Berobat Pakai Asuransi Tak Lagi Ditanggung Penuh, Pasien Harus Bayar 10 Persen
kumparanBISNIS June 06, 2025 10:20 AM
Mulai 1 Januari 2026, peserta asuransi kesehatan tak lagi bisa berobat tanpa biaya tambahan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan skema co-payment atau pembagian risiko, sebagai kewajiban dalam semua produk asuransi kesehatan, baik konvensional maupun syariah, yang menggunakan skema ganti rugi (indemnity) maupun pelayanan kesehatan terkelola (managed care).
Aturan baru ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025. Dalam beleid tersebut, peserta wajib menanggung minimal 10 persen dari total klaim, sekalipun nilai pengobatan sepenuhnya tercantum dalam polis.
“Produk Asuransi Kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) dari total pengajuan klaim,” demikian tertulis dalam beleid OJK tersebut, Kamis (5/6).
Untuk menjamin perlindungan konsumen, OJK menetapkan batas maksimal yang harus dibayar peserta: Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap per klaim. Namun, batas ini dapat diperbesar jika disepakati antara perusahaan asuransi dan pemegang polis serta tertulis di dalam polis.
“Untuk rawat jalan Rp 300.000 per pengajuan klaim dan untuk rawat inap Rp 3.000.000 per pengajuan klaim,” tulis aturan itu.
Menurut OJK, pembagian biaya ini bertujuan memperkuat manajemen risiko dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Skema ini juga diharapkan bisa menekan praktik over-klaim yang selama ini membebani sistem.
Ilustrasi asuransi. Foto: Suphaksorn Thongwongboot/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi asuransi. Foto: Suphaksorn Thongwongboot/Shutterstock
Lebih lanjut, perusahaan asuransi kini juga diperbolehkan menyesuaikan besaran premi berdasarkan riwayat klaim nasabah dan inflasi biaya kesehatan. Artinya, premi bisa naik saat perpanjangan polis atau bahkan di luar periode tersebut, asalkan ada persetujuan dari peserta.
“Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan,” bunyi beleid itu.
Namun, skema co-payment tidak berlaku untuk asuransi mikro yang menyasar kelompok berpenghasilan rendah.

Alasan OJK

OJK menegaskan kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi perilaku konsumtif dalam pemanfaatan layanan asuransi kesehatan.
“Maksud dan tujuan pengaturan co-payment adalah mencegah moral hazard dan mengurangi penggunaan layanan kesehatan oleh peserta secara berlebihan (over-utilitas). Diharapkan pemegang polis, tertanggung atau peserta menjadi lebih bijaksana dan prudent dalam menggunakan asuransi kesehatan,” tulis OJK.
Selain menekan penggunaan berlebih, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menahan laju kenaikan premi agar tetap terjangkau di masa depan.
Kewajiban co-payment ini berlaku untuk semua jenis asuransi, termasuk asuransi kumpulan yang biasa digunakan dalam program kerja sama perusahaan dengan karyawan.
Menanggapi keberatan sebagian pihak, terutama dari penyelenggara asuransi kumpulan yang selama ini lebih fleksibel atau tailormade, OJK menegaskan tidak ada pengecualian.
“Dengan adanya SEOJK asuransi kesehatan ini diharapkan adanya perubahan ekosistem jaminan kesehatan yang lebih baik, sehingga tetap diterapkan pada asuransi kumpulan,” terang OJK.
Dalam praktiknya, perusahaan sebagai pemegang polis bisa saja menanggung porsi biaya co-payment tersebut, tergantung pada kesepakatan kerja dengan karyawan. Satu hal yang dipastikan OJK, tidak akan ada lagi produk asuransi kesehatan tanpa co-payment.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.