Jam tangan itu masih melekat erat di pergelangan tangan Pak Darto, meskipun kulitnya sudah keriput dan sedikit mengendur. Jarum detiknya tak lagi berjalan, berhenti pada angka 4:27 entah sejak kapan. Tapi Pak Darto tidak pernah melepasnya. Katanya, itu bukan lagi sekadar penunjuk waktu, tapi penanda sejarah hidup.
Tiga puluh delapan tahun ia bekerja di pabrik tekstil di pinggir kota. Bangun subuh, naik angkutan umum, bekerja delapan jam mengoperasikan mesin jahit industri, lalu pulang saat langit sudah gelap. Begitu terus, dari zaman selagi muda sampai era digital. Ia tidak punya ijazah tinggi, tapi tangannya cekatan, dan hatinya jujur.
Dulu, saat usianya baru 25, Pak Darto sempat bertanya ke kepala personalia soal pensiun. “Dana pensiun, Pak?”
"Ah, itu cuma buat PNS. Kita mah enggak usah mikir sejauh itu. Yang penting kerja rajin, nanti juga hidup tenang di hari tua," jawab atasannya sambil terkekeh.
Ia percaya saja. Karena zaman itu, tidak banyak yang tahu tentang dana pensiun. Tak ada yang bicara tentang inflasi, biaya rumah sakit, atau dana darurat. Semua fokus pada hari ini. Bagaimana cukup makan dan bisa menyekolahkan anak, sesederhana itu.
Tahun lalu, pabriknya tutup mendadak. Mesin-mesin diangkut truk besar malam hari. Para buruh, termasuk Pak Darto, hanya mendapat surat PHK dan ucapan terima kasih. Pesangon yang dijanjikan tak kunjung cair karena perusahaan mengaku bangkrut. Dan begitulah, di usia 62, Pak Darto resmi menganggur. Tanpa uang pensiun. Tanpa uang pesangon. Hanya bisa menerima semuanya.
-----
Hari ini, di rumah kontrakan kecil di pinggiran Bekasi, Pak Darto duduk di kursi plastik reyot. Di sampingnya, istrinya, Bu Marni, sibuk mencatat daftar utang warung.
"Pak, kita harus bayar listrik minggu ini. Kalau tidak, diputus," katanya lirih.
Pak Darto hanya mengangguk. Uang hasil narik ojek online kemarin hanya cukup untuk membeli obat darah tinggi dan beras 2 liter.
Anak-anak mereka semua sudah menikah dan hidup pas-pasan. Ada yang jadi karyawan toko, ada yang kerja serabutan di Jakarta. Dulu, Pak Darto selalu bilang, "Bapak gak mau ngerepotin kalian di hari tua." Tapi sekarang, ia bahkan bingung apakah bisa beli gas elpiji untuk bulan depan.
Kadang, malam-malam ia duduk sendirian di dapur, menatap jam tangannya yang beku. Ia teringat rekan-rekan sekerja yang dulu bilang, “Kita gak kaya, tapi cukup.” Kini sebagian dari mereka sudah meninggal dalam kesulitan, atau hidup menumpang di rumah anak-anaknya.
-----
Di hari Minggu yang muram, Pak Darto ke pasar untuk menjual jam tangannya. Bukan karena butuh uang — jam itu pun tak laku mahal. Tapi karena ia lelah melihat waktu yang terus diam, seolah-olah mengejeknya. Menyindir bahwa ia tidak siap ketika akhirnya waktu memutuskan berhenti.
“Pak, saya bisa bantu kasih seratus ribu. Tapi jam ini sudah tua banget, mesinnya mati,” kata penjual barang bekas.
Pak Darto tersenyum. Ia mengangguk, menyerahkan jam itu perlahan. Seratus ribu. Cukup untuk bayar listrik, beli minyak goreng, dan sekantong mie instan.
Saat melangkah pulang, pergelangan tangannya terasa ringan, tapi hatinya berat. Ia bukan marah. Bukan sedih. Tapi hampa. Bukan karena miskin. Tapi karena tidak pernah diberi kesempatan tahu bahwa hari tua harus dipersiapkan.
Bukan karena malas. Tapi karena dulu tidak ada yang memberi tahu bahwa bekerja keras saja tidak cukup.
----
Dan saat itu, di tengah pasar yang riuh, Pak Darto berjanji dalam hati:
"Kalau waktu bisa diulang, aku akan mulai menyisihkan sedikit demi sedikit.
Karena pensiun bukan soal berhenti kerja. Tapi soal hidup dengan martabat, mau seperti apa di hari tua?"
Pak Darto masih membatin, ternyata hiduptidak cukup hanya bekerja. Tapi harus berani menabung untuk hari tua, untuk masa pensiun. Agar tetap tenang dalam menjalani hari-hari saat tidak bekerja lagi, Yuk Siapkan Pensiun!