Grid.ID- Thailand baru saja dinobatkan sebagai negara paling doyan selingkuh di dunia. Gelar ini diberikan berdasarkan laporan terbaru yang diterbitkan oleh Insider Monkey.
Dalam daftar tersebut, Thailand mencatat tingkat perselingkuhan tertinggi, yakni mencapai 51 persen. Angka ini mencengangkan.
Penyebab utama Thailandmenyandang predikat ini diduga kuat berasal dari praktik budaya lokal yang disebut Mia Noi atau "istri kecil". Dikutip dari Nation Thailand, Minggu (1/6/2026), praktik ini merujuk pada kebiasaan pria Thailand yang memiliki pasangan tambahan di luar istri sah.
Selain itu, industri seks yang berkembang pesat di Thailand juga turut menyumbanggelarnegara paling doyan selingkuh. Artinya, perselingkuhan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran moral di sana. Namun, dalam beberapa kasus dianggap wajar, bahkan terlembagakan secara sosial.
Fakta bahwa Thailand menjadi negara paling doyan selingkuh ternyata tak berdiri sendiri. Dalam daftar 10 besar, banyak negara lain yang juga mencatat angka perselingkuhan tinggi. Namun beruntungnya, Indonesia belum termasuk.
Di urutan kedua, ada Denmark dengan tingkat selingkuh 46 persen. Disusul Jerman dan Italia dengan masing-masing 45 persen.
Prancis tak ketinggalan dengan 43 persen. Norwegia mencatat 41 persen, Belgia 40 persen, dan Spanyol 39 persen.
Dua negara terakhir dalam daftar adalah Finlandia dan Inggris, masing-masing 36 persen. Daftar ini menyoroti bahwa selingkuh bukan fenomena yang eksklusif terjadi di negara tertentu, melainkan menyebar luas di berbagai belahan dunia, baik di Asia maupun Eropa.
Penelitian yang mendasari temuan ini berasal dari Bebdible Research Centre. Mereka merilis laporan pada September 2022.
Penelitian ini berdasarkan lebih dari 1,9 juta data poin dari 23.872 responden. Studi ini mengkaji tren perselingkuhan global sejak tahun 1960.
Data tersebut diklasifikasikan berdasarkan gender, usia, dan negara. Hasilnya menunjukkan bahwa selingkuh adalah perilaku yang terus berkembang.
Alasan orang melakukan perselingkuhan pun beragam. Tak hanya karena ketertarikan seksual, tapi juga dorongan emosional.
Faktor ekonomi juga menjadi pemicu. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah di Skotlandia yang dikenal sebagai "ibu kota selingkuh" dunia.
Ketika seseorang mengalami tekanan finansial, peluang untuk selingkuh meningkat. Selain itu, kemarahan, harga diri yang rendah, kehilangan cinta, dan keinginan akan variasi juga disebut sebagai alasan utama.
Menariknya, sebagian besar pelaku selingkuh sebenarnya masih menghargai monogami. Namun, mereka tetap melakukannya karena dorongan sesaat atau kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Perbedaan gender juga terlihat jelas dalam motivasi selingkuh. Pria cenderung selingkuh saat merasa tidak dicintai.
Sementara wanita lebih mudah tergoda perselingkuhan saat merasa tidak menarik. Artinya, kebutuhan emosional yang tak terpenuhi berperan besar dalam keputusan untuk selingkuh. Penelitian ini membuktikan bahwa perselingkuhan bukan hanya persoalan fisik, tapi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan sosial.
Fenomena selingkuh kini makin kompleks. Di banyak negara, bahkan tindakan selingkuh tak lagi dianggap tabu.
Data dari negara-negarapaling doyan selingkuh seperti Prancis, Italia, dan Belgia menunjukkan bahwa perselingkuhan kerap dianggap bagian dari dinamika hubungan. Namun, di sisi lain, efek negatif dari selingkuh tetap terasa. Banyak hubungan rusak, kepercayaan hancur, dan trauma emosional yang timbul akibatnya.
Dengan angka perselingkuhan yang terus meningkat secara global, penting bagi setiap pasangan untuk membangun komunikasi yang jujur dan terbuka. Memahami penyebab selingkuh bukan berarti membenarkannya.
Namun bisa menjadi langkah awal untuk mencegahnya. Karena, pada akhirnya, meski praktik selingkuh berbeda-beda di setiap negara, dampaknya terhadap hubungan tetap sama, yakni merusak kepercayaan dan menciptakan luka.