Ketika Titah Jatuh ke Negeri Sumedang Larang
GH News June 03, 2025 03:04 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hubungan Syeikh Maulana Malik Ibrahim dengan Keraton Sumedang Larang tidak bisa ditarik garis lurus langsung. Ia adalah salah satu Wali Aongo, penyebar Islam di Jawa, dan memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Majapahit dan wilayah lainnya. Keraton Sumedang Larang sendiri adalah bagian dari sejarah Jawa yang lebih luas, dengan pengaruh dari berbagai kekuasaan dan tokoh.
 
Ada pengakuan mengenai keberadaan Syeikh Maulana Malik Ibrahim dari dua negara mantan Uni Soviet, bahwa Azerbaijan mengakui keberadaan Ulama Wali Songo pertama itu sebagai bagian dari sejarah keislaman di Azerbaijan yang menyebut bahwa Maulana Malik Ibrahim memang ulama besar dari negeri Tanah Api, disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim Samarkandi pernah berguru hingga ke negeri Uzbekistan di kota Samarkand, lalu menyebarkan Islam hingga ke tanah Jawa sampai akhir hayatnya.

Mahkota-Binokasih-mahkota-kerajaan-yang-disimpan.jpgRadya Anom sedang menjelaskan Mahkota Binokasih, mahkota kerajaan yang disimpan di bagian khusus Keraton Sumedang Larang.

Sementara pihak Uzbekistan menegaskan dalam sebuah seminar yang diadakan beberapa tahun lalu bahwa Maulana Malik Ibrahim Samarkandi adalah ulama besar yang berasal dari kota Samarkand di Uzbekistan dan menyebarkan agama Islam hingga ke tanah Jawa di kota Gresik hingga dikuburkan di sana. Beliau adalah salah satu tokoh kunci dalam penyebaran Islam di Jawa, dianggap sebagai "Ayah" dari Wali Songo. Ia tidak hanya menyebarkan Islam kepada masyarakat umum, tetapi juga pada keluarga Kerajaan Majapahit.

Keraton Sumedang Larang adalah kerajaan kecil di Jawa Barat yang memiliki sejarah dan kekhasan tersendiri. Ia bukan bagian langsung dari kerajaan Majapahit, tetapi memiliki hubungan yang rumit dengan beberpa kerajaan lain di Jawa. Hubungan antara Maulana Malik Ibrahim dan Keraton Sumedang Larang lebih bersifat historis dan kultural. Maulana Malik Ibrahim berkontribusi pada penyebaran Islam di Jawa, yang berdampak pada Kraton Sumedang Larang. 

terbentang-mulai-dari-kerajaan-Galuh.jpgMahkota Binokasih, sebagai lambang pemersatu keluarga kerajaan Sunda, yang terbentang mulai dari kerajaan Galuh di Ciamis yang didirikan oleh Raja Wretikandayun pada tahun 612 M, kemudian kerajaan Pakuan di Bogor yang kerap disebut dengan nama kerajaan Pajajaran yang merupakan kerajaan Hindu yang didirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923 M.

Pagi menjelang siang di hari Minggu yang cerah namun udara di Kota Sumedang, Jawa Barat hari itu seperti menggigit kulit, cukup panas untuk ukuran Sumedang yang biasa sejuk cenderung dingin, sedikit mempengaruhi kegiatan penyelenggaraan lomba fotografi yang diikuti 58 fotografer dari berbagai kota di Jawa Barat dan Jabodetabek. Keraton Sumedang Larang menunjukkan komitmennya dalam melestarikan budaya Sunda dengan menggelar kegiatan bertajuk “Sumedang Menari 2025”.

Komunitas Semut Foto sebagai penyelenggara mendapat restu dari pihak keraton dan acara tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari upaya publikasi dan promosi seni tradisional Sumedang melalui media fotografi pada 25 Mei 2025 lalu.

Ada banyak gadis-gadis belia yang berpakaian layaknya penari professional, salah satunya adalah Sidqya Putri Firgiawan, pelajar SDN Padasuka 1 Sumedang kelas 5 yang pernah menjuarai penari topeng ekspresi terbaik se Jawa Barat, membawakan tari Topeng.

Penulis menjadi tamu kehormatan dan menikmati kegiatan budaya yang telah disiapkan pihak Kraton Sumedang, dalam hal ini langsung dibawah pimpinan Sang Putra Mahkota, Radya Anom. Jika Gubernur Jabar punya nama panggilan KDM, Bupati Purwakarta biasa dipanggil Om Zein maka Radya Anom yang nantinya adalah penerus Keraton Sumedang punya panggilan khas, yaitu Om Luky.  

