan berkelanjutan, maka dibutuhkan pembangunan budaya, struktur, dan susbtansi hukum yang memadai. Jaminan terhadap HAM dan demokrasi yang adil dan berasaskan Pancasila perlu diimplementasikan dalam kebijakan maupun praktek penegakan hukum di lapangan.

Negara perlu memikirkan penciptaan sistem hukum yang merdeka, independen, atau bebas dari intervensi dan pengaruh dari luar yang menyalahgunakan sistem keadilan. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.