TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli psikologi forensik Reza Indragiri mempertanyakan kesimpulan ahli digital forensik Rismon Sianipar yang menyimpulkan ijazah Jokowi palsu.
Padahal, kata Reza, Rismon belum mengecek secara langsung ijazah Presiden ke-7 RI tersebut.
"Kesimpulannya ijazah itu palsu? bagaimana mungkin bisa sampai kesimpulan ijazah palsu. Bang Rismon sendiri mengakui kan bang Rismon tidak pernah memegang ijazah Jokowi kan," tanya Reza dalam perbincangannya bersama Rismon.
Rismon lantas membeberkan niatnya hanyalah untuk memberi edukasi pada masyarakat.
"Saya ingin mengedukasi publik bahwa apa yang diklaim di medsos Dian Sandi ini ijazah Jokowi asli, fotonya ini, ya saya bantah," katanya.
Dirinya pun tetap pada pendiriannya, yakni dalam pengujian lewat aplikasi menyatakan bahwa foto ijazah Jokowi postingan Dian Sandi adalah palsu.
"Bahwa berdasarkan ELA itu banyak sekali potensial edit. Terutama copypaste, sebaran dari kompresinya itu tidak seragam, maka itu potensial edit sangat tinggi. Bahkan saya uji hampir 70 persen, lewat 50 persen maka kita harus menyimpulkan itu cenderung fake," katanya.
Reza Indragiri mengatakan kesimpulannya berarti bukan ijazah Jokowi yang palsu, melainkan foto postingan Dian Sandi.
"Mungkin akan aman kalau kalimat bang Rismon bukan ijazah Jokowi palsu. Kalimatnya begini ijazah Jokowi yang diperlihatkan oleh Dian Sandi itu palsu. Nah itu baru mungkin," kata Reza Indragiri.
Rismon sendiri mengakui bahwa selama ini yang palsu bukan ijazah Jokowi, melainkan foto postingan.
"Memang itu kan, kan selalu dalam apa, ijazah Jokowi yang diklaim asli oleh Dian Sandi kita harus jawab, lewat apa ? Ya bukan lewat subjektif oh itu palsu. Ada tools, error level analisis, mendeteksi sebaran kompresi dari citra digital itu. Dan memang banyak sekali terdeteksi itu hasil editan," kata Rismon.
"Kalau polisi punya ahli kan pasti juga medeteksi yang sama. Jadi itu mejawab yang di media sosial kita harus hati-hati, siapapun mengatakan itu klaim ya sudah kita uji," tambahnya.
Terpisah, Ahli Digital Forensik dan Pakar IT, Josua M Sinambela menerangkan objek penelitian tidak bisa barang fisik lalu difoto dan foto tersebut yang diuji.
"Pemeriksaan digital forensik hanya bisa dilkukan pada dokument atau data digital. Misal ada foto kemudian anda foto jadi digital kemudian anda analisi ELA dan lainnya, itu tidak berdasar. Tidak bisa dilakukan analisis terhadap ini, terutama masalah keaslian," katanya.
"Misalnya ijazah terus difoto kemudian dianalisis dan itu membuktikan bahwa ini palsu atau tidak," tambah Josua.
Menurutnya foto tersebut hanya bisa digunakan sebagai petunjuk.
"Foto yang bisa kita gunakan hanya untuk melihat petunjuk siapa yang mengeluarkan ijazah tersebut, tanggal berapa, siapa yang tandatangan, ada capnya atau tidak. Nanti bisa dibandingkan ijazah Jokowi atau Rismon misalkan. Ijazah Rismon sama gak dengan. Kita gak bisa melakukan analisis yang berbau digital forensik karena dokumennya," kata Josua.
Tidak percaya Puslabfor Polri
Rismon Sianipar mengaku tidak percaya pada hasil analisa Pusat Laboratorium Forensik terkait ijazah Jokowi.
Karena rekam jejak di 4 kasus membuat Rismon Sianipar tak percaya Puslabfor soal ijazah Jokowi dari Bareskrim Polri.
Rismon pun mengurai empat alasan kenapa ia tidak memercayai Puslabfor.
Yakni karena Rismon melihat rekam jejak buruk dari institusi tersebut.
Jejak pertama yang disorot Rismon adalah saat polisi menangani kasus Vina Cirebon.
"Kasus Vina Cirebon, ekstraksi SMS 22:14:10, tidak mereka pakai tuh dalam reka adegan. Yang diduga terjadi pemerkosan dan pembunuhan 21.30 sampai 22.30.
Bayangkan kalau masih ada ekstraksi SMS dalam periode waktu yang ditentukan, kalau itu dipakai dalam reka adegan oleh polisi, apa yang terjadi? bubar skenario itu, itu produk polisi," ujar Rismon dalam tayangan Youtube Forum Keadilan TV.
Kasus kedua adalah soal hasil analisa Puslabfor terhadap kasus Jessica Kumala Wongso.
Rismon bahkan menyebut Bareskrim Polri sebagai penipu.
"(Kasus) Jessica (Kumala Wongso) menggunakan ired soft software gratisan dan berbohong mengatakan itu software yang tersedia di DVR. Padahal itu Linux operating system, itu produk Laboratorium Komputer Forensik, Bareskrim Polri itu penipu, itu cacat," imbuh Rismon.
Berikutnya, jejak buruk soal analisa Puslabfor yang diungkap Rismon adalah terkait kasus kematian anggota FPI di KM 50 tahun 2020 lalu.
Menurut Rismon, ada hal tak patut yang dilakukan kepolisian sehingga kasus tersebut menjadi terhambat penyelesaiannya.
"KM 50, polisi memerintahkan si data CCTV, HP di rest area KM 50 dihapus, belum lagi genangan darah tidak di police line.
Terus 20 jam sebelum kejadian 7 Desember fiber optic putus, percaya enggak? tidak dianalisa itu serat opticnya bagaimana digunting dimakan tikus, enggak ada. Hanya dibilang tidak dapat mengirimkan gambar ke server di Bekasi, percaya enggak?" pungkas Rismon.
Hingga akhirnya Rismon Sianipar mengibaratkan sertifikasi yang dimiliki Puslabfor seperti mobil mewah.
"ISO itu bagaikan mobil mewah, Anda dikasih tools tetapi belum tentu etika dalam menggunakan tools itu menjadi benar," ujar Rismon.
"Segala macam komentar sinis dari bang Rismon tadi itu datang dari seorang individu bernama Rismon. Sementara lembaga ini (Puslabfor) sudah dinilai komite akreditasi nasional," kata Reza Indragiri.
"Kalau itu (Puslabfor) menjalankan tugasnya dengan benar," imbuh Rismon.
Terakhir, Rismon Sianipar mengurai jejak kelam keempat instansi kepolisian.
Yakni terkait kasus Ferdy Sambo.
"Kenapa kasus Sambo terjadi? bahwa terjadi katanya tembak menembak padahal tidak. Kalau mereka melakukan tugasnya, kenapa itu terjadi?" kata Rismon.