PDIP: Penghentian Permanen Tambang di Raja Ampat Wajib Dilakukan, Bukan Sementara Apalagi Pura-pura
Facundo Chrysnha Pradipha June 07, 2025 09:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Politikus PDIP sekaligus Anggota Komisi VII DPR RI, Bane Raja Manalu, mendesak pemerintah melakukan penghentian permanen terhadap kegiatan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Dia menilai, penghentian sementara yang sebelumnya diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, tidak cukup dilakukan.

"Pertambangan apa pun harus dihentikan di Raja Ampat," kata Bane saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (6/6/2025).

"Penghentian permanen wajib dilakukan, bukan penghentian sementara apalagi penghentian pura-pura," ujarnya.

Bane mengatakan, Bahlil juga harus bersikap terbuka kepada publik terkait keterlibatan perusahaan tambang di kawasan tersebut, agar bisa dihentikan segera.

"Menteri ESDM perlu menyampaikan ke publik perusahaan apa saja yang terlibat. Untuk kemudian keseluruhannya dihentikan," ucapnya.

Bane pun menegaskan bahwa wilayah di Raja Ampat tersebut merupakan satu dari 12 kawasan geopark di Indonesia yang wajib dijaga kelestariannya.

Selain itu, Raja Ampat juga memiliki nilai yang jauh lebih besar apabila dikembangkan sebagai destinasi wisata berkelanjutan ketimbang kawasan tambang.

"Raja Ampat jauh lebih bermanfaat buat rakyat jika tetap jadi destinasi pariwisata," ungkapnya.

Izin Tambang di Raja Ampat Perlu Dievaluasi

Terkait dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, perlu segera dievaluasi.

Sebab, kegiatan pertambangan di kawasan konservasi Raja Ampat itu, memang tidak seharusnya dilakukan. 

"Semua izin usaha itu harus dievaluasi termasuk yang mengeluarkan izin usaha itu, mengingat Raja Ampat adalah area konservasi dan taman nasional," kata perempuan yang akrab disapa Sara ini kepada Tribunnews.com, Jumat (6/6/2025).

Menurutnya, wilayah kawasan taman nasional seperti Raja Ampat seharusnya tidak dijadikan lokasi eksploitasi.

Apalagi, pertambangan itu memiliki dampak terhadap ekosistem laut dan darat yang saling terhubung.

Sara menegaskan, Raja Ampat merupakan salah satu wajah kekayaan alam di Indonesia, sehingga permasalahan ini tidak bisa dianggap remeh.

"Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa kita anggap remeh karena Raja Ampat adalah salah satu wajah kekayaan alam, keanekaragaman, dan wisata Indonesia di dunia," ujar Sara.

"Apalagi karena kita tahu dampak pertambangan memiliki dampak yang sangat berpengaruh kepada ekosistem kita, seharusnya tidak ada pertambangan mineral di kawasan terlindungi seperti Raja Ampat," ucapnya.

Sara pun mendorong pemerintah daerah untuk mempertimbangkan alternatif sumber pendapatan lain di luar APBN. 

Salah satu yang potensial, kata dia, adalah pengembangan pariwisata berkelanjutan kelas dunia yang tetap menjaga kelestarian lingkungan.

"Jika Pemprov ingin mencari pendapatan selain dana dari APBN, pariwisata berkelanjutan kelas dunia sangat bisa dikembangkan."

"Pertambangan di areal mainland juga bisa dipertimbangkan. Tetapi area pesisir dan kawasan taman nasional seharusnya tidak," tegas Sara.

Kata Pengamat

Pengamat maritim cum Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Marcellus Hakeng Jayawibawa, berharap pemerintah meniadakan total aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat.

Sebab, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar. 

Apalagi, Raja Ampat juga menjadi rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Hilangnya wilayah ini akan menjadi kerugian global.

“Ini bukan semata-mata keputusan administratif, tetapi refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup."

"Harapan saya keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujar Hakeng dalam keterangannya, Jumat (6/6/2025).

“Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” jelas dia.

Menurutnya, keputusan penghentian pertambangan tersebut bisa menunjukkan bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi. 

Hakeng menjelaskan, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran. 

Namun, realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan hingga memunculkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia utamanya soal penegakan hukum lingkungan. 

Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, diketahui lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan tersebut. 

Sedimentasi yang mengalir ke laut juga telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.

“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” tegas Hakeng.

Hakeng mengatakan, status korporasi BUMN tidak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap aktivitas pertambangan pada lokasi geopark atau pelanggaran prinsip ekologis.

“Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya. 

Menurut Hakeng, penghentian ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis. 

Dalam kerangka ini, prinsip free prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar. 

FPIC sendiri merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat yang telah diakui dalam berbagai konvensi internasional. 

Hakeng mengatakan, salah satu persoalan besar dalam kasus ini adalah lemahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 

Dia kemudian menekankan mengenai pentingnya transparansi dalam proses AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). 

“Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya menjadi formalitas, padahal di situlah letak tanggung jawab sosial dan ekologis dari setiap proyek,” tegasnya. 

Hakeng pun menyarankan agar semua dokumen perizinan tersebut dibuka ke publik dan dievaluasi ulang secara ilmiah.

Hakeng juga menyoroti soal minimnya partisipasi lembaga akademik dan ilmiah dalam proses penilaian risiko lingkungan dari proyek-proyek besar seperti tambang nikel di pulau kecil tersebut.

Untuk hal ini, dia menyarankan pemerintah agar membentuk panel ahli independen yang terdiri dari ilmuwan lingkungan, ahli hukum, dan perwakilan masyarakat adat, dalam mengevaluasi proyek-proyek tambang.

“Keputusan strategis tidak bisa hanya didasarkan pada laporan perusahaan. Harus ada validasi independen dari kalangan akademik dan masyarakat sipil,” kata dia.

(Rifqah/Danang/Fersianus)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.