Kebun Binatang Surabaya: Warisan Kolonial yang Bertahan Lewat Zaman
GH News June 01, 2025 07:03 AM

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya yang terus tumbuh dengan gedung tinggi dan lalu lintas padat, ada satu sudut yang terasa seperti oase menyejukkan yaitu Kebun Binatang Surabaya (KBS).

Tempat ini bukan hanya rumah bagi ratusan satwa dari berbagai belahan dunia, tapi juga salah satu kebun binatang tertua di Asia Tenggara, yang menyimpan jejak sejarah panjang, penuh liku, sekaligus kebanggaan.

KBS berdiri pertama kali pada 31 Agustus 1916, di bawah nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin yang dalam bahasa Belanda berarti “Taman Tumbuhan dan Satwa Surabaya.”

Pendirinya, seorang jurnalis berkebangsaan Jerman bernama H.F.K. Kommer, memiliki kecintaan besar terhadap satwa dan botani. Ia berhasil mengumpulkan simpati dan dana dari warga Eropa di Hindia Belanda untuk mewujudkan mimpi itu.

Awalnya, kebun binatang ini hanya dihuni oleh satwa-satwa kecil seperti burung, monyet, dan reptil. Namun seiring waktu, koleksi satwa berkembang pesat.

Lokasinya pun sempat berpindah dari Kaliondo ke daerah Darmo, tempat KBS berdiri hingga hari ini. Di masa kolonial, KBS menjadi tempat rekreasi bergengsi, tempat elite Belanda menikmati eksotisme tropis di tengah kota.

Bertahan Lewat Sejarah dan Tragedi

Kebun-Binatang.jpgTulisan besar “Kebun Binatang Surabaya” menjadi spot favorit pengunjung untuk berfoto. Kebun binatang yang berlokasi di pusat kota ini menjadi destinasi wisata edukasi keluarga yang populer di akhir pekan maupun hari libur sekolah.  (Foto: Kamiliya Salsabila Imelda/TIMES Indonesia)

Setelah kemerdekaan, KBS dikelola oleh pemerintah kota dan menjadi tempat edukasi publik. Namun tak semua kisah tentang KBS penuh keceriaan.

Di awal 2000-an, kebun binatang ini sempat menuai sorotan tajam, baik dari media nasional maupun internasional karena isu kesejahteraan hewan yang memprihatinkan. Beberapa kematian satwa yang mendadak mencuat, memicu kritik tentang pengelolaan yang dinilai buruk.

Namun dari masa-masa sulit itu, perlahan KBS berbenah. Pemerintah, akademisi, dan para pecinta satwa mulai turun tangan. Renovasi kandang, peningkatan pelatihan SDM, hingga edukasi pengunjung menjadi fokus.

Bahkan saat ini, KBS menjalankan fungsi konservasi dan edukasi yang jauh lebih terstruktur. Beberapa spesies langka seperti komodo, harimau Sumatra, dan burung jalak Bali menjadi bagian dari program pelestarian di dalamnya.

Lebih dari Sekadar Wisata

Kebun-Binatang-2.jpgAnak-anak TK didampingi orang tua dan guru saat melihat jerapah dari dekat di Kebun Binatang Surabaya. Melalui kegiatan ini, mereka diajak belajar mencintai satwa dan lingkungan sejak dini.  (Foto: Kamiliya Salsabila Imelda/TIMES Indonesia)

Bagi sebagian warga Surabaya, KBS bukan sekadar tempat rekreasi. Ia adalah bagian dari memori kolektif sebagai tempat berlibur saat libur sekolah, tempat anak-anak belajar mengenal binatang, dan tempat keluarga melepas penat di akhir pekan.

“Dulu saya diajak bapak ke sini. Sekarang saya gantian ngajak anak saya,” ujar Mifta, seorang pengunjung yang datang bersama dua putrinya. “KBS itu kenangan.”

Kini, dengan lebih dari 2.000 ekor satwa dari 200 lebih spesies, Kebun Binatang Surabaya terus membuka diri untuk perubahan. Ada program animal feeding, edukasi satwa, hingga pertunjukan edukatif yang mendekatkan manusia dengan alam.

Menjaga Warisan, Merawat Harapan

Meski telah melewati usia lebih dari satu abad, tantangan bagi KBS tidak pernah habis. Dari isu kesejahteraan satwa, tuntutan fasilitas modern, hingga perubahan pola wisata masyarakat, semua menjadi pekerjaan rumah besar. Tapi satu hal yang tak berubah: semangat untuk mempertahankan ruang hijau edukatif ini di jantung kota.

KBS bukan hanya tentang binatang di dalam kandang. Ia adalah potret perjuangan sebuah kota dalam menjaga warisan, merawat alam, dan memberi ruang bagi generasi mendatang untuk tetap bisa mengenal kehidupan liar dengan cara yang lebih beretika, edukatif, dan menyenangkan. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.