TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggelar audit investigatif pengadaan barang dan jasa milik KPU RI terkait penyewaan fasilitas mewah dalam pelaksanaan Pemilu.
Pengadaan yang perlu diaudit perihal penyewaan apartemen atau kantor, sejumlah mobil mewah hingga sewa privat jet untuk puluhan perjalanan.
"Kami berharap banget mumpung BPK masih melakukan audit administratif, kami minta kawan-kawan BPK untuk mendalaminya semua pengadaan barang dan jasa lewat pendekatan audit investigatif," kata Agus dalam konferensi pers di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (4/6/2025).
Agus mengatakan pengadaan mewah barang dan jasa yang dibuat KPU itu diduga sudah dilakukan sejak tahun 2023.
Dugaan awalnya adalah pengadaan sengaja dibuat karena KPU punya anggaran yang amat besar untuk dihabiskan agar capaian realisasinya tinggi.
Pemborosan kendaraan operasional pimpinan KPU dan pejabat eselon I/II/III tahun 2023 meliputi, 36 Mitsubishi Expander, 16 Toyota Fortuner, 3 Mitsubishi Pajero, 7 Hyundai Palisade dan 6 Toyota Alphard.
Kemudian ada penyewaan 12 unit apartemen untuk pimpinan KPU RI tahun 2024 senilai Rp1 miliar, sewa 11 unit ruang kerja di apartemen senilai Rp1,5 miliar, perpanjangan sewa 7 unit apartemen selama 9 bulan pada April-Desember 2024 senilai Rp 3,8 miliar.
Kemudian sewa jet pribadi senilai Rp 46 miliar, sewa pesawat komersial untuk keperluan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur-Malaysia pada Maret 2024 Rp 2,1 miliar.
"Nah pertanyaan jadi begini, kok boros banget di KPU. Nah perlu dicek nih bagaimana mekanisme perencanaan dalam sisi pengadaan. Kami punya kecurigaan karena ada anggaran ya sudah dilakukan saja," katanya.
Pengadaan tersebut lanjut Agus, dilakukan dengan paket terpisah-pisah.
Padahal menurutnya, jika pengadaan itu ada dalam satu paket akan mempermudah dan memperingkas serta lebih murah.
Ia pun menduga ada kesengajaan pemecahan pengadaan barang dan jasa dari KPU RI untuk tujuan perburuan rente atau upaya mencari keuntungan ekonomi dengan merekayasa alokasi anggaran negara.
"Karena logika pengadaan kan begini, semakin beli banyak barang harusnya semakin murah dong. Nah begitu pun juga dengan yang namanya konsolidasi. Harusnya kan dikonsolidasi pengadaannya, ini kayaknya sengaja dipecah-pecah paket," katanya.
"Nah jangan-jangan kami curiga ada perburuan rente di sini. Jadi sengaja dipecah paket," ucap dia.