TIMESINDONESIA, JAKARTA – Orang-orang sepuh di kampung saya dulu sering bilang; "Kalau hidup sudah tidak bergerak, itu tanda-tanda digerakkan. Kalau tidak digerakkan oleh kesadaran, ya oleh keadaan."
Maka, ketika Mas Hayono Isman kembali terpilih menjadi Ketua Umum PPK Kosgoro dalam Mubes XII di Jakarta 30-31 Mei 2025 kemarin, saya mulai merenung. Bukan karena terkejut, tapi mulai coba menghitung arah angin, meraba arah baru. Juga merenungkan apakah Kosgoro sedang dalam proses digerakkan!.
Ini penting. Kita ini sedang berada di tikungan zaman. Di satu sisi, kita punya warisan organisasi besar seperti Kosgoro (yang ormas). Organisasi yang dulu lahir bukan dari seminar hotel berbintang, namun dari denyut gotong-royong rakyat di awal kemerdekaan.
Di sisi lain, kita punya era pemerintahan Presiden Prabowo yang tengah berlari dengan program-program pro-rakyat. Ada Kopdes Merah Putih untuk koperasi desa berbasis valuasi, ada Sekolah Rakyat yang kembali menggairahkan pendidikan akar rumput.
Dan, dua entitas (Kosgoro dan pemerintahan sekarang) ini, ternyata tidak sedang bertabrakan. Justru saling menoleh. Seperti dua orang tua yang pernah bersahabat, kemudian terpisah.
Lalu, kini keduanya bertemu kembali di warung kopi sambil bertanya; “Sudahkan kamu sekarang menemukan jalan pulang?”
Kosgoro punya Tridharma yang sakral: Pengabdian, Kerakyatan, Solidaritas. Kata-kata yang bisa jadi terdengar agung di pidato, tapi juga bisa kehilangan makna jika hanya berhenti jadi jargon.
Di sini, tugas kita bukan mengulang-ulangnya. Tugas beratnya; membumikan. Menarik yang di awang-awang itu ke ladang sawah. Membawa ke ruang kelas. Ke rapat desa. Kalau perlu ke pasar rakyat.
Bisa? Sangat bisa. Mari kita buka satu per satu.
Pertama, pengabdian. Di dunia yang serba "me first" seperti sekarang, kata ini terdengar kuno. Tapi justru karena itu, kita butuh menghidupkannya lagi.
Pengabdian bukan sekadar hadir saat pemilu. Pengabdian hadir saat rakyat bingung mau meminjam di mana, saat anak desa ingin belajar tapi tidak tahu harus ke siapa.
Pengabdian itu kerja sunyi. Tidak selalu difoto, bahkan kadang dilupakan. Pengabdian itu seperti akar pohon. Ia menyimpan kekuatan diam-diam.
Era Pemerintahan Prabowo sekarang ini mengingatkan kita bahwa negara harus hadir. Namun kehadiran itu tak bisa dititipkan pada istana saja. Harus ada tangan-tangan yang bekerja di lapangan.
Di sinilah Kosgoro bisa masuk. Dengan jejaring, dengan tradisi, dan tentu dengan semangat pengabdian yang sudah lama tertulis di dinding sejarahnya.
Kedua, kerakyatan. Ini adalah jiwa Kosgoro. Hanya, rakyat hari ini tidak bisa lagi didekati hanya dengan spanduk dan yel-yel. Mereka butuh kehadiran yang konkret.
Maka ketika Kopdes Merah Putih diluncurkan - koperasi desa yang berbasis digital dan gotong royong— misalnya, seharusnya ini bukan hanya program pemerintah. Ini bisa jadi nafas baru bagi Kosgoro.
Bayangkan jika di tiap desa, Kosgoro hadir sebagai penggerak Kopdes. Bukan sekadar hadir sebagai undangan saat peresmian, tapi jadi motor penggerak.
