TIMESINDONESIA, MALANG – Globalisasi, revolusi digital, dan polarisasi ideologi Pancasila menghadapi tantangan besar ketiganya merupakan gejala yang muncul di era disrupsi.
Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tetap sanggup menjadi "akar" yang mengikat bangsa, atau justru tergerus oleh hantaman modernisasi?
Generasi "rebahan" karena kecanduan short-form content (tiktok, reels) akan mengurangi daya kreatifitas dan konsentrasi. Generasi Z lebih mengenal influencer asing daripada pahlawan nasional berdampak mudahnya terprovokasi isu Sara dan pudarnya nasionalisme.
Tingginya tingkat pengangguran sarjana muda dalam dekade penyebab dari kurikulum pendidikan yang tidak adaptif dengan kebutuhan industri digital. Kapitalisme global berdampak pada pudarnya nilai gotong royong.
Generasi muda kesulitan membedakan berita valid dan hoaks yang berdampak pada tingginya tingkat kerentanan korban propaganda dan ujaran kebencian.
Tren pamer kekayaan (flexing) dan FOMO (Fear of Missing Out) memicu utang melalui pinjol ilegal yang berdampak pada krisis ekonomi pribadi. Itu semua adalah contoh nyata ancaman konkrit Pancasila diera disrupsi.
Namun, Pancasila bukan sekadar doktrin usang yang hanya bisa diajarkan sebagai hafalan atau slogan tanpa makna ia bisa tetap relevan jika diaktualisasikan secara nyata, bukan hanya sekedar atribut atau lambang, namun lebih dari itu yakni perlambang jiwa bangsa.
Keberhasilan integrasi Pancasila dalam pembangunan Program Desa Pancasila oleh Kemendagri yakni memberikan pendanaan kepada desa untuk proyek berbasis gotong royong dan partisipasif berdampak pada menguatnya nilai kekeluargaan.
Program revolusi mental seperti kampanye anti-korupsi, mendorong tingginya etos kerja. Regulasi dan pengawasan konten digital oleh Badan regulasi Telekomunikasi (BRTI) dapat menekan konten digital yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti pornografi, pornoaksi dan ujaran kebencian.
Pelibatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam menyusun modul Pancasila yang kontekstual, seperti pelatihan "Pancasila untuk Generasi Z". Menginternalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pembelajaran berbasis proyek.
Menerapkan pembelajaran kontekstual seperti, kampanye toleransi (kebinekaan). Proyek daur ulang sampah atau kewirausahaan sosial (gotong royong). Mengintegrasikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata seperti diskusi isu global dengan perspektif bernalar kristis merupakan keberhasilan integrasi Pancasila.
Kegagalan pengamalan Pancasila sebagai alat politisasi seperti indoktrinasi P4, justru menimbulkan resistensi, yang beresiko munculnya kaum elite politik yang menggunakan narasi Pancasila untuk mebungkam kritik tanpa aksi nyata. Lemahnya penegakan hukum berkeadilan seperti tingginya kesenjangan ekonomi (kontra dengan Sila ke-5).
Gagalnya proyek "food estate" karena tidak melibatkan masyarakat lokal, bertentangan dengan semangat kerakyatan. Pada mata pelajaran PPKN sering diajarkan secara hafalan, tanpa diskusi kritis. Sehingga generasi muda memandang Pancasila hanya sebagai ritualistik tanpa makna.
Pancasila harus diperjuangkan dengan mati-matian agar tidak tergerus , bukan sekedar dilafalkan. Seperti memperkuat literasi Pancasila berbasis realitas, misalnya membuat konten tiktok/instagram yang mengedukasi cara verifikasi berita dengan prinsip bernalar kritis (Profil Pelajar Pancasila).
Menyikapi perbedaan pendapat tentang pemilihan ketua kelas, (nilai Persatuan Indonesia-Sila ke-3). Program "Pancasila di Kantin Sekolah" siswa merancang sistem "bayar seikhlasnya" untuk makanan sehat, mengimplementasikan Keadilan Sosial (Sila ke-5).
Projek "Pancasila untuk Lingkungan" banjir akibat sampah plastik. Siswa menghubungkan Ketuhanan yang Maha Esa (Sila ke-1) dengan ajaran agama tentang menjaga alam, lalu membuat ecobrick dari sampah sekolah.
Menjauhkan Pancasila dari tameng korupsi, seperti proyek infrastruktur IKN yang diklaim "untuk keadilan sosial" (Sila ke-5), namun proses tender didominasi oleh konglomerat yang mesra dengan penguasa, sementara rakyat kecil tersingkir.
UU ITE kerap dipakai menjerat kritik dengan dalih "melindungi Pancasila", tetapi tidak digunakan untuk menindak pejabat yang korupsi. Pejabat yang mania mensosialisasikan tentang "gotong royong" (Sila ke-4), tetapi justru mendukung UU cipta kerja yang melemahkan posisi buruh.
Pancasila tidak boleh dipandang sebagai teori abstrak, namun sebagai alat nyata untuk mencari solusi. Pancasila bisa bertahan di era disrupsi jika dijadikan kerangka aksi, bukan sekadar orasi dan retorika.
Kegagalan implementasi selama ini bukan karena nilai Pancasila usang, tetapi karena cara negara menerjemahkannya sering terlalu birokratis, berbelit. Akarnya masih kokoh dan kuat tapi butuh nutrisi kebijakan yang futuristik, adaptif dan partisipatif.
Pancasila digerus bukan oleh generasi muda yang "tidak nasionalis", tetapi oleh kaum elite politik yang bersembunyi dibalik Pancasila sebagai topeng untuk korupsi dan melegitimasi kekuasaannya.
Sungguh teladan yang tercela jika diabaikan, Pancasila akan menjadi "slogan belaka" dihormati di upacara, tetapi dikhianati dalam praktik nyata, diberi panggung dalam konser tetapi tidak disertai pelita yang berpijar.
Upaya kita menjaga Pancasila, baik dalam ucapan, pikiran, dan perbuatan akan tetap menjadi akar kehidupan. Merawat Pancasila sama artinya merawat Indonesia.
***
*) Oleh : Ratnawati, Kepala SMAN 1 Sumbermanjing Kabupaten Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected].
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.