Radya Anom yang bernama lengkap Raden Luky Djohari Soemawilaga, lahir di Bandung, 54 tahun yang lalu, memiliki istri bernama N.R. Inge Sagitania yang berasal dari keluarga Kraton Mangkunegara, dan memiliki seorang putri bernama Selsa Shifa Soemawilaga. Radya Anom merupakan cicit dari Pangeran Aria Soeria Koesoemah Adinata/Pangeran Sugih dari garis ayahnya Raden Lukman Hamid Soemawilaga, sementara dari garis keturunan ibunya, Radya Anom yang menempuh pendidikan di Bandung, mulai SD hingga Kuliah, memiliki kakek bernama Raden Tumenggung Djoewarsa. 

Sebagai penerus Kraton Sumedang, meski kini lebih bertahta sebagai simbol Kerajaan Sunda terakhir di Jawa Barat, Radya Anom terlihat sangat menikmati perannya sebagai seorang bangsawan yang wajib melestarikan adat dan budaya Keraton Sumedang Larang secara khusus dan Kerajaan Sunda secara keseluruhan. Kerajaan Pajajaran atau yang biasa dikenal sebagai Kerajaan Sunda merupakan kerajaan Hindu yang dibangun oleh Maharaja Tarusbawa. 

Radya Anom sangat fasih menjelaskan sejarah Kerajaan Sunda, terutama Mahkota Binokasih sebagai lambang pemersatu keluarga kerajaan Sunda, yang terbentang mulai dari kerajaan Galuh di Ciamis yang didirikan oleh Raja Wretikandayun pada tahun 612 M, kemudian kerajaan Pakuan di Bogor yang kerap disebut dengan nama kerajaan Pajajaran yang merupakan kerajaan Hindu yang didirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923 M.

Kerajaan ini dikenal juga sebagai Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran. Ada beberapa Raja dan Ratu yang pernah memerintah kerajaan Pakuan, salah satunya adalah Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), beliau bertahta di Pakuan pada tahun 1482-1521 M. 

Lalu siapa pendiri kerajaan Sumedang Larang yang menjadi kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Tersebutlah nama Prabu Aji Putih atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Guru Haji Putih. Beliau mendirikan kerajaan ini di wilayah Tembong Agung, yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Sumedang Larang.

Prabu Aji Putih merupakan raja pertama dari Kerajaan Tembong Agung. Selain Prabu Aji Putih, Prabu Tajimalela juga dikenal sebagai tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Ia adalah putra dari Prabu Aji Putih dan meneruskan takhta yang didirikan ayahnya. Prabu Tajimalela juga sering disebut sebagai pendiri Kerajaan Sumedang Larang, karena ia yang kemudian mengembangkan dan menegaskan identitas kerajaan tersebut. 

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan kecil di Pulau Jawa bagian barat yang berdiri paska bubarnya kesultanan Demak pada abad ke-16 M. Popularitas kerajaan ini tidak menonjol sebagaimana kerajaan Demak, Mataram, Cirebon, Banten dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Namun keberadaan kerajaan ini memberikan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya di kalangan orang Sunda dalam proses penyebaran agama Islam, sebagaimana yang dilakukan pertama kali oleh Kesultanan Demak, lalu Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.

Proses Islamisasi dilakukan oleh Kesultanan Demak berhasil sehingga masyarakat Sumedang yang sebelumnya menganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan lambat laun berkeyakinan Islam.

Kerajaan ini didirikan pada tahun 721 M oleh Prabu Tajimalela, keturunan dari raja Wretikandayun dari Kerajaan Galuh, di wilayah bekas dari Kerajaan Tembong Agung. Kerajaan Sumedang Larang pernah dikenal dengan nama Kerajaan Himbar Buana, dan pernah berstatus sebagai bagian dari Kerajaan Sunda dan Galuh antara abad ke-8 hingga abad ke-16 M, dimana penguasanya berada di bawah penguasa kedua kerajaan tersebut. Dahulu Ibu kota Sumedang Larang di Citembong Girang, yang saat ini masuk dalam wilayah Desa Cikeusi, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.

Agama Islam mulai berkembang di Sumedang Larang pada masa pemerintahan Pangeran Santri (1530-1578 M). Di masa pemerintahannya, Sumedang Larang bergabung dengan Kesultanan Cirebon. Pada tahun 1578 M, anaknya yang bernama Pangeran Angkawijaya menerima pusaka Pajajaran dan dinobatkan sebagai Raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun, dimana pusaka pemberian ini menandakan Sumedang Larang sebagai penerus sah trah Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Sumedang, wilayah Sumedang Larang dibatasi oleh Laut Jawa di utara, Sungai Cipamugas di barat, Samudra Hindia di selatan, dan Sungai Cipamali di timur.Namun Kerajaan Sunda sendiri runtuh pada tahun 1579 M setelah Pulasari ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari Banten (Burak Pajajaran).

