Organisasi kemasyarakatan (ormas) GRIB Jaya yang menduduki lahan BMKG di Pondok Aren, Tangerang Selatan, ditertibkan. Penertiban ini berdampak kepada pedagang yang menyewa lapak di lahan BMKG kepada GRIB Jaya.
Dirangkum detikcom, Senin (26/5/2025), BMKG dibantu petugas Satpol PP membongkar posko GRIB Jaya yang dibangun di atas lahan BMKG pada Sabtu (24/5). Sedangkan polisi menangkap 17 orang terkait kasus tersebut. Beberapa pelaku di antaranya terindikasi melakukan pungutan liar ke pedagang pecel lele dan pemilik pasar hewan kurban.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan sebanyak 17 orang yang terjaring dalam Operasi Berantas Jaya, 11 di antaranya merupakan anggota ormas GRIB Jaya. Sedangkan enam lainnya adalah yang mengklaim sebagai ahli waris.
"Mereka melakukan penguasaan lahan tanpa hak milik BMKG. Kemudian memberikan izin kepada beberapa pihak, beberapa pengusaha lokal, ya tadi ada pengusaha pecel lele, kemudian pengusaha pedagang hewan kurban, itu dipungut secara liar, pengusaha pecel lele dipungut Rp 3,5 juta per bulan," kata Kombes Ade Ary kepada wartawan di lokasi, Sabtu (24/5).
Selain pecel lele, anggota ormas itu juga memungut puluhan juta dari pedagang hewan kurban. Korban membayar uang itu untuk keperluan menjajakan hewannya dari tanggal 10 Mei hingga hari Raya Idul Adha.
"Kemudian dari pengusaha pedagang hewan kurban, itu telah dipungut Rp 22 juta," jelasnya.
Modus para anggota ini mengklaim bahwa mereka menguasai lahan tersebut. Mereka pun menjanjikan tidak ada masalah hingga keamanan selama mereka membuka lapaknya.
"(Uang) Sudah ditransfer ke rekening saudara Y, yang merupakan oknum dari ketua Ormas GJ Tangsel," imbuh dia.
|
Kapolres Tangerang Selatan AKBP Victor Inkiriwang sempat berdialog dengan kedua pedang tersebut. Pedagang pertama adalah Darmaji, pemilik lapak sea food.
Victor bertanya kepada Darmaji awal mula membuka usaha restorannya di lahan tersebut. Darmaji sudah membuka lapaknya sekitar lima bulan di tempat itu.
Darmaji pun mengaku ditawari oleh Ketua RT di lingkungan rumahnya untuk membuka lapak di lahan itu. Kemudian dia mengaku membayar sewa bulanan untuk mendapat akses berjualan di sana.
"Tadinya ditawarin sama RT ada lapak di sini," kata Darmaji saat ditanya Victor di sela-sela penertiban lahan, Sabtu (24/5).
"Buka lapak di sini? Izinnya dari? Pak RT? Ada iuran?" tanya Victor.
"Nggak ada, sewa bulanan aja," jawab Darmaji.
"Diserahkan ke siapa sewa bulanannya?," kata Victor.
"Ditransfer, Pak," sambung Darmaji.
"Namanya?" tanya Victor lagi.
"Pak Yani," ucap Darmaji.
"Siapa Pak Yani?," tukas Victor.
"Ketua GRIB," jawab Darmaji.
Selama lima bula buka lapak, Darmaji mengaku rutin membayar uang sewa. Uang itu dikirim lewat transfer bank ke rekening Ketua GRIB Kota Tangsel Yani Tuanaya.
"(Uang sewa) Rp 3,5 juta," kata Darmaji
Sejak membuka lapaknya di sana, Darmaji tidak mendapat penjelasan terkait masalah atau siapa pemilik lahan tersebut. Dia hanya memberi uang sewa keperluan lapak untuk keamanan hingga biaya listrik.
"Iya, uang sewa dan listrik," ucap Darmaji saat ditanya apakah Rp 3,5 juta itu untuk keamanan hingga biaya listrik.
Selanjutnya pedagang sapi kurban di lokasi Ina Wahyuningsih turut diajak berdialog oleh Victor. Dia punya 213 sapi yang kini diletakkan di lahan tersebut.
![]() |
Ina mengaku sudah menggunakan lahan itu sejak 10 Mei lalu. Sapi-sapi yang dijualnya didatangkan langsung dari Bali.
Saat ditanya Victor apa yang membuatnya memakai lahan tersebut untuk berdagang, Ina bercerita karena dirinya sempat bingung mencari lahan kosong. Ina pun mengaku mengenali seorang anggota GRIB dan tahu ada lahan kosong yang diduduki ormas itu.
"Dan saya lihat lahan ini kan ada kosong, saya bertanya lah sama mereka," ucap Ina.
"Siapa?" tanya Victor.
"Keke sama Bang Jamal," sambung Ina.
"Sebagai apa?"
"Bang Jamal itu sekjen dari GRIB, kalo Keke Ketua Ranting dari GRIB. Saya bertanya bisa nggak kita pakai lahan ini? Terus saya harus hubungin siapa? Terus Ketua Keke bilang, 'Saya telepon dulu ya Mpok Ketua Yani.' Waktu itu saya juga nggak kenal sama Ketua Yani," jelas Ina.
"Akhirnya telepon dan kita janjian, dan Ketua Yani ACC, dia bilang 'nggak apa-apa, Pak, aman nih, Pak.' Ini punya siapa? 'Aman, Bu, ini kekuasaan kita lah'. Maksudnya bahasanya itu ahli waris. Disuruh kita yang nunggu, kalo aman ya sudah," ucap Ina.
Setelah dirasa oke, keduanya pun bernegosiasi untuk pemakaian lahan itu. Ina mengaku biasanya sewa lahan Rp 10 juta hingga hari lebaran haji tiba.
"Satu lahan itu untuk sampai kelar. Tapi kan kita selalu ada koordinasi sama RT, RW, Lurah, Babinsa semuanya, itu kan perlu uang. Akhirnya Ketua Yani mengajukan 'Gimana kalo include aja. Ibu nggak tahu-menahu soal RT-RW semuanya' mereka yang urus include minta 25 iya kan? Akhirnya saya negosiasi setelah saya negosiasi deal lah di angka 22," kata Ina.
"(Uang) Rp 22 juta itu dengan bahasa mereka mau, semua koordinasi tentang semuanya lah di dalamnya ini, termasuk semuanya include lah, akhirnya saya setuju. Saya bilang saya lunasin setelah sapi turun," sambungnya.
Sama dengan Darmaji, usaha sapi milik Ina juga mengirimkan upetinya ke Yani Tuanaya. Dia mengirimkan uang sebesar Rp 22 juta sebagai 'uang koordinasi'.
Kini keduanya harus gigit jari. Mereka dilarang berjualan lagi lahan tersebut. Darmaji harus membongkar lapaknya dan pindah ke tempat lain. Namun, Ina mendapat keringanan untuk tetap di sana sampai hari raya Idul Adha tiba.