TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia masih jeblok akibat berada di level kontraksi.
Menurut S&P Global, PMI Indonesia pada Mei berada di level 47,4 poin, naik dari bulan sebelumnya 46,7 poin atau naik 0,7 poin.
Faktor yang membuat PMI Manufaktur Indonesia kontraksi berasal dari penurunan pada pesanan baru pada bulan Mei. Penurunan kedua dalam beberapa bulan dan yang paling besar sejak bulan Agustus 2021.
Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti mengatakan, ekonomi sektor manufaktur Indonesia menurun pada tingkat sedang pada bulan Mei.
"Penurunan terkuat pada permintaan baru dalam waktu hampir empat tahun menyebabkan penurunan solid pada volume produksi," tutur Usamah dalam keterangan resmi, Senin (2/6/2025).
Perusahaan sering mengaitkan penurunan dengan permintaan pasar yang tidak bergerak dan penurunan permintaan.
Lalu, permintaan internasional juga terus menurun, meskipun pada laju yang lebih lambat dan produsen melaporkan penurunan ekspor khususnya ke AS.
Pesanan baru yang melemah menyebabkan penurunan berkelanjutan pada tingkat produksi pada bulan Mei. Output turun solid selama dua bulan berturut-turut meski agak berkurang dari bulan sebelumnya.
"Ekspor juga terus menurun, sementara perusahaan berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah," imbuhnya.
Menanggapi penurunan operasional, perusahaan mengurangi pembelian input karena aktivitas pembelian turun selama dua bulan berjalan.
Perusahaan juga melaporkan upaya mengurangi inventaris pra dan pasca produksi yang mereka gunakan untuk produksi dan menyelesaikan pesanan yang masuk selama permintaan masih tidak berubah.
Meski permintaan input menurun, waktu pengiriman rata-rata diperpanjang dalam sembilan bulan karena kondisi cuaca buruk dan penundaan pengiriman.
Namun demikian, perusahaan percaya diri bahwa masa sulit saat ini akan berlalu dan akan kembali bertumbuh karena kepercayaan diri terkait perkiraan output 12 bulan mendatang menguat dibandingkan bulan April.
Terlebih lagi, perusahaan menaikkan ketenagakerjaan sebanyak lima kali dalam enam bulan untuk menyiapkan pemulihan permintaan.
Selain itu, kapasitas tambahan juga membantu perusahaan mengurangi pekerjaan yang belum terselesaikan meski tingkat penurunan membaik sejak April.
"Perusahaan yakin periode penurunan ini akan berlalu karena mereka menaikkan tingkat ketenagakerjaan, sementara kepercayaan diri terkait perkiraan 12 bulan output juga menguat. Sementara itu, beberapa produsen berupaya menawarkan diskon untuk menaikkan penjualan, menyebabkan kenaikan kecil pada biaya meski beban biaya naik," terang Usamah.
Dari segi harga, inflasi biaya naik tajam pada bulan Mei, dan menguat untuk pertama kali dalam tiga bulan. Panelis mencatat kenaikan harga bahan baku menyeluruh menyebabkan kenaikan beban biaya.
Akan tetapi, perusahaan berupaya menyerap biaya-biaya ini dan bahkan menawarkan diskon sebagai upaya merangsang permintaan.
Akibatnya, harga output naik pada tingkat rendah, yang merupakan tingkat inflasi biaya terendah dalam delapan bulan ekspansi.