Negara di Antara Asap Rokok dan Dividen BUMN
GH News June 04, 2025 10:04 AM

TIMESINDONESIA, PADANG – Negara kita tampaknya punya pemasok uang paling setia: bukan BUMN, bukan pajak penghasilan, bukan minyak atau tambang, melainkan rokok.

Dalam laporan Kementerian Keuangan terbaru yang dikemas secara visual oleh akun @SahamTalk, negara memperoleh Rp216,9 triliun dari cukai rokok pada 2023. Sebagai pembanding, dividen dari seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menyumbang Rp90 triliun. Jauh di bawah kontribusi dari sebatang kretek yang dihisap saban pagi oleh jutaan rakyat kecil.

Tentu, negara tak berbohong ketika mencatat angka itu sebagai penerimaan sah. Tapi, di balik angka-angka itu, ada ironi yang menguap pelan-pelan seperti asap yang keluar dari bibir buruh pabrik, sopir ojek daring, hingga petani gurem yang menganggap rokok sebagai satu-satunya hiburan murah.

Mereka inilah penyumbang utama cukai negara. Bukan korporasi besar, bukan pemilik ritel, apalagi investor. Artinya, ketika negara merayakan triliunan dari cukai rokok, ia sejatinya sedang merayakan kemampuan rakyat miskin untuk tetap membeli kebiasaan buruk dan menjadikannya mesin utama pembiayaan anggaran.

Ketergantungan yang Terbentuk

Cukai rokok memang menggiurkan. Ia dipungut langsung dari produsen, nilainya pasti, dan peredarannya luas. Negara tak perlu repot-repot memburu penerima manfaat. Industri rokok juga jarang mangkir. Tapi di situlah jebakan terbesar: ketika mesin uang bekerja terlalu lancar, negara enggan menggantinya.

Apalagi, industri rokok di Indonesia tak sekadar bisnis. Ia adalah kekuatan politik, budaya, dan ekonomi yang telah bercokol sejak Orde Baru. Pemilik-pemiliknya adalah konglomerat papan atas negeri ini. 

Sebagian dari mereka bahkan lebih dikenal publik ketimbang komisaris BUMN. Lobi mereka kuat, pengaruhnya mengakar, dan narasi kebermanfaatannya selalu terdengar lebih lantang ketimbang suara kampanye kesehatan.

Tak mengherankan bila setiap wacana kenaikan cukai atau pembatasan iklan rokok selalu kandas di meja parlemen. Legislator pun terbelah antara mendukung kesehatan publik atau mempertahankan suara dari daerah pemilihannya yang bergantung pada ladang tembakau dan pabrik linting.

Sementara itu, BUMN yang seharusnya menjadi pilar kemandirian ekonomi negara malah hanya menyumbang dividen kurang dari setengah cukai rokok. Padahal mereka diberi keleluasaan bisnis, penyertaan modal negara, dan privilege dalam banyak proyek strategis nasional. Tapi hasilnya, tak setajam hisapan rokok di warung kopi.

Rokok: Komoditas, Budaya, atau Ketergantungan?

Di warung pinggir jalan, di teras rumah kontrakan, di pos ronda, rokok bukan sekadar barang konsumsi. Ia adalah budaya. Sering kali menjadi pengikat sosial, simbol maskulinitas, atau bahkan pelarian dari tekanan hidup.

Tak heran, survei BPS menunjukkan bahwa pengeluaran rokok berada di posisi kedua terbesar dalam rumah tangga miskin, setelah beras.

Di sinilah tragedinya. Negara menarik pendapatan terbesar dari kelompok yang paling rapuh. Cukai rokok menjadi bentuk lain dari pungutan regresif semakin miskin, semakin besar proporsi pendapatannya disumbangkan ke negara.

Ironisnya, sebagian dana cukai itu kemudian dipakai untuk menutup subsidi kesehatan, yang sebagian besar justru dipakai untuk mengobati penyakit akibat rokok.

Sebuah lingkaran setan yang aneh tapi nyata. Dan negara berdiri di tengahnya, menerima dengan tenang.

Negara yang Takut Kehilangan Rokok

Jika ada sektor yang tak tersentuh revolusi moral, itu adalah industri rokok. Ketika dunia berpacu mengurangi konsumsi tembakau, Indonesia justru melambatkan laju. 

Sementara negara-negara tetangga memperketat iklan dan membatasi akses, iklan rokok di Indonesia masih bebas berkeliaran di layar kaca, jalan raya, bahkan di sponsori konser musik. Mengapa? Karena negara takut kehilangan mesin uang yang paling rajin bekerja.

Padahal, jika BUMN dikelola dengan optimal, jika kebijakan fiskal diarahkan ke sektor produktif, dan jika keberpihakan pada rakyat diwujudkan dalam reformasi kesehatan dan pendidikan, negara tak perlu bergantung pada napas para perokok.

Tapi kenyataannya, memeras keuntungan dari kebiasaan buruk tampaknya lebih mudah ketimbang menggenjot kinerja korporasi milik negara sendiri. Negara akhirnya memilih jalan pragmatis: merokoklah, wahai rakyatku, karena setiap batangmu menyalakan APBN.

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, untuk Siapa?

Pertanyaan yang menggelayut dari data ini sederhana tapi menggigit: untuk siapa sesungguhnya negara bekerja?

Jika rakyat miskin menjadi sumber utama penerimaan, tetapi tetap menjadi korban dari sistem yang mereka biayai, maka pembangunan bukanlah alat pembebasan, melainkan instrumen pemiskinan yang disamarkan.

Rokok mungkin menyumbang triliunan bagi negara, tapi ia juga menyumbang jutaan kematian dini, miliaran rupiah beban kesehatan, serta potensi generasi muda yang hilang. Dan ketika kita membandingkannya dengan BUMN, institusi yang seharusnya menjadi tulang punggung kemandirian ekonomi. Pertanyaannya semakin nyaring: mengapa yang kita miliki sendiri justru kalah produktif dari kebiasaan buruk.

Jawabannya bisa jadi bukan soal angka semata, tapi keberanian. Dan sejauh ini, negara tampaknya lebih berani mengutip uang dari rokok, ketimbang memaksa BUMN bekerja lebih keras.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.