Masih segar ingatan kita, dulu ada Bus Kosgoro yang lahir dari Koperasi Kosgoro di Pasuruan. Koperasi Kosgoro juga bejibun di mana-mana. Ini adalah modal besar. Modal pengalaman!
Kosgoro hadir memberi pelatihan dan enlightment. Atau bahkan membangun jaringan usaha. Lalu, memastikan tidak ada lagi anak muda desa yang berkata: “Lebih baik jadi kurir di kota daripada bertani di kampung.”
Di sini kosgoro harus mampu mengubah kalimat itu. Memberi alternatif. Menjadi mentor. Menjadi jembatan antara mimpi dan realitas.
Ketiga, solidaritas. Inilah kata yang paling rapuh sekaligus paling dibutuhkan. Dunia hari ini penuh fragmentasi. Media sosial memecah kita jadi gelembung-gelembung opini.
Belum lagi politik identitas memecah kita jadi kelompok-kelompok yang saling curiga. Maka solidaritas hari ini tidak bisa lagi hanya jadi acara reuni atau nostalgia. Ia harus jadi gerakan.
Program Sekolah Rakyat adalah contohnya. Di tengah sistem pendidikan yang kadang terlalu sibuk mengejar nilai, Sekolah Rakyat hadir membawa semangat gotong royong pendidikan.
Di sana, para pengajar bukan hanya guru bersertifikat, tapi juga warga yang peduli. Petani yang mengajarkan bercocok tanam, ibu rumah tangga yang mengajar membuat keripik. Bahkan pensiunan yang mengajarkan etika hidup.
Dan bayangkan jika Kosgoro hadir di dalamnya. Menjadi tulang punggung relawan, menyuplai bahan ajar, menyusun kurikulum berbasis kearifan lokal. Di situlah solidaritas bukan hanya slogan. Tapi menjadi kenyataan.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan awal: Kosgoro di era kekinian ini enaknya lewat jalan mana?
Jangan-jangan justru pertanyaan itu harus dibalik: Apakah kita masih mau bergerak bersama Kosgoro?
Karena di tengah maraknya startup, unicorn, dan influencer, "organisasi tua" seperti Kosgoro bisa saja tergilas zaman. Tentu, jika tidak menemukan bahasa baru untuk mengucapkan nilai lama.
Bahasa itu bisa berupa program. Bisa berupa aksi, atau bisa berupa narasi yang menyentuh.
Mas Hayono Isman bukan hanya tokoh lama yang kembali naik panggung. Ia adalah simbol bahwa semangat lama belum habis masa berlakunya, asal dikemas ulang. Seperti tape singkong yang difermentasi ulang jadi es krim. Rasanya tetap khas, tapi tampilannya segar.
Kosgoro tak boleh jadi “museum ideologi”. Tempat orang datang hanya untuk mengenang. Ia harus menjadi “pabrik penggerak”, tempat orang datang untuk bekerja, berjejaring, dan mengabdi.
Di era kekinian, terkhusus era pemerintahan sekarang ini, ruang untuk itu terbuka lebar. Tapi jangan sampai Kosgoro hanya menonton. Harus ikut masuk ke gelanggang. Ikut bertanding. Ikut berkeringat. Turut menanam.
Karena sejatinya, hidup ini bukan soal siapa yang paling banyak bicara. Namun siapa yang paling lama tinggal di lapangan.
Jadi, mari geser. Tapi bukan asal geser. Kita geser dari nostalgia ke kerja nyata. Dari tumpukan arsip ke tumpukan ide. Dari pidato podium ke peluh di lapangan.
Dan kalau nanti ada yang bertanya, “Kosgoro pulang lewat jalan mana?” Maka jawablah sambil tersenyum; “Ke tempat di mana rakyat sedang bekerja.” (*)
* Penulis adalah Khoirul Anwar. Santri di Wisma Perjuangan Mas Isman, Jl Pandan 5 Kota Malang. Ketua PDK Kosgoro Malang.