Antara Kepakaran dan Etika Publikasi
GH News May 31, 2025 06:04 PM

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dalam era informasi yang semakin terbuka, peran kepakaran menjadi semakin krusial dalam membentuk opini publik dan mendukung penegakan hukum. Namun, pada saat yang sama, batas antara kepakaran publik dan kepakaran untuk penegakan hukum menjadi semakin kabur.

Terlebih ketika kepakaran digunakan sebagai alat dalam kontestasi politik. Perdebatan seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memantik perbincangan serius tentang etika publikasi dalam praktik akademik dan profesi kepakaran.

Peristiwa ini menjadi menarik ketika sejumlah tokoh seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifa menyatakan telah melakukan investigasi terhadap keabsahan dokumen akademik Presiden, dan kemudian menyebarluaskan temuannya ke publik. 

Sementara di sisi lain, Abimanyu Wachjoewidajat, yang juga dikenal sebagai pakar telematika, mengambil sikap berbeda. Ia menegaskan bahwa penelitian dan uji digital forensik semacam itu seharusnya hanya dilakukan atas dasar permintaan penegak hukum dan bukan untuk konsumsi publik yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Perbedaan mendasar antara Abimanyu dan Roy Suryo Cs. terletak pada komitmen terhadap etika publikasi dan penggunaan kepakaran dalam koridor hukum. Dalam pandangan Abimanyu, keahlian digital forensik tidak semestinya dijadikan alat propaganda atau opini politik, apalagi disiarkan tanpa ada proses hukum yang mengaturnya. 

Kepakaran memiliki otoritas intelektual, tetapi otoritas itu mengandung tanggung jawab etik terutama dalam memilih kepada siapa dan dalam konteks apa hasil analisis disampaikan.

Sebagai akademisi dan peneliti, kita diajarkan bahwa setiap publikasi, baik dalam bentuk jurnal, laporan, maupun pernyataan publik, harus memegang teguh prinsip-prinsip etika, seperti validitas data, objektivitas interpretasi, dan kehati-hatian dalam penyebaran informasi. 

Dalam kasus dugaan ijazah palsu ini, pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah menyerahkan proses klarifikasi kepada lembaga hukum dan lembaga akademik yang memiliki otoritas, bukan menggiring opini publik melalui media sosial atau panggung politik.

Sayangnya, di Indonesia, masih banyak pakar yang terjebak dalam dilema antara menjadi intelektual publik dan menjadi alat kepentingan politik. Ini merupakan titik krusial di mana integritas akademik diuji. Kepakaran untuk publik sejatinya berfungsi untuk mencerahkan, mendidik, dan memperkuat nalar kritis masyarakat. 

Sementara itu, kepakaran untuk penegakan hukum berada dalam ranah tertutup, yang tunduk pada prosedur, protokol, dan tanggung jawab hukum. Ketika batas ini dilanggar, maka kepakaran bisa menjadi bumerang, menodai reputasi akademik dan memperkeruh proses hukum.

Abimanyu memberi pelajaran penting tentang bagaimana seorang pakar seharusnya menjaga jarak dari pusaran konflik politik yang dapat mencederai objektivitas keilmuannya. 

Ia menunjukkan bahwa menjadi pakar bukan hanya soal memiliki pengetahuan, tetapi juga bagaimana pengetahuan itu digunakan secara bijak dan etis. Dalam dunia akademik, hal ini dikenal sebagai epistemic responsibility-tanggung jawab epistemologis atas dampak dari penyampaian pengetahuan.

Lebih jauh, kita juga perlu mengevaluasi bagaimana etika publikasi diatur dan ditegakkan dalam lingkungan keilmuan kita. Apakah cukup hanya dengan kode etik profesi? Ataukah perlu ada mekanisme internal di institusi pendidikan dan riset untuk menilai kelayakan pakar menyampaikan pendapat kepada publik? 

Dalam konteks ini, lembaga-lembaga akademik juga memikul tanggung jawab kolektif untuk membimbing dan mengarahkan para pakarnya agar tidak tergelincir ke dalam polarisasi politik yang merusak martabat keilmuan.

Sebagai akademisi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, saya percaya bahwa peran keilmuan dalam kehidupan publik harus disertai kehati-hatian. Islam mengajarkan bahwa setiap ilmu yang kita miliki harus menjadi rahmat bagi sesama, bukan sumber kekacauan. Maka, integritas dan etika dalam menyampaikan ilmu menjadi aspek yang tak terpisahkan dari keilmuan itu sendiri.

Peristiwa ini hendaknya menjadi refleksi kolektif bahwa dalam dunia yang semakin digital dan politis, kepakaran bukan hanya soal kompetensi, tetapi juga soal moralitas. Publik memang berhak tahu, tetapi pakar juga wajib tahu kapan harus bicara, bagaimana menyampaikan, dan kepada siapa. 

Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan tetap terjaga, dan hukum dapat berjalan sesuai dengan jalurnya, tanpa tekanan dari opini yang dibentuk secara serampangan oleh narasi yang tidak bertanggung jawab.

***

*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan PB PMII 2021–2024. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.