Direnggut dan Dituduh: Luka Ganda Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Syaira Fasha Qomaladea June 07, 2025 09:20 PM
Luka Pertama: Tubuh yang Dipaksa
Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang paling sering terjadi, namun paling jarang dilaporkan. Menurut Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2023 saja, tercatat lebih dari 30 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual menempati posisi tertinggi.
Namun angka itu hanyalah puncak gunung es. Banyak korban memilih bungkam karena takut, malu, atau tidak percaya pada sistem. Mereka yang berani bicara pun seringkali menghadapi jalan terjal.
Luka Kedua: Sistem yang Tidak Ramah Korban
Ketika perempuan memberanikan diri melapor, tak jarang mereka malah jadi tertuduh. Di ruang pemeriksaan, pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan justru membuat mereka merasa kembali diperkosa secara psikologis.
"Kenapa kamu ke tempat itu malam-malam? Pakai baju apa? Kamu pacaran sama dia?"
Alih-alih mendapat perlindungan, korban sering dianggap ikut bersalah. Ini bukan hanya bentuk reviktimisasi, tapi juga kegagalan sistem hukum dan sosial dalam memahami trauma dan posisi rentan perempuan korban kekerasan seksual.
Budaya Patriarki dan Stigma: Luka yang Tak Kasatmata
Indonesia masih hidup dalam cengkeraman budaya patriarki yang kuat. Perempuan diajarkan menjaga "kehormatan", sementara pelaku kekerasan seringkali dilindungi oleh status sosial, jabatan, atau relasi kuasa.
Media sosial pun tak luput menjadi arena penghakiman. Tak jarang korban justru di-bully secara daring, dituduh mengada-ada, bahkan dituntut balik oleh pelaku. Lihat saja kasus Baiq Nuril atau Agni. Keduanya menunjukkan betapa besar risiko sosial yang harus ditanggung oleh perempuan ketika berani bersuara.
Saatnya Berpihak pada Korban
Luka ganda ini tak akan sembuh jika negara terus gagal berpihak. Meski UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah disahkan pada 2022, implementasinya di lapangan masih jauh dari ideal. Korban butuh sistem hukum yang melindungi, aparat yang terlatih menangani kasus kekerasan seksual, dan masyarakat yang tidak lagi menyalahkan korban.
Lebih dari itu, kita butuh perubahan cara berpikir. Bahwa kekerasan seksual bukan soal baju, bukan soal tempat, bukan soal jam malam. Tapi soal kekuasaan, pemaksaan, dan ketimpangan.
Menutup Luka, Merawat Harapan
Setiap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual memikul luka yang tak bisa dilihat. Tapi luka itu nyata. Dan setiap kali mereka disalahkan, luka itu menganga lebih dalam.
Menjadi korban adalah luka. Tapi disalahkan karena menjadi korban adalah luka yang lebih dalam. Luka yang tidak boleh lagi kita biarkan.
Kini, saatnya berhenti bertanya "kenapa dia di sana", dan mulai bertanya, "kenapa pelaku merasa bisa melakukan itu?"
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.