“kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran, penyelewengan, korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita dan cucu-cucu kita. Kita harus berani mengakui terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari anggaran kita, penyimpangan-penyimpangan, kolusi di antara para pejabat politik, pejabat pemerintah di semua tingkatan, di semua tingkatan dengan pengusaha-pengusaha yang nakal, pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik. Janganlah kita takut untuk melihat realita ini.”
Kalimat ini merupakan sebuah kalimat pamungkas bagi saya pribadi dalam Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih pada 20 Oktober 2024 di Gedung MPR RI. Terlihat animo dari Seorang Presiden Prabowo untuk keluar dari permasalahan korupsi yang sistemik di Indonesia. Secara tersirat, amanat dari Pidato Presiden Prabowo juga tidak lepas dari pengaruh keberhasilan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung yang selama ini menjadi ikon pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, selain KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung, salah satu elemen kunci dalam upaya pencegahan korupsi adalah Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP), yang memiliki peran strategis dalam menjaga integritas birokrasi dan melindungi keuangan negara dari kebocoran akibat penyalahgunaan wewenang. Namun, keberadaan APIP masih kurang dikenal oleh publik, meskipun peranannya sangat penting. APIP merupakan bagian integral dari struktur pemerintahan yang bertugas melakukan pengawasan internal di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Dalam menjalankan tugasnya, APIP berfungsi sebagai garda terdepan pencegahan korupsi. Mereka dapat mendeteksi indikasi awal penyimpangan sebelum masalah tersebut berkembang menjadi tindak pidana korupsi. Hal ini sangat penting untuk meminimalkan potensi kerugian negara dan menciptakan sistem pemerintahan yang bersih serta berorientasi pada pelayanan publik.
Dalam Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sistem pengendalian intern disebutkan bahwa pengaturannya lebih jelas disusun dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SIPP).
Sistem pengendalian intern merupakan rangkaian tindakan dan kegiatan terus menerus yang dilakukan oleh pimpinan dan seluruh staf untuk memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui operasi yang efektif dan efisien, pelaporan keuangan yang konsisten, perlindungan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pasal selanjutnya menyebutkan bahwa Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan dilakukan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Permasalahan di lapangan, penafsiran tentang lembaga mana saja yang dapat diaudit oleh aparat pengawasan intern pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), masih berbeda dengan yang ditentukan oleh peraturan pemerintah tersebut.
Contohnya, dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan daerah. Secara eksplisit, ketentuan ini tidak menyebutkan lembaga non-kementerian lain sebagai objek pengawas intern pemerintah.
Beberapa contoh yang terjadi adalah bagaimana dengan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), apakah menjadi objek pengawasan atau tidak. Oleh karena itu, interpretasi yang berbeda muncul, ada yang menafsirkan bahwa BUMN juga termasuk dalam objek pengawasan, sementara juga ada yang berpendapat hanya instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang menjadi objek pengawasan.
Inkapasitas
Adanya multitafsir seperti ini perlu dilakukan evaluasi apa saja yang menjadi objek pengawasan yang dimaksud oleh pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang spip. Agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda, perlu menyebutkan secara eksplisit seluruh objek pengawasan sehingga nantinya tidak mengurangi kualitas pengawasan atau menghambat pelaksanaan pengawasan yang dilakukan.
Dalam pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas, BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, serta Inspektorat Kabupaten/Kota. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.
Frasa ‘koordinasi kegiatan’ dalam peraturan pemerintah tersebut belum memberikan amanat yang tegas dan jelas bagaimana sebenarnya koordinasi efektif yang diamanatkan. Norma tersebut tidak memberikan pengaturan yang memadai mengenai bentuk/cara koordinasi antara BPKP dengan Itjen/nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern di kementerian/lembaga, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari disharmoni kewenangan antara BPKP dan inspektorat. Sebagaimana diketahui, saat ini ada beberapa instansi pengawas, yaitu BPK sebagai eksternal auditor, BPKP sebagai internal auditor.
Oleh karena itu, yang menjadi evaluasi adalah perlu dilakukan penegasan bagaimana bentuk koordinasi dengan SOP dan kewenangan yang jelas, lengkap dan benar-benar diterapkan, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara BPKP dan inspektorat/auditor internal pemerintah lainnya.
Evaluasi lainnya adalah amanat dari Pasal 56 yaitu, “Aparat pengawasan intern pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus independen dan objektif.” Frasa ‘independen dan objektif’ adalah dua kata yang menjadi tantangan pelaksanaan pengawasan intern pemerintah saat ini. Apabila dianalisis kata per kata, independensi menurut Mulyadi (2013), berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Sedangkan objektif adalah keadaan yang sebenarnya tanpa ada pengaruh pendapat atau pun pandangan pribadi.
Lebih lanjut, pasal tersebut sebenarnya mengamanatkan bahwa aparat pengawas intern pemerintah yang diharuskan independen adalah dimulai dari kelembagaan, karena pada dasarnya frasa ‘independen’ yang dimaksud bukanlah orang, namun badan hukum. Padahal dalam realita pelaksanaan di lapangan, aparat pengawas intern pemerintah bukanlah lembaga independen, apalagi bukan juga lembaga independen negara. Karena pada hakikatnya badan hukum independen di Indonesia diatur secara tegas independensinya baik langsung maupun tidak langsung di dalam undang-undang.
Regulasi Lemah
Belum lagi, kalau kita berbicara keberadaan APIP di tingkat kabupaten/kota/provinsi, UU Pemda menyatakan dengan tegas bahwa: “Inspektorat Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan oleh Perangkat Daerah.”
Intinya regulasi tersebut sudah mengunci baik secara hukum maupun praktis bahwa atasan inspektur di daerah adalah kepala daerah. Artinya, secara kelembagaan pun sudah terindikasi inkapasitas, dan sulit untuk menjalankan fungsi dalam organisasi secara objektif dan berkualitas. Jadi, kalau kepala daerahnya memang sudah koruptif sejak awal, maka APIP sudah pasti akan dilemahkan. Sebaliknya, jika kepala daerahnya bersih dan berintegritas, sudah pasti APIP semakin objektif dan berkualitas dalam mengawasi.
Undang-undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dalam manajemen organisasi diperlukan tone of the top untuk mencapai terwujudnya tujuan dari organisasi tersebut.
Dengan demikian maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif, melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Lantas, menjadi pertanyaan kontemplatif: “Mau sampai kapan kita membiarkan organisasi birokrasi kita disfungsi? Mengapa kita tidak pernah serius membenahi bahwa selama ini banyak sekali disfungsi dan inkapasitas dari organisasi birokrasi dan pemerintahan kita? Tidak adakah terpikir oleh DPR dan Pemerintah membenahi ini semua?”
Oleh karena itu, atas evaluasi dari UU dan peraturan pemerintah tersebut perlu dilakukan upaya revisi untuk mengikuti perkembangan yang ada saat ini, yang titik kulminasinya diharapkan dapat mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan.