Harga Ilmu dan Pendidik
Edi Nugroho June 02, 2025 07:31 AM

Mujiburrahman

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

 SEKITAR 25 tahun silam, tepatnya bulan Juli 2000, saya pulang dari Kanada ke Indonesia, karena sudah selesai menjalani pendidikan S-2 di McGill University, Kanada. Pesawat yang saya tumpangi, Cathay Pacific, transit di Hong Kong. Saat duduk di ruang tunggu, seorang ibu paruh baya, berbadan gemuk dan tinggi, menyapa saya. Dia bergaya dari kelas atas. “Saya suka olahraga terjun payung,” katanya. Dia lalu bertanya, “Pekerjaan Anda apa?” “Saya mengajar di kampus,” kataku. “Ah, dosen,” kata si ibu dengan nada merendahkan.

Karena si ibu itu angkuh dan merendahkan profesi saya, saya enggan melanjutkan percakapan. Dia lalu berbincang dengan seorang ibu muda, yang cukup rendah hati untuk mendengarkan ocehannya. Mungkin bagi si ibu tadi, nasib guru dan dosen sama dengan Oemar Bakrie dalam lagu yang dilantunkan Iwan Fals di awal 1980-an. Dia adalah guru pegawai negeri, yang sudah 40 tahun mengabdi, banyak ciptakan menteri, dokter, insinyur, dan profesor, “tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri?”Iwan menyimpulkan,“Jadi guru jujur berbakti memang makan hati”.

Pada 2010, saya melakukan penelitian di kawasan Loksado bersama dengan sejumlah mahasiswa. Banyak di antara mahasiswa itu berasal dari jurusan pendidikan. Artinya, mereka bercita-cita ingin menjadi guru. Ketika berbincang santai di luar pekerjaan, saya bilang pada mereka bahwa sebagian orang mengolok-olok gelar S.Pd, yang seharusnya berarti “Sarjana Pendidikan”diplesetkan menjadi “Sarjana Penuh Derita”. Salah seorang dari mahasiswa itu tersenyum. “Gak papa. Nanti kalau kami dapat tunjangan profesi, orang takkan mencemooh kami lagi,” katanya.

Mulai 2007, secara bertahap, pemerintah telah menaikkan gaji guru dan dosen dengan tunjangan profesi melalui sertifikasi, sebesar satu kali gaji pokok. Bagi dosen yang mencapai jabatan guru besar alias profesor, dia juga mendapatkan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok. Sejak itu, guru dan dosen mulai makmur. Sebagian orang mulai mengkritik kesesuaian antara kinerja dan gaji mereka. “Kalau dulu profesor itu menyampaikan banyak pendapat, tetapi sedikit pendapatan. Sekarang terbalik, sedikit pendapat, banyak pendapatan,” katanya.

Minggu lalu, Senin 19 Mei 2025, Kompas menurunkan berita utama berjudul “Dosen Kerja bagai Kuda, Krisis Pengajar Ancam Kampus”. Berdasarkan hasil survei terhadap 36 dosen perguruan tinggi negeri di 23 provinsi, Kompas mencatat: “Pekerjaan dosen Indonesia makin banyak. Libur pun tetap bekerja. Namun gaji naik perlahan hingga membuat mereka tak bisa menabung”. Kompas juga menilai, gaji dosen Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji dosen di negara-negara tetangga seperti Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. 

Namun, laporan Kompas tentang dosen yang “kerja bagai kuda, pagi ngajar, sore ngojol” adalah perihal dosen CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) yang baru diangkat dengan pendidikan S-2. Begitu pula, yang dibandingkan Kompas adalah gaji pokok dosen Indonesia dengan gaji dosen di negara-negara tetangga. Padahal, selain gaji pokok, dosen Indonesia menerima tunjangan fungsional, profesi, kinerja, dan jika guru besar, juga tunjangan kehormatan. Selain itu, di beberapa negara tetangga itu, dosen harus berpendidikan S-3, sementara di Indonesia mayoritas masih S-2.

Terlepas dari liputan yang kurang lengkap itu, Kompas kiranya memiliki niat baik, yaitu ingin menyampaikan ke publik bahwa gaji dosen di Indonesia masih kurang mencukupi dibandingkan dengan beban kerja dan perannya yang penting dalam mendidik serta mengambangkan ilmu dan teknologi. Gaji dosen yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) memang pas-pas saja jika diukur dengan kebutuhan hidup di kota besar. Gaji ASN memang hanya cukup untuk hidup layak, sulit untuk jadi kaya raya seperti pengusaha kecuali jika dia punya pendapatan lain atau korupsi.

Namun, jumlah gaji guru dan dosen bisa dijadikan petunjuk seberapa besar satu masyarakat atau bangsa menghargai ilmu dan pendidik. Dalam menentukan belanja, termasuk belanja negara, tentu ada prioritas. Manakah yang diutamakan, dan mana pula yang dinomorduakan? Marilah kita perhatikan budaya kita sehari-hari. Apakah masyarakat lebih menghargai guru dan dosen sebagai pendidik generasi muda, ataukah justru memuja orang kaya, apalagi berkuasa pula? Apakah para pemimpin kita mencintai ilmu dan kebijaksanaan ataukah kuasa, harta, bahkan hura-hura?

Saya pun teringat akan sebuah hadis yang dulu saya dengar di pesantren: “Jadilah kau orang yang berilmu, atau penuntut ilmu, atau pendengar, atau pencinta, tapi jangan jadi yang kelima, karena kau akan celaka”. Mari kita nilai diri kita, masyarakat kita, dan para pemimpin kita. Apakah kita ini orang yang berilmu, penuntut ilmu, pendengar atau pencinta? Jika tidak berilmu, tidak pula menuntut ilmu, berarti kita tidak bekerja untuk ilmu. Jika bukan pendengar, bukan pula pencinta, maka kita adalah orang yang tak peduli bahkan pembenci ilmu dan orang yang berilmu.

Berapakah harga ilmu dan pendidik dalam taksiran kita, masyarakat kita, dan pemerintah kita? (*)

Mari kita nilai diri kita, masyarakat kita, dan para pemimpin kita. Apakah kita ini orang yang berilmu, penuntut ilmu, pendengar atau pencinta? Jika tidak berilmu, tidak pula menuntut ilmu, berarti kita tidak bekerja untuk ilmu. Jika bukan pendengar, bukan pula pencinta, maka kita adalah orang yang tak peduli bahkan pembenci ilmu dan orang yang berilmu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.