Siapa bilang ibadah haji zaman Hindia Belanda tidak ada dokumentasinya. Yang jepret adalah Snouck Hurgronje. Tujuannya bukan buat kenang-kenangan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Inilah salah satu sosok yang mengadikan perjalanan haji orang Indonesia pada masa Hindia Belanda: Snouck Hurgronje.
Mengutip catataan Achmad Sunjayadi dalam Kompas.ID yang berjudul "Naik Haji pada Masa Hindia Belanda", pada 1825 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan resolusi pelaksanaan ibadah haji. Tujuannya untuk melakukan pengawasan.
Resolusi itu terutama untuk mengatur kuota haji juga sebagai bagian dari pengawasan terhadap gerak-gerak jamaah haji yang pergi ke Tanah Suci. Sebagaimana kita, dulu, banyak orang Indonesia yang pergi ibadah haji setelah balik ke Indonesia menjadi "musuh" pemerintah kolonial.
Resolusi itu juga terkait ongkos naik haji sebesar 110 gulden juga paspor untuk ibadah haji. Karena masih banyak celahnya, pemerintah kolonial kemudian menyempurnakannya pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.
Ada juga peraturan tentang penyematan gelar haji, sebagai termaktub dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië 6 Juli 1859 Nomor 42 yang dibaut pada 1859. Peraturan itu kira-kira berisi, jamaah haji yang telah kembali dari Mekkah akan diuji oleh bupati atau penguasa lokal serta ulama setempat.
"Pertanyaannya mengenai tempat-tempat suci yang dikunjungi. Jika mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka akan diberi sertifikat, berhak menyandang gelar haji, dan mengenakan pakaian haji. Sebaliknya, jika mereka tidak dapat membuktikan telah mengunjungi Mekkah atau menjawab pertanyaan, maka tidak diberi sertifikat, tidak boleh mengenakan pakaian haji, dan didenda sebesar 25 hingga 100 gulden," tulis Sunjayadi.
Yang juga menarik, ibadah haji mada zaman Hindia Belanda ternyata sudah ada "fotografer"-nya. Si juru jepret itu adalah Snouck Hurgronje.
Tapi tentu saja kebutuhan dokumentasi itu bukan untuk kenang-kenangan. Melainkan sebagia bagian dari pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Salah satu ”fotografer” yang mengabadikan kegiatan haji tersebut adalah Snouck Hurgronje (1857-1934). Kita tahu, sebelum jadi orang kepercayaannya pemerintah kolonial Hindia Belanda, Snouck pernah setahun bertugas di konsulat Belanda di Jeddah. Dan di sinilah dia mengubah namanya menjadi Abdul Ghaffar.
Gelar haji itu warisan Belanda, lho!
Jika sekarang ada orang bangga dengan gelar "Haji"-nya, ingat penyematan gelar itu karena inisiatif Belanda, lho. Gelar haji mulai digunakan di Indonesia pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1916.
Ternyata penyematan gelar itu politis sifatnya. Mengutip Kompas.com, ketika itu, Islam adalah salah satu kekuatan anti-kolonialisme di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Seperti disebut di awal, banyak orang Indonesia yang setelah pulang dari Tanah Suci menjadi "musuh" pemerintah kolonial.
Banyak contohnya, seperti Ahmad Dahlan yang pulang-pulang dari Mekkah mendirikan Muhammadiyah pada 1912. Lalu ada Hasyim Asyari mendirikan Nahdlatul Ulama. Jangan lupakan juga Samanhudi dan Tjokroaminoto yang menjadi dua sosok paling penting dalam sejarah Sarekat Islam.
Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini tentu mengkhawatirkan pihak Belanda. Karena itulah Belanda membuat aturan, orang yang telah kembali dari Tanah Suci -- tentu saja untuk ibadah haji -- disematkan gelar haji.
Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Tujuan pemberian gelar haji ini adalah agar pihak Belanda lebih mudah dalam melakukan pengawasan bagi para jemaah haji yang mencoba memberontak.
Karena itulah sejak 1916 setiap umat Muslim Indonesia yang baru saja pulang dari ibadah haji akan diberi gelar haji.
Menurut guru besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia. "Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com. Dia juga membenarkan asal gelar Haji dari pemerintah Hindia Belanda.
Seperti disebut di awal, penyematan gelar haji sangat politis, terutama untuk menghalau atau mengawasai gerakan Pan-Islamisme yang sudah sampai ke Indonesia, lewat para ulama yang pulang dari Tanah Suci. Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Konsep dasar Pan-Islamisme dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani akhir abad ke-19. Menurut Syamsul, ada dua paham lawan kolonialisme pada saat itu: Pan-Islamisme dan komunisme. Semangat Pan Islamisme adalah umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
"Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," tutur Syamsul. "Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya."
Dari situ kita tahu, gelar haji sejatinya bukan gelar penghormatan, tapi semata-mata demi kebutuhan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu. Gelar haji dipakai Belanda untuk berjaga-jaga jika para haji itu mempengaruhi masyarakat melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.