Ketimpangan Wewenang TNI dan Polri dalam menjaga Kejaksaan
Fahmi Aziz June 08, 2025 05:40 PM
Sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal ini secara jelas menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang terlihat dalam pelaksanaan pemerintahan, baik di tingkat lembaga Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif. Dalam pasal ini diuraikan secara mendetail mengenai signifikansi menjamin keadilan, melindungi hak-hak masyarakat, dan memastikan bahwa negara tidak bertindak dengan semena-mena. Tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut tidak mudah dan tidak cukup hanya bergantung pada sistem yang sudah ada, melainkan juga perlu menciptakan atau memperbaiki sistem, karena untuk mencapai tujuan negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang ideal jelas tidaklah sederhana dan pasti menghadapi banyak tantangan besar bagi penegak hukum di Indonesia, demi mewujudkan makna dari Negara Indonesia sebagai Negara Hukum yang berlandaskan UUD 1945.
Penegakan hukum di Indonesia telah menghadapi hambatan yang cukup besar, terutama dalam upaya memberantas korupsi dan kejahatan berat lainnya. Jaksa yang berada di garis depan penegakan hukum sering kali menjadi target ancaman dan intimidasi yang bisa mengganggu independensi serta keberanian mereka dalam melaksanakan tugas. Menyadari hal ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 yang mengatur perlindungan bagi jaksa beserta keluarganya, dengan melibatkan TNI dan Polri dalam memberikan pengawalan. Akan tetapi, kebijakan ini memunculkan pendapat yang sangat beragam. Apakah Perpres ini adalah langkah yang benar bagi negara dalam melindungi keamanan penegak hukum atau memberikan kesempatan untuk penyalahgunaan kekuasaan yang berisiko?
Latar Belakang dan Isi Perpres Nomor 66 Tahun 2025
Perpres No 66 Tahun 2025 muncul dalam konteks usaha pemerintah meningkatkan sistem penegakan hukum di tanah air. Menurut aturan ini, dalam pasal 6, negara memberikan perlindungan khusus kepada jaksa beserta keluarganya yang mencakup enam jenis perlindungan: keamanan pribadi, tempat tinggal, rumah aman, aset, identitas, serta perlindungan lainnya sesuai yang diperlukan. Menarik untuk dicatat, dalam pelaksanaan tugasnya, Polri berperan dalam memberikan perlindungan langsung kepada individu jaksa serta keluarganya, sedangkan TNI berkonsentrasi pada pengamanan institusi kejaksaan secara lebih komprehensif.
Langkah ini muncul sebagai respons terhadap berbagai insiden ancaman dan kekerasan yang dialami oleh petugas penegak hukum, terutama jaksa yang terlibat dalam penanganan perkara korupsi dan kejahatan terorganisir. Diharapkan perlindungan ini dapat menumbuhkan rasa aman sehingga jaksa dapat melaksanakan tugasnya tanpa merasa takut atau tertekan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Upaya Negara Menjamin Keamanan Penegak Hukum
Tidak bisa disanggah, adanya Perpres ini adalah manifestasi pengakuan negara terhadap risiko tinggi yang dihadapi jaksa dalam pelaksanaannya. Ancaman kepada aparat penegak hukum bukanlah hal baru, dan dalam beberapa kasus, intimidasi tersebut sukses menghalangi proses hukum yang seharusnya berlangsung adil dan transparan. Dengan perlindungan yang terencana dan terorganisir, diharapkan para jaksa dapat lebih konsentrasi dan berani dalam menyelesaikan kasus tanpa merasa khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya.
Kolaborasi antara Kejaksaan, Polri, dan TNI juga mencerminkan adanya usaha nyata untuk memperkuat sinergi antar lembaga penegak hukum negara. Polri yang selama ini bertugas menjaga keamanan sipil, kini didampingi oleh TNI dalam institusi pengamanan yang lebih komprehensif. Ini dapat memperkuat keamanan dan meminimalkan celah bagi pihak-pihak yang berusaha mengganggu proses penegakan hukum.
Di samping itu, perlindungan yang mencakup keluarga jaksa merupakan langkah maju yang mengakui bahwa ancaman tidak hanya menargetkan individu, tetapi juga lingkungannya. Dengan cara ini, perlindungan menjadi lebih menyeluruh dan mampu mengurangi stres mental yang selama ini menjadi beban berat bagi aparat penegak hukum.
Potensi Kelebihan Wewenang dan Kontroversi yang Muncul
Namun, masih banyak yang mengkritik Perpres ini dengan alasan bahwa kebijakan tersebut berisiko menciptakan kelebihan dan kekuasaan. Salah satu isu utama adalah keterlibatan TNI dalam pengamanan masyarakat, yang selama ini menjadi topik sensitif di Indonesia. Tradisi pemisahan antara fungsi militer dan kepolisian dalam urusan sipil telah lama menjadi pokok penting dalam mempertahankan demokrasi dan menghindari militerisasi kehidupan masyarakat.
Penerbitan perpres 66/2025 juga sangat membuka ruang kembalinya dwifungsi TNI. Perpres itu membawa kembali militer masuk ke dalam wilayah sipil, yakni keajksaan. Padahal, kejaksaan sendiri adalah aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan serta kewenganan lain, sedangkan TNI mengurus hal pertahanan sesuai dengan UU TNI, tentu hal ini tidak bisa jalan berbarengan dikarenakan bedanya fungsi dua lembaga tersebut.
Melalui Perpres ini, kehadiran TNI dalam pengamanan lembaga kejaksaan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai batas-batas kekuasaan militer serta potensi penyamaran wewenang. Terlebih lagi, apabila tidak disertai dengan sistem pengawasan yang ketat, kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan enkripsi yang tidak diizinkan dapat muncul.
Konsideran dalam perpres 66/2025 juga hanya mencantumkan pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukkannya, sehingga peraturan ini sama sekali tidak bisa memunculkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI di dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMPS) yang diatur di dalam Pasal & UU TNI. Hal di dalam perpres juga tidak menjalaskan secara jelas tentang karegori OMSP yang dimaksud sebagai dasar keterlibatan TNI. Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis. Tugas dan fungsi kejaksaan tidak termasuk ke adalam 16 jenis OMSP tersebut. Hal ini tentu bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas dalam hal ruang Gerak TNI itu sendiri. (Tempo.com)