TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jawa Timur menyoroti rencana Kementerian Kebudayaan menulis ulang sejarah Indonesia.
DPD GMNI Jatim menilai draf yang beredar mengandung manipulasi, penghapusan peristiwa penting, dan diduga merupakan bentuk sistematis desoekarnoisasi serta upaya mengendalikan ingatan kolektif bangsa.
Ketua DPD GMNI Jatim, Hendra Prayogi menyatakan bahwa terdapat manipulasi sejarah yang menuntungkan satu razim dalam draf penulisan Sejarah ulang tersebut.
"Kami menemukan banyak manipulasi dalam draf penulisan ulang Sejarah Indonesia ini. Manipulasi sejarah adalah menulis sejarah dengan hanya mengambil sebagian hal yang menguntungkan satu rezim," tegas Hendra dalam pernyataan resminya, Rabu (4/6/2025).
Hendra mengkritik tajam penghilangan periode 1989-1999 serta sejumlah peristiwa krusial dalam kerangka konsep penulisan.
Menurutnya, peristiwa bersejarah seperti Kongres Perempuan Pertama 1928, Konferensi Asia Afrika 1955 sebagai cikal bakal Gerakan Non-Blok, Asian Games 1962 di Jakarta, dan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) 1963 yang diinisiasi Presiden Soekarno sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme Barat, sengaja diabaikan.
Lebih lanjut, Hendra menduga ada agenda politik di balik penghapusan peran Soekarno dalam penulisan Sejarah ulang ini.
"Penulisan sejarah ulang yang menghilangkan beberapa kebijakan dan peran Soekarno adalah salah satu bentuk gerakan desoekarnoisasi yang nyata," ujarnya pada (04/06/2025).
Hal ini, lanjutnya, bertentangan frontal dengan semangat nasionalisme dan Marhaenisme yang menjadi dasar perjuangan GMNI.
GMNI Jatim juga menolak konsep penulisan sejarah tunggal yang diusung pemerintah, Ia menilai pemerintah berusaha membentuk versi sejarah monumental untuk kepentingan kekuasaan semata.
"Penulisan sejarah tunggal adalah bentuk penggelapan sejarah yang dapat membawa petaka. Kami menolak setiap bentuk intervensi kekuasaan, sekecil apapun, terhadap proses pencatatan sejarah yang objektif," ucapnya.
Tenggat penyelesaian proyek pada 17 Agustus 2025 juga disoroti Hendra sebagai persoalan serius.
"Penulisan sejarah yang ditargetkan selesai dalam waktu singkat ini jelas terburu-buru dan dipaksakan, sehingga berpotensi besar menimbulkan kesalahan fatal," tegasnya.
Ia menekankan bahwa proses penulisan sejarah yang komprehensif harus melibatkan banyak elemen masyarakat dan beragam perspektif, bukan berdasarkan satu penafsiran sepihak.
Hendra menegaskan bahwa sikap GMNI Jatim sejalan dengan Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI).
Ia menganggap penulisan ulang ini sebagai cara halus membentuk opini publik dan mengendalikan ingatan kolektif bangsa, yang berbahaya bagi pemahaman sejarah yang utuh dan kritis.
“Selain itu, penghapusan beberapa peristiwa bersejarah misalnya seperti tragedi HAM yang berlangsung selama rezim orde baru merupakan alat untuk cuci dosa, sehingga hal ini menuai berbagai penolakan dari kalangan sejarawan,” tambah ketua GMNI Jatim.
Atas dasar itu, GMNI Jatim mendesak Kementerian Kebudayaan mengevaluasi dan meninjau ulang proyek ini dalam bentuknya saat ini, membuka draf secara transparan untuk dikritisi publik dan akademisi independen, serta melibatkan secara bermakna berbagai elemen bangsa, termasuk organisasi mahasiswa yang berpegang pada nilai nasionalisme progresif dan Marhaenisme.
"Sejarah bukan alat legitimasi kekuasaan, tapi cermin jujur perjalanan bangsa yang bisa dijadikan pelajaran di masa mendatang," pungkas Hendra Prayogi. (*)