Kurban: Pengorbanan, dan Keakuan yang Belum Hilang
Reza Fauzi Nazar June 05, 2025 03:20 PM
Di antara kisah-kisah tua yang paling ganjil dan abadi, kisah pengorbanan Ibrahim untuk menyembelih Ismail adalah satu yang paling menyentuh sekaligus membingungkan. Kala itu, sebuah perintah datang dari langit, dan tanpa ragu, seorang ayah mengangkat pisau kepada anak kandungnya sendiri.
Di sana ada iman, tentu. Tapi juga ada ketaatan yang tak mudah dibungkus dengan kata-kata manis. Apa makna pengorbanan jika ia hanya menuntut kepatuhan? Apakah pengorbanan sejati lahir dari cinta? atau dari ketakutan? Mungkin jawaban yang sering disampaikan para agamawan adalah sebuah ketundukan dan ketakwaan.
Kurban, dalam sebuah tafsir bukan semata soal hewan. Tapi tentang keterikatan. Tentang keberanian melepaskan sesuatu yang kita cintai, karena kita tahu: dalam mencintai yang fana, kita sering lupa pada Yang Abadi. Iqbal, pernah menulis bahwa keikhlasan sejati adalah ketika manusia melepas dunia, tanpa kehilangan dirinya. Tapi itu bukan hal yang mudah. Karena dunia, justru hadir dalam bentuk yang paling akrab: anak kita, harta kita, jabatan kita, ambisi kita.
Syahdan, dari darah seorang anak yang tak jadi tumpah itu kemudian dirayakan setiap tahun, dalam bunyi takbir, dalam barisan kambing dan sapi yang diikatkan dan bersiap disembelih. Tapi apakah semua kurban masih membawa makna yang sama dengan guncangan batin seorang Ibrahim? Ataukah ia telah menjelma sekadar ritual saban tahunan, tanda kelas sosial, atau bahkan—sebuah—pameran kemurahan?
Mungkin bukan itu yang Tuhan ingin kita lakukan. Barangkali, Ia ingin kita menyembelih ketamakan. Atau kesombongan. Atau keterikatan yang membuat kita kehilangan kemerdekaan rohani. Tapi benarkah kita menyembelih itu? Atau hanya sekadar menjalankan formalitas, lalu pulang dengan hati yang tetap rakus, tetap takut, tetap ingin memiliki lebih—entahlah.
Kurban, sebenarnya merupakan pertaruhan batin. Seperti yang ditulis Emile Durkheim, ritus merupakan jalan kolektif untuk menyentuh yang sakral. Tapi justru karena itu, ritus sering berubah jadi rutinitas—dan kehilangan makna. Saban tahun, tubuh-tubuh hewan rebah dalam darah di lapangan dan halaman sebuah masjid. Tapi yang direbahkan itu apakah benar-benar ego kita, kesombongan kita, hasrat kita untuk menggenggam, menguasai, dan menaklukkan?
Saya membayangkan, kesejatian kurban ialah saat seseorang memutuskan untuk berkata cukup di tengah dunia yang mendorongnya untuk terus ingin lebih. Atau di mana seseorang memaafkan, bukan karena tidak bisa membalas, tapi karena ia tahu: dendam adalah beban yang membuat langkah spiritual menjadi pincang. Dan dalam dunia yang gaduh oleh citra, oleh bunyi, oleh kejar-mengejar, mungkin pengorbanan terbesar hari ini adalah hening. Keikhlasan untuk tidak tampil. Untuk memberi, lalu pergi. Untuk melepaskan, lalu diam.
Selain itu, kurban adalah tentang relasi antara manusia dan Tuhannya. Antara “aku” dan yang liyan. Kita berbagi sesuatu yang penting, yang bernilai. Tetapi juga kita merelakan sesuatu yang menyakitkan. Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab, kata “kurban” (qurban) berakar dari kata qaraba—yang berarti mendekat. Ia bukan sekadar tentang menyembelih hewan, melainkan tentang mengurangi jarak antara aku dan Yang Ilahi, juga antara aku dan sesama.
Saya pernah menyaksikan seekor sapi mengamuk saat akan disembelih. Matanya merah, napasnya menderu. Dalam tatapannya itu, saya merasa sedang dihujam sebuah pertanyaan: untuk siapa aku mati? Untuk Tuan yang diatasnamakan? Apakah benar kematiannya membawa makna? Untuk memberi kebahagian fakir miskin? Atau kita telah lupa makna itu dan hanya melanjutkan sebuah tradisi karena kita tak tahu harus mulai bertanya dari mana?
