Polisi Beradab dan Keberadaban Masyarakat
Arief Sulistyanto June 05, 2025 10:05 AM
Gegap gempita kehidupan masyarakat Indonesia hari ini bukan hanya diwarnai kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga diiringi oleh pemandangan yang memprihatinkan: ketidaktertiban dalam hampir semua aspek kehidupan publik. Dan yang paling kasat mata, paling mudah dilihat namun paling sulit diurai, adalah ketidaktertiban dalam berlalu lintas.
Setiap hari kita saksikan pelanggaran yang dibiarkan, kemacetan yang diabaikan, dan ketidakteraturan yang dianggap biasa. Ketika yang terlihat saja tidak mampu ditertibkan, maka bagaimana dengan yang tidak terlihat—yang tersembunyi di balik meja kekuasaan, dalam proses birokrasi, atau bahkan dalam relasi hukum dan uang?
Apa yang terjadi di jalan raya adalah cerminan peradaban: apakah bangsa ini sedang maju, atau justru mundur secara moral?
Ya, dua kutub itu kini seperti saling berpacu dalam arah yang berlawanan: di satu sisi, teknologi dan ilmu pengetahuan melaju pesat—kita bangga dengan sistem digital, kecanggihan infrastruktur, dan modernisasi layanan publik. Tapi di sisi lain, nilai-nilai moral dan ketertiban sosial justru mengalami kemunduran. Masyarakat kian permisif, hukum kerap tumpul ke atas, dan budaya tertib berubah menjadi budaya serobot.
Ini menjadi indikasi nyata bahwa pembangunan fisik (hardware) tidak diimbangi dengan pembangunan manusianya (humanware)— terutama dalam hal kompetensi lunak: manajerial, integritas, dan moralitas. Padahal bangsa ini tidak hanya butuh gedung tinggi dan jalan mulus, tapi jiwa yang kokoh, jiwa yang beretika, dan sistem yang adil.
Pertanyaannya: mengapa ini bisa terjadi? Dan siapa yang bertanggung jawab? Apakah ini kesalahan masyarakat semata yang belum sadar hukum? Ataukah institusi penegak hukum yang gagal memberi teladan? Apakah ini akibat sistem pendidikan yang gagal membentuk karakter, atau birokrasi yang membiarkan nilai-nilai luhur tergerus oleh kepentingan sesaat?
Ilustrasi pemeriksaan kendaraan yang dilakukan oleh petugas kepolisian terhadap sejumlah kendaraan. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemeriksaan kendaraan yang dilakukan oleh petugas kepolisian terhadap sejumlah kendaraan. Foto: Herwin Bahar/Shutterstock
Sebagian mungkin akan menunjuk kepada rakyat. Sebagian lagi menyalahkan elite. Tapi sejatinya, ini adalah kegagalan kolektif bangsa dalam menata keseimbangan antara kemajuan dan kebaikan, antara kecepatan dan ketertiban, antara cita-cita dan kenyataan.
Namun di tengah kegelisahan itu, masih ada harapan. Harapan bahwa institusi seperti Polri bukan hanya simbol kekuasaan negara, tapi penjaga peradaban rakyat. Bahwa profesionalisme polisi bukan hanya soal seragam atau jabatan, tapi soal hati yang tegak untuk keadilan, dan tangan yang adil untuk seluruh rakyat, bukan segelintir golongan.
Jika polisi ingin menjadi kebanggaan rakyat, maka harus berjalan di atas kejujuran, berdiri di atas keberanian dan menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Sebab peradaban tidak dibangun dari jalan tol dan gedung tinggi, tetapi dari jiwa aparat yang jujur, rakyat yang tertib dan sistem yang adil bagi semua.
Polisi adalah penjaga peradaban. Bukan sekadar aparat negara yang berdiri di tengah jalan, tetapi wakil kehadiran hukum dan moral di ruang publik. Jika bangsa ini ingin beradab, polisinya harus terlebih dahulu hidup dengan adab—dalam sikap, dalam perlakuan, dan dalam penegakan hukum. Polisi adalah bayangan masyarakatnya. Sebagaimana kejahatan adalah cerminan dari luka-luka sosial yang dibiarkan tumbuh,
Namun yang lebih berbahaya adalah jika “policing becomes the shadow of crime”— ketika aparat justru menjadi bayangan dari kekerasan dan penyimpangan yang mereka seharusnya cegah.
Ini bukan sekadar ironi. Ini bencana moral. Polisi adalah entitas milik rakyat. Lahir dari rahim bangsa dan ditugaskan untuk melindungi semua. Maka dalam sistem kenegaraan, polisi adalah alat negara— tetapi untuk melayani rakyat sebanyak-banyaknya, bukan sekadar menjaga kepentingan negara, apalagi melindungi kepentingan institusinya sendiri.
Dan jika hari ini rakyat kecewa, maka jangan buru-buru saling menyalahkan, sebab ini tanggung jawab kolektif kita. Jika polisi hari ini sedang sakit— maka rakyat harus menjadi bagian dari penyembuhan, bukan ikut-ikutan sakit. Ketika institusi Polri bangkit dalam integritas, maka bangsa ini akan berdiri lebih kokoh. Tapi jika ia runtuh dalam kepura-puraan dan kekuasaan, maka kehancuran peradaban hanya tinggal menunggu giliran.
Marilah kita jaga bersama: polisi bukan musuh rakyat, bukan alat elite, bukan tameng kekuasaan. Polisi adalah milik rakyat. Hanya dengan bersama rakyat, mereka bisa benar-benar menjadi penjaga keadaban bangsa.
Wallahualam bishawab.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.