Pancasila, Konstruksi Ekonomi Berkeadilan, dan Arah Sistem Hukum Nasional
Nicholas Martua Siagian June 05, 2025 10:05 AM
Pancasila, sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa, digagas untuk menjadi jangkar dari keragaman yang dimiliki bangsa ini. Ia adalah kesepakatan politik sekaligus etika kolektif, yang mengikat suku, agama, ras, dan golongan untuk bersama-sama membentuk peradaban yang adil, makmur, dan beradab. Namun, apakah Pancasila hari ini masih menjadi rujukan nilai dalam tata kelola negara dan sistem hukum nasional kita.
Indonesia adalah dibangun dengan semangat gotong royong dan inklusivitas. Tapi hari ini, kita menyaksikan bagaimana identitas kultural dan keagamaan justru dijadikan komoditas politik. Kebhinekaan dieksploitasi demi suara saat pesta demokrasi, bukan untuk mempererat jalinan sosial. Nasionalisme pun bergeser dari bentuk inklusif menjadi nasionalisme artifisial simbolik dalam perayaan, tapi hampa dalam substansi.
Makin hari, semakin tampak bahwa korupsi, ketidakadilan struktural, dan kemerosotan moral menjadi fenomena yang merasuki institusi negara. Dari kepala desa hingga elite nasional, dari pengelolaan proyek kecil di desa hingga mega proyek infrastruktur, praktik korupsi telah menjadi penyakit sistemik. Bahkan, menurut data yang pernah dirilis oleh Kejaksaan Agung, potensi kebocoran anggaran Indonesia dapat mencapai angka 1 kuadriliun rupiah. Ini adalah pengkhianatan terhadap sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Ketimpangan Struktural
Ketimpangan struktural yang kita hadapi hari ini bukan muncul secara tiba-tiba. Ia memiliki akar sejarah panjang sejak masa kolonialisme. Pemerintah Hindia Belanda membangun sistem sosial yang secara sengaja membagi akses terhadap pendidikan, kekuasaan, dan kemakmuran berdasarkan status sosial dan etnisitas.
Secara konkret dapat kita lihat dari pembukaan Tweede Inlandsche School di Singaraja, Bali, tahun 1875. Penelitian Thomas Reuter (2003) mencatat bahwa hanya golongan Brahmana dan Ksatria yang bisa mengakses pendidikan karena faktor kasta dan otoritas keagamaan. Di bawah struktur kolonial dan feodalisme lokal, pendidikan menjadi alat kontrol, bukan instrumen pemberdayaan.
Lahirnya Budi Utomo pada 1908, menjadi reaksi atas kebijakan etis Belanda yang memang lebih berpihak pada kaum bangsawan pribumi. Para bangsawan muda yang bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau STOVIA, lambat laun tumbuh menjadi intelektual kritis terhadap sistem ketidakadilan. Mereka menyadari bahwa sistem kolonial tidak hanya menjajah secara fisik, tetapi juga menanamkan benih-benih ketimpangan sosial yang masih kita rasakan hingga hari ini.
Ekonomi Berkeadilan
Dalam kerangka ekonomi Pancasila, pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Selanjutnya, pasal ini mengatur peran negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 34 pun menegaskan kewajiban negara dalam merawat fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Gagasan Kekeluargaan dalam pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 seharusnya berbeda dengan negara barat yang mengedepankan individualistis. Seharusnya kegiatan ekonomi sebagaimana demokrasi Pancasila bahwa kegiatan ekonomi haruslah kegiatan ekonomi yang tidak elitis. Jadi, seharusnya keberadaan pasal 33 harus memberikan transformasi terhadap ekonomi dan sosial menjadi sistem ekonomi kebersamaan. Jadi, bukan kegiatan ekonomi seperti majikan dan buruh.
Namun, perekonomian nasional Indonesia hari ini seringkali tidak menunjukkan keberpihakan kepada keadilan sosial. Liberalisasi yang dibungkus dalam jargon efisiensi dan investasi telah menempatkan warga negara hanya sebagai objek pembangunan, bukan subjek yang ikut menentukan arah perekonomian. Sektor-sektor strategis perlahan diserahkan ke logika pasar, dan kehadiran negara mengecil dalam pengendalian distribusi kesejahteraan.
Kalau kita melihat kembali ke belakang, contoh nyatanya adalah karut-marut UU Cipta Kerja dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXVIII/2020 yang merupakan pengujian secara formil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.
Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator memerintahkan agar pembentukan undang-undang tersebut dilakukan perbaikan, apabila tidak adanya perbaikan selama dua tahun, maka Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen, termasuk aturan pelaksanaannya.
Bahkan, kalau kita perhatikan substansi yang diatur dalam UUCK, substansi yang diatur yang diklaim sebagai upaya percepatan dan perbaikan iklim investasi, nyatanya justru semakin memberikan jurang ketimpangan yang memperburuk perlindungan terhadap hak-hak buruh. Artinya, undang-undang tersebut sebenarnya terkesan lebih didominasi atas kepentingan para pemilik modal.
Sementara itu, Pasal 23 menyangkut keuangan negara seharusnya menjamin agar pengelolaan fiskal berpihak kepada rakyat banyak, bukan elite ekonomi-politik. Tetapi dalam praktiknya, alokasi anggaran kerap kali tidak menyentuh akar kemiskinan struktural, dan malah menumpuk di sektor yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Aspek ekonomi yang adil tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa penyangga sistem hukum yang berpihak kepada keadilan. Pasal 27 ayat (1) menegaskan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta Pasal 28D ayat (1) menjamin kepastian hukum yang adil. Tetapi hukum di Indonesia kerap kali berwajah ganda yaitu cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Di tengah-tengah ketimpangan sosial yang melebar, hukum seharusnya menjadi pelindung bagi mereka yang rentan dan tidak memiliki akses kekuasaan. Namun realitanya, proses legislasi di Indonesia terlalu sering dipengaruhi oleh lobi-lobi kekuasaan dan perwakilan kepentingan ekonomi tertentu. Undang-undang lebih sering lahir bukan dari kebutuhan rakyat banyak, tetapi dari proses bargaining antar-elite politik dan ekonomi.
Hukum yang Berkeadilan
Peraturan perundang-undangan yang semestinya menjamin pemerataan dan keadilan ekonomi, justru seringkali memperparah kesenjangan. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap Pancasila dan UUD NRI 1945, yang menuntut agar hukum dan kebijakan publik dibangun atas dasar kepentingan umum dan keberpihakan terhadap rakyat.
Tidak kalah penting, Pasal 31 UUD NRI 1945 menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah landasan utama bagi pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembentukan masyarakat kritis. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih bias pada penguasaan kognitif dan kompetensi kerja pasar, dan belum sepenuhnya menanamkan kesadaran ideologis tentang pentingnya ekonomi berkeadilan sosial.
Pendidikan semestinya menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar alat mobilitas sosial yang hanya memperkuat hierarki lama. Tanpa pendidikan yang membebaskan dan berlandaskan Pancasila, ekonomi Indonesia akan terus terjebak dalam logika eksploitatif, bukan emansipatoris.
Jangan Sekadar Perayaan
Hari ini kita merayakan Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni. Namun, seiring dengan upaya simbolisasi tersebut, muncul pula ironi. Baru-baru ini, kita melihat langsung aksi para guru dan pelajar Sekolah Luar Biasa Negeri Pajajaran, Kota Bandung, yang menolak rencana alih fungsi gedung sekolah mereka oleh Kementerian Sosial. Peristiwa ini menandakan bahwa hak dasar untuk pendidikan yang adil dan berpihak pada semua lapisan masyarakat masih terabaikan. Pertanyaannya: “Apakah negara benar-benar hadir dalam memastikan pendidikan sebagai alat pembebasan? Atau justru terjebak dalam proyek-proyek politik yang tidak berkelanjutan?”
Tak kalah tragis adalah kondisi sistem hukum kita. Di negeri ini, "Wakil Tuhan" julukan bagi para hakim justru ikut dalam pusaran komodifikasi keadilan. Hukum tidak lagi menjadi instrumen penegakan keadilan substantif, melainkan menjadi alat tawar-menawar kekuasaan. Aparat penegak hukum tebang pilih, kasus-kasus besar lenyap ditelan waktu, dan elite politik terus mempermainkan konstitusi demi kepentingan jangka pendek.
Di saat yang sama, partai politik justru menjadikan jabatan publik sebagai barang dagangan. Kursi menteri, posisi legislatif, bahkan posisi di lembaga penegak hukum pun dinegosiasikan dalam logika transaksional. Ormas-ormas yang seharusnya menjadi pilar civil society justru berubah menjadi kelompok vigilante yang memalak rakyat kecil atas nama moralitas dan ketertiban.
Keluar dari Ketimpangan
Pancasila adalah pondasi moral dan sosial yang visioner. Namun, ia tidak akan berarti apa-apa jika hanya menjadi dokumen simbolik. Kita tidak sedang kekurangan slogan nasionalisme. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menata ulang ulang sistem: dari ekonomi yang timpang menuju ekonomi berkeadilan, dari hukum yang manipulatif menjadi hukum yang berpihak, dari politik transaksional menuju politik substantif.
Ekonomi berkeadilan bukan sekadar retorika. Ia membutuhkan keberanian politik, konsistensi hukum, dan keberpihakan institusional. Kita tidak bisa terus menunda janji keadilan sosial hanya karena realitas politik dan hukum yang pragmatis. Jika hukum tidak diarahkan pada keadilan substantif, dan jika perekonomian terus diserahkan pada mekanisme pasar tanpa koreksi negara, maka cita-cita Pancasila akan terus menjadi angan-angan belaka.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan reorientasi kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpijak pada Pancasila. Hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan alat transaksi kekuasaan. Perekonomian harus disusun dalam semangat gotong royong dan keberpihakan, bukan hanya sekadar pertumbuhan angka-angka makro.
Jika dahulu kita melawan penjajah karena ketidakadilan, kini musuh kita bukan lagi bangsa asing, melainkan ketidakadilan yang dibudidayakan oleh anak bangsa sendiri. Maka, ketika kita memperingati lahirnya Pancasila, sudah sepatutnya kita bertanya: “Apakah kita masih berjalan di jalan yang sama seperti para pendiri bangsa kita? Atau justru telah menyimpang jauh dari nilai-nilai yang mereka perjuangkan?”
Di era seperti ini, membincang Pancasila bukan lagi soal hafalan, tetapi keberanian untuk menjadikannya nyata. Keberanian untuk menolak korupsi, untuk melawan ketidakadilan, dan untuk menuntut tanggung jawab dari mereka yang telah mengkhianati amanah rakyat. Tanpa itu, Pancasila hanya akan menjadi mantera kosong dalam upacara-upacara negara.
Kita tidak bisa lagi berpura-pura bahwa nasionalisme cukup dengan berdiri tegak di depan tiang bendera merah putih, sementara dari balik menara gading kekuasaan, rakyat terlihat kecil dan tak berarti. Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni berdiri lurus ke atas, tetapi melihat ke bawah, melihat rakyat yang harus diperjuangkan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.