Ada yang bilang bahwa dalam dunia modern, pengorbanan telah kehilangan tempat. Di tengah budaya yang begitu banal dan cepatini, kita tak lagi mengagungkan kehilangan. Kita lebih suka akumulasi. Kita lebih menghormati yang mengumpulkan ketimbang yang melepaskan. Bahkan saat memberi, kita masih berharap ada yang kembali. “Balasan pahala berlipat ganda”, kata sebuah spanduk itu. Seolah surga bisa dibeli dengan seekor kambing.
Padahal, dalam pengorbanan sejati, tak ada transaksi. Tak ada kalkulasi. Yang ada hanyalah pemberian—yang kadang tak dimengerti, bahkan oleh si pemberi sendiri. Itulah yang membuat pengorbanan menjadi begitu manusiawi dan sekaligus ilahi. Ia tak rasional, tapi justru itulah hikmah-Nya.
Saya termenung akan cerita-cerita kecil yang tak masuk berita: seorang ibu menjual perhiasan terakhirnya untuk membayar biaya kuliah anaknya, seorang guru honorer yang bertahun-tahun mengajar tanpa gaji demi anak-anak desa, seorang remaja diam-diam menolak tawaran beasiswa luar negeri karena tak ingin meninggalkan ibunya yang sakit. Mereka tak menyebut dirinya martir. Mereka tak pernah merasa “berkorban”. Tapi dari sana kurban sesungguhnya lahir—dari cinta yang tak butuh pengakuan.
Tapi tentu, dunia tak selalu semurni itu. Ada yang mengorbankan orang lain atas nama cita-cita. Atas nama bangsa. Atas nama Tuhan. Seperti yang dilakukan oleh para teroris yang meledakkan diri, atau pemimpin yang mengirim ribuan pemuda ke medan perang demi sebuah impian besar. Di sana, “pengorbanan” telah berubah wajah menjadi kekuasaan. Menjadi alat. Bukan lagi tentang kedekatan, tapi penghilangan. Itulah sisi gelap dari kata “kurban”. Ia bisa menjadi alat legitimasi untuk kebengisan yang dibungkus dengan nama luhur.
Namun, mungkin kita terlalu keras pada diri sendiri. Karena dalam setiap zaman, kurban akan selalu mencari bentuknya sendiri. Ia menyesuaikan. Ia mungkin tidak lagi berdarah. Mungkin ia berbentuk waktu yang dicuri dari tidur demi menemani anak belajar. Mungkin ia adalah kesabaran yang ditanam diam-diam untuk merawat pasangan. Mungkin ia adalah keberanian untuk berhenti, bukan terus mengejar.
Kurban tidak selalu megah. Ia bisa datang dari keputusan-keputusan kecil yang tak dilihat siapa-siapa. Dari kompromi yang kita lakukan dengan dunia, agar dunia tidak terlalu bengis kepada orang lain. Dan seperti Ibrahim, kita tak selalu tahu apa yang akan terjadi. Pisau itu bisa jadi tak pernah menyentuh leher. Tapi keputusan untuk mengangkatnya, sudah cukup mengguncangkan langit.
Mungkin kurban sejati bukan tentang apa yang kita lepaskan, tetapi tentang apa yang kita bersedia lepaskan. Tentang keterbukaan untuk kehilangan. Tentang hati yang siap berpisah, walau tak selalu jadi pisah.
Di situlah, saya kira, kurban menjelma menjadi pengorbanan. Bukan sekadar ritual, tapi sebuah sikap batin. Ia sunyi, ia tak memerlukan saksi. Tapi justru dalam kesunyian, ia bermakna. Seperti tetes darah yang tak jadi jatuh—ia mungkin tak meninggalkan noda, tapi ia meninggalkan gema.
Ibrahim tak pernah tahu hasil akhirnya. Ia hanya menjawab panggilan. Tapi kita, sering kali ingin memastikan hasil—ingin dagingnya sampai, momen fotonya terabadikan, dan nama kita disebut. Padahal, sebagaimana ditulis Martin Buber, dalam perjumpaan yang sejati dengan Yang Ilahi, kita harus keluar dari “aku-itu” dan masuk ke dalam “aku-engkau” — hubungan yang murni, tanpa pamrih, tanpa dominasi.
Syahdan, yang paling berat bukan menyembelih hewan itu. Tapi menyembelih ambisi kita untuk selalu jadi pusat. Untuk selalu merasa benar, merasa lebih tahu, lebih saleh, lebih benar, lebih pantas. Barangkali kurban yang hakiki adalah ketika kita belajar diam—dan mendengar dengan jernih bahwa ada yang lebih tinggi dari keinginan kita. Sebab setiap tahun, kita kembali—menatap darah, menatap langit, menatap hati—dan bertanya: sudahkah kita benar-benar menyerahkan diri?