Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan adanya anomali data yang dikeluarkan Food Station Tjipinang Jaya. Sebab, dalam satu hari, beras yang keluar dari sana mencapai 11.410 ton pada 28 Mei 2025.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman di tengah harga beras yang naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada Mei 2025 turun tipis 0,01% secara bulanan, namun naik 2,37% secara tahunan. Harga beras di penggilingan pada Mei 2025 Rp 12.733/kilogram (kg), sementara bulan lalu tercatat Rp 12.734/kg.
Sementara beras di tingkat grosir dan eceran pada Mei 2025 tercatat naik. Menurut catatan BPS, harga beras di tingkat grosir pada Mei 2025 sebesar Rp 13.735/kg, naik dibandingkan bulan lalu Rp 13.728/kg. Lalu, harga beras di tingkat konsumen pada Mei 2025 tercatat Rp 14.784/kg, naik dibandingkan bulan lalu Rp 14.754/kg.
Amran pun menduga adanya permainan di balik anomali data tersebut. Padahal, rata-rata beras yang keluar dari Food Station Tjipinang Jaya di kisaran 1.400 hingga 2.500 ton.
"Ini (beras yang dikeluarkan dari Cipinang) 3 ribu ton, 3 ribu ton, 4 ribu ton, 2 ribu ton,1 ribu ton, ini masuk akal nggak ini 11.000 (beras) keluar satu hari? Aneh kan? Ya selesai ini jawabannya (harga beras naik)," kata Amran saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2025).
"BPS mengatakan (harga rata-rata beras di tingkat penggilingan turun Mei 2025), artinya apa? Ada middle man yang mempermainkan. Inilah terkadang kita sebut mafia," tambah Amran.
Dia juga menyoroti stok beras di Pasar Induk Cipinang disebut kurang sehingga harga melambung di pasar. Saat melihat data resmi dari Food Station Tjipinang, dalam lima tahun terakhir stok beras terpantau stabil di atas angka 30 ribu ton. Bahkan pada 2025, stok beras di sana mencapai 50 ribu ton.
"Ini Januari (stok awal beras di Cipinang) 50 ribu ton banyak kan? Ini Januari benar nggak 50 ribu ton lebih tinggi dari 3 tahun sebelumnya atau 4 tahun sebelumnya. Ini kan 50 (ribu ton beras), 50 (ribu ton beras), terus 46 (ribu ton) naik lagi, 48 (ribu ton beras)," terang Amran.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai 11 ribu ton digelontorkan ke mana, Amran menyebut pihaknya belum menemukan jawaban. Saat ini Kementan bersama dengan Satgas Pangan Polri tengah menyelidiki motif tersebut. Namun, pihaknya sudah mengantongi dugaan sementara.
"Ini dimainkan. Kalau stok kita tidak banyak apa yang terjadi? Pasti minta impor kan, benar nggak? Apa mau minta impor dengan kondisi kita stok 4 juta ton? (Mereka minta) dikeluarkan SPHP apa jawabannya? Untuk di-blending untuk dicampur dengan beras lokal, baru dijual mahal. Ini kan nggak benar yang seperti ini," jelas Amran.
Satgas Pangan Usut Tuntas
Sementara itu, Kepala Satgas Pangan Polri Helfi Assegaf mengatakan pihaknya terus mendalami terkait motif serta fakta yang terjadi di lapangan dengan kesesuaian data.
"Kita lakukan pendalaman, tapi awal mereka belum bisa menyampaikan barang itu ada di mana sekarang, barang itu keluar. Mereka ditanya oleh penyidik kita, tidak bisa menyampaikan. Barang itu ke arah mana perginya, keluarnya dari mana, belum bisa disampaikan kepada kita," kata Helfi.
Apabila tidak sesuai dengan data yang disampaikan, Helfi menerangkan ada tindakan manipulasi data. Di sisi lain, dia juga menyoroti temuan tersebut muncul bersamaan dengan pedagang Pasar Induk Cipinang yang meminta importasi beras.
"Kalau dia memanipulasi data, sedangkan muncul bersamaan dengan itu ada berita pedagang di pasar induk minta supaya segera realisasikan importasi. Nyambungan kan ya? Dengan adanya laporan tersebut, maka manipulasi data itu terjadi, artinya mereka memberikan data yang tidak benar," ujar Helfi.
Helfi menambahkan penyampaian data resmi kepada pemerintah menjadi penting. Sebab, data tersebut menjadi salah satu pertimbangan untuk membuat kebijakan.
Selain manipulasi data, pelaku juga bisa dijerat tindak pidana lain, seperti penggelapan atau bahkan tindak pidana korupsi. Meski begitu, hal tersebut harus diselidiki lebih dalam lagi.
"Ancamannya, (berdasarkan Undang-Undang Perdagangan pasal) 108 itu memanipulasi data, empat tahun penjara dan Rp 10 miliar. Makanya tidak boleh sembarangan memberikan data, apalagi data resmi pemerintah yang menjadikan acuan," terang Helfi.