Menyusuri Dunia Buku dan Komik Langka di Pasar Buku Velodrome Kota Malang
GH News May 31, 2025 05:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah gempuran era digital, ketika bacaan berpindah ke layar dan koleksi dialihkan ke cloud, masih ada ruang yang dirawat dengan penuh cinta oleh orang-orang seperti Galih Nur Bagyo. Dia bukan sekadar penjual buku lawas. Di balik lapaknya yang tenang di Pasar Buku Velodrome Kota Malang, tersimpan kisah tentang kecintaan mendalam terhadap literasi, sejarah, dan kenangan masa lalu yang dikemas dalam bentuk buku, komik, hingga dokumen-dokumen bersejarah.

“Semuanya berawal dari hobi,” tutur Galih, yang sehari-harinya adalah seorang guru.

“Saya dulu senang beli buku dan ngumpulin komik, terutama yang jadul, kayak karya Ganesh. Komik seperti Siputa dan Kuantu, itu favorit saya. Lama-lama koleksinya numpuk dan ternyata teman-teman mulai banyak yang nyari," kata dia.

Galih pun mulai mencoba menjual sebagian koleksi, dan di situlah ia melihat peluang. Beberapa komik yang dahulu hanya ia beli seharga Rp10 ribu, kini bisa laku hingga Rp300 ribu per eksemplar. Bahkan, ia pernah menjual satu set komik Wiro, yang disebutnya sebagai “Tarzan versi Indonesia” dengan harga fantastis, mencapai Rp5 juta. Set tersebut terdiri dari 10 buku, terbitan tahun 1950-an, dan sangat sulit ditemukan.

“Saya pernah dapat dua kali. Beli masing-masingnya Rp2 juta dan Rp3 juta, lalu saya jual seharga Rp5 juta,” ungkapnya dengan bangga.

Kini, Galih memiliki gudang pribadi yang menyimpan sekitar 100 ribu buku. Koleksinya tidak hanya sebatas komik dan novel, tapi juga buku-buku akademik, dokumentasi lama, dan benda-benda cetak bersejarah. Ia kerap menemukan barang-barang ini dari pengepul barang bekas, atau dari koleksi pribadi orang-orang yang tidak lagi menggunakannya.

Salah satu temuan paling unik adalah ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) keluaran tahun 1983. “Itu saya temukan dari pengepul. Sepertinya pemiliknya sudah meninggal, dan dokumennya dibuang begitu saja. Untungnya tidak dihancurkan. Sekarang saya rawat,” jelasnya.

Galih juga menyimpan dan memperjualbelikan perangko lama, amplop kuno, serta dokumen-dokumen dari zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Menurutnya, dokumen keluaran masa Jepang memiliki nilai jual tertinggi karena periode itu sangat singkat, hanya tiga tahun.

“KTP zaman Jepang itu bisa laku sampai Rp400 ribu per lembar, sedangkan yang zaman Belanda hanya sekitar Rp50 sampai Rp60 ribu,” katanya.

Pasar Buku Velodrome bukan hanya tempat jual beli bagi Galih. Tempat itu adalah ruang di mana ia berinteraksi dengan sesama pencinta buku dan sejarah. Sebelum pandemi COVID-19, pasar ini kerap menjadi destinasi kolektor dari berbagai daerah.

“Dulu sering banget pembeli dari Jakarta datang ke sini cuma buat cari komik. Mereka bisa beli sampai seribu komik dalam sekali datang,” kenangnya.

Namun, pandemi mengubah banyak hal. Aktivitas di pasar menurun, dan banyak penjual buku lama gulung tikar. Namun Galih masih bisa bertahan, karena sejak lama, dia telah menerapkan berjualan online melalui Facebook. Kini, ia datang ke lapak hanya setiap Sabtu dan Minggu untuk memotret barang dagangannya dan menyiapkan pesanan online.

“Lumayan masih bisa jalan. Per minggu bisa dapat Rp4 sampai Rp5 juta dari penjualan online,” tuturnya.

Pasar Buku Velodrome telah lama dikenal sebagai pasar nostalgia. Di sinilah cerita-cerita lama bersemi kembali dalam bentuk komik klasik seperti Panji Tengkorak, Si Buta dari Gua Hantu, Wiro Anak Rimba, hingga komik wayang atau roman remaja jadul. Banyak pelanggan Galih adalah orang-orang berusia di atas 50 tahun, yang datang untuk mengenang masa kecil mereka.

“Saya lihat yang suka komik lama itu umurnya 50 ke atas. Kalau yang muda-muda, generasi umur 20 sampai 30, mereka sukanya komik Jepang, kayak Naruto, Doraemon, Sinchan. Beda selera, beda zaman,” katanya.

Namun bukan hanya nostalgia yang Galih jual. Ia juga menjual pemahaman akan sejarah, nilai dokumenter dari dokumen-dokumen yang ia temukan, dan pelajaran tentang pentingnya menjaga literasi dalam berbagai bentuknya. Baginya, setiap buku, setiap dokumen, setiap lembar komik adalah potongan kecil dari kisah Indonesia.

Meskipun berniat bisnis, Galih tidak semata-mata menjual untuk keuntungan. Ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan turut menyumbang pada pelestarian sejarah literasi di Indonesia.

“Kalau saya lihat, buku-buku lama itu bukan cuma buat dibaca, tapi juga punya nilai sejarah. Ada cerita di baliknya. Bahkan saya sering bantu teman-teman sejarawan nyari dokumen atau referensi buat riset mereka,” ungkapnya.

Di tengah zaman yang bergerak cepat menuju digitalisasi, kisah Galih adalah pengingat bahwa yang tua tak selalu usang, justru sering kali lebih berharga. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.