BANJARMASINPOST.CO.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pendidikan gratis tidak hanya berlaku bagi sekolah negeri, tetapi juga mencakup sekolah swasta, merupakan langkah konstitusional yang patut diapresiasi.
Pengamat Pendidikan ULM, Moh Yamin mengatakan, putusan ini mencerminkan semangat kesetaraan dalam pemenuhan hak pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, khususnya anak-anak, tanpa diskriminasi terhadap status lembaga pendidikan.
Implementasi putusan tersebut secara normatif memberikan keleluasaan bagi seluruh warga negara untuk memperoleh akses pendidikan yang setara.
"Namun demikian, dalam praktiknya, permasalahan mendasar yang muncul bukan semata terkait dengan pembebasan biaya, melainkan mengenai kapasitas negara dalam membiayai seluruh lembaga pendidikan, termasuk sekolah swasta,"ungkapnya.
Dikatakanya, sebagaimana diketahui, jumlah sekolah swasta di Indonesia secara kuantitatif lebih besar dibandingkan dengan sekolah negeri.
Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi keuangan negara.
Dalam konteks saat ini, bahkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dialokasikan untuk sekolah negeri pun belum sepenuhnya optimal dalam mendukung kebutuhan operasional.
"Hal ini menunjukkan bahwa realisasi pembiayaan pendidikan gratis bagi sekolah swasta akan memerlukan alokasi anggaran yang jauh lebih besar,"katanya.
Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Meskipun secara teoritis angka ini cukup besar, namun dalam implementasinya, dana tersebut tidak hanya digunakan untuk membiayai pendidik, tetapi juga mencakup berbagai komponen operasional pendidikan lainnya.
Oleh karena itu, alokasi 20 persen dari APBN tersebut belum sepenuhnya memadai untuk mengakomodasi perluasan pembiayaan hingga mencakup sekolah swasta.
Dalam konteks tersebut, pelaksanaan putusan MK masih menghadapi tantangan besar, terutama jika dikaitkan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang saat ini sedang diberlakukan di hampir seluruh kementerian dan lembaga negara.
"Pemotongan anggaran, termasuk di sektor pendidikan, membuat prospek realisasi putusan MK menjadi semakin tidak pasti,"ungkapnya.
Konsekuensinya, kemungkinan negara membiayai seluruh sekolah swasta menjadi sulit diwujudkan dalam jangka pendek.
Jika sekolah swasta tidak diperbolehkan memungut biaya dari peserta didik, maka akan muncul persoalan keberlanjutan operasional, pembiayaan tenaga pendidik, serta pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
Situasi ini menimbulkan suatu paradoks: di satu sisi, putusan MK mengandung nilai luhur untuk memastikan seluruh anak bangsa terbebas dari beban biaya pendidikan di sisi lain, kemampuan fiskal negara belum mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut secara menyeluruh.
Dengan demikian, putusan MK tersebut harus dipandang sebagai tantangan strategis bagi pemerintah, khususnya dalam era pemerintahan Presiden Prabowo yang akan datang.
Perlu dilakukan kajian mendalam serta perumusan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi fiskal, agar amanat konstitusional dapat diimplementasikan secara bertahap dan berkelanjutan.
Solusi yang perlu segera didorong adalah pembahasan serius di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengenai mekanisme pengalokasian anggaran pendidikan bagi sekolah swasta.
Hal ini mencakup penentuan skema pembiayaan, prioritas alokasi, serta pengawasan terhadap efektivitas penggunaan dana.
Sebagai kesimpulan, pelaksanaan putusan MK mengenai pendidikan gratis untuk seluruh anak bangsa adalah langkah progresif dalam pemenuhan hak konstitusional.
Namun untuk merealisasikannya, dibutuhkan keseriusan politik, reformulasi kebijakan fiskal, dan komitmen anggaran yang kuat.
Pelaksanaan kebijakan ini kemungkinan besar tidak dapat direalisasikan dalam waktu dekat, namun tetap perlu disiapkan secara bertahap agar tujuan utamanya, yakni pemerataan akses pendidikan, dapat tercapai secara adil dan berkelanjutan. (Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Rahmadi)