Runtuhnya Kerajaan Sunda menjadikan bekas wilayahnya terbagi antara Kesultanan Banten di barat dan Kesultanan Cirebon di timur. Pada tahun 1585, kerajaan Sumedang Larang di bawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun menyatakan diri sebagai Negara berdaulat dan melepaskan diri dari Cirebon, namun hal itu hanya berlangsung selama 35 tahun, karena kondisi kerajaan yang lemah, terjepit antara tiga kekuatan besar (Banten, Cirebon, dan Kesultanan Mataram) dan pada tahun 1620 M memutuskan untuk bergabung dengan Mataram, dimana status kerajaan diturunkan menjadi Kabupaten dibawah Mataram.

Binokasih Syangyang Pake menjadi Sumberdaya Peradaban Sunda 

Binokasih Syangyang Pake adalah nama  mahkota kemaharajaan Sunda  yang tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun - Keraton Sumedang Larang. Mahkota yang dianggap sakral ini dibuat pada masa kerajaan Galuh oleh Prabu Bunisora pada 1371 M dan dipakai pertama kali oleh Prabu Niskala Wastu Kencana, Raja Galuh yang menggantikan Prabu Bunisora.

Mahkota ini kemudian berestafet dengan suksesi para Raja Galuh. Saat Prabu Jaya Dewata/Prabu Sri Baduga Maharaja berkuasa sebagai Raja kerajaan Galuh dan juga kerajaan Sunda, beliau menyatukan dua kerajaan tersebut menjadi kerajaan Sunda dan ibukotanya dipindahkan Kawali Galuh di Ciamis ke pakuan Pajajaran di Bogor, mahkota kerajaan ini berestafet ke kerajaan Sunda Pajajaran, dan pada akhirnya saat kerajaan Sunda Pajajaran dipimpin oleh raja terakhir yakni Prabu Seda Mulya Surya Kancana memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan Pajajaran dan menyatakan Pajajaran Burak (tidak memiliki kekuasaan lagi).

Prabu Seda Mulya Surya Kancanapun memerintahkan kepada Senopati Pajajaran untuk menyerahkan Mahkota Binokasih dari Pajajaran ke kerajaan Sumedang Larang. Penyerahan Mahkota Binokasih ke Sumedang Larang jatuh pada tanggal 22 April 1578 M. (Sumber primer Naskah Waruga Jagat)

Peristiwa penting dalam perjalanan Mahkota Binokasih tersebut menjadikan kerajaan Sumedang Larang secara sah sebagai penerus kerajaan Sunda (Pajajaran) atau sebagai kerajaan sunda terakhir dengan bukti otentik keberadaan sepasang Mahkota Binokasih sebagai simbol legitimasi tertinggi kerajaan Sunda yang kini tersimpan dengan baik dan aman di Keraton Sumedang Larang .

Keberadaan Mahkota Binokasih Syangyang Pake memiliki potensi kekuatan budaya yang adiluhung  dan memiliki makna yang terkandung didalam mahkota yaitu terdapat sebuah nilai kearifan lokal yang perlu dijaga sampai kapanpun, baik secara sejarah maupun sebagai nilai yang mengandung filosofi ideologi dari suatu tatanan pemerintahan.

Dari nilai sejarah yang dikandungnya, Mahkota Binokasi adalah dasar  kekuatan yang melahirkan  kebijakan inovatif daerah yakni dengan ditetapkannya Sumedang sebagai Puseur Budaya Sunda yang telah di deklarasikan di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan melahirkan program Rekonstruksi serta Revitalisasi Keraton Sumedang Larang sebagai Centrum Budaya yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pelestarian budaya di daerah.

Sementara dari nilai filosofi ideologi ditemukan bahwa penamaan Mahkota Binokasih Syangyang Pake memiliki arti membina Kasih Sayang dan arti Syangyang Pake adalah bahwa nilai Kasih Sayang harus terus digunakan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan; baik kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial masyarakat dan kehidupan berbangsa,  bernegara serta kehidupan dunia pada umumnya (tepa salira , tepa nagara & tepa buana).

Kasih sayang sebagai nilai terluhur dalam kehidupan apabila dikaji lebih dalam, merupakan Sumber Daya yang melahirkan sistim tatanan nilai luhur sebagai sebuah peradaban, diantaranya nilai gotong-royong,  toleransi, musyawarah  dan mufakat, keadilan, kebijaksanaan, dan seterusnya. Nilai Kasih Sayang melahirkan konsepsi pemikiran dan sistem gagasan Kasundaan Tilu Tangtu/Tri Tangtu Buana, yaitu Resi, Rama dan Ratu. Resi melahirkan Nilai Silih Asih, Rama melahirkan Nilai Silih Asah, sementara Ratu melahirkan Nilai Silih Asuh.
 
Pada akhir kerajaan Sunda Pakuan (Pajajaran), titah telah jatuh dan Kraton Sumedang Larang menerima Mahkota Binokasih dari kerajaan Sunda Pakuan dengan perasaan ngarasa reueus tur pinuh tanggung jawab kana tekad (perasaan bangga dan penuh tanggung jawab atas penetapan tersebut). (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.