TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebutuhan daya listrik yang semakin meningkat mendorong perusahaan penyedia energi listrik membangun dan memperluas infrastruktur grid baru.
Lonjakan permintaan daya tersebut datang dari berbagai sektor industri seperti data center, jaringan telekomunikasi 5G dan lain-lain.
Namun semakin kompleksnya jaringan saluran listrik yang menghubungkan pembangkit dengan jaringan transmisi dan gardu induk hingga ke pengguna akhir membutuhkan manajemen sistem yang lebih andal dan efisien.
Tujuannya agar perusahaan bisa memantau setiap potensi gangguan secara real time (seketika) sekaligus mencegah potensi hilangnya daya (loss).
Pemerintah Indonesia menargetkan penambahan jaringan transmisi listrik sepanjang 48.000 km untuk mendukung peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar 71 GW hingga 2034.
"Kementerian ESDM dan PLN sudah meresmikan roadmap Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan di dalamnya tercantum perkembangan kebutuhan beban listrik dari industri digital seperti dari data center, jaringan 5G, cloud computing, sektor industri dan transformasi digital sektor industri secara umum," ungkap EVP Perencanaan Strategis Distribusi PT PLN (Persero) Ignatius Rendroyoko.
Rendryoyoko mengatakan, sektor-sektor industri tersebut membutuhkan pasokan daya yang makin besar dan masif.
"PLN sebagai BUMN harus mampu menyediakan pasokan energi listrik yang cukup dan kemampuan distribusinya yang reliable, adaptif, modern dan low cost agar harga listrik tetap terjangkau," ungkap Rendroyoko di acara talkshow "MCSeT Global Launch – Digitally Intelligent, Reliably Robust," yang diselenggarakan Schneider Indonesia, Selasa, 27 Mei 2025.
Digital Based Monitoring System
Dia menambahkan, jika mengacu pada dokumen transformasi digital World Bank, ada 4 langkah utama perusahaan listrik agar kapabel mengantisipasi perubahan dinamika. Salah satunya adalah optimasi grid.
"Dengan menguasai teknologi, perusahaan penyedia tenaga listrik bisa mendeteksi dini dan memberikan respon cepat jika terjadi gangguan pasokan listrik, agar bisa langsung tertangani. Load management system juga bisa dijalankan dengan baik," beber Yoko.
Namun diakui untuk mendukung kondisi ideal tersebut membutuhkan dukungan pendanaan yang tidak sedikit.
"PLN harus punya funding kuat agar bisa mendanai setiap project. Kebutuhan pendanaan akan sangat besar di awal untuk mendukung pengembangan infrastruktur. Tantangan lainnya adalah dukungan sumber daya manusia," sebutnya.
Dia menambahkan, PLN sudah memiliki peta jalan untuk mengimplementasikan Smart Grid Distribution System secara bertahap dan hati-hati.
"Kami juga perlu perkuat infrastruktur terutama di wilayah pelosok yang suplai tenaga listrik masih terbatas," sebut Rendroyoko.
Dia mencontohkan implementasi smart grid system di PLTU Suralaya 9 dan 10 dengan Indonesia Power.
"Begitu kedua PLTU ini bekerja dan memasok sistem daya ke Jawa Bagian Barat makan akan terjadi peribahan besar pasokan daya listrik dari Jawa Bagian Timur ke Jawa Bagian Barat dari biasanya mencapai 2.000 MW turun menjadi hanya 270 MW," sebutnya.
Salah satu perusahaan mitra PLN yang mendukung implementasi Smart Grid Distribution System tersebut adalah Schneider Indonesia.
Melton Chang, Executive Vice President, Power Systems Division, Energy Management Business, Schneider Electric mengatakan, adopsi teknologi digital dalam pengelolaan pasokan daya listrik akan mendukung efisiensi di sektor ketenagalistrikan.
Christopher I. Dartnell, Senior Vice President, Power Systems, Schneider Electric mengatakan, smart grid yang terdigitalisasi sangat penting bagi sistem pasokan energi.
"Pertumbuhan penduduk dan tumbuhnya industri membuat kebutuhan energi melonjak dan pengelolaannya semakin kompleks."
"Karena itu kesinambungan pasokan harus terus dijaga. Terlebih, Indonesia sedang menuju transisi penggunaan BBM ke listrik seperti yang terjadi di sektor transportasi," kata Christopher.
Karenanya, digitalisasi sektor infrastruktur ketenagalistrikan sangat penting sebagai solusi mengatasi kompleksitas tersebut.
Untuk mendukung implementasi smart grid, pihaknya memiliki solusi MCSeT with EvoPacT yang diproduksi di pabrik Schneider Indonesia di Cikarang, Jawa Barat, dengan fokus pasar Indonesia dan pasar Asia Tenggara, Asia Timur dan Australia.
Efisiensi yang didapat ketika menggunakan solusi MCSeT menurut Christopher antara lain terlihat dari uptime.
Panel hubung ini memiliki fitur digital berbasis IoT (Internet of Things) untuk mendukung sistem kelistrikan yang lebih cerdas, efisien, dan tangguh, khususnya untuk pendistribusian energi listrik tegangan menengah.
President Director Schneider Electric Indonesia & Timor Leste, Martin Setiawan mengatakan, solusi MCSeT sangat relevan bagi Indonesia yang sedang menghadapi tantangan elektrifikasi, urbanisasi, serta kebutuhan daya tinggi dari sektor seperti data center dan beragam sektor industri.
MCSeT memiliki kemampuan monitoring digital dan efisiensi berbasis AIoT (Artificial Intelligence of Things) untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik, meminimalisir gangguan.
Teknologi ini juga mendukung target nasional untuk menambah 48.000 km jaringan transmisi dan kapasitas pembangkit 71 GW dalam satu dekade ke depan.
Manfaat langsungnya adalah PLN atau pelaku industri bisa mendeteksi dini, respon cepat serta optimisasi operasi yang membuat biaya bisa ditekan lebih rendah, mengurangi downtime, dan layanan penyediaan energi listrik ke masyarakat makin andal.
"MCSeT ini merupakan solusi digital native. Panel-panelnya sudah digital dan bisa seamless dan simpel jika dikoneksikan ke grid yang baru.
"Ke depan PLN akan membangun grid lebih banyak lagi dan pastinya akan merupakan grid digital yang bisa dimonitor setiap waktu. Karena itu membutuhkan dukungan solusi MCSeT untuk dukung sistem grid di Indonesia," beber Martin Setiawan.
"Kami berharap solusi ini bisa memperkuat backbone kelistrikan nasional," ungkap Martin Setiawan. (tribunnews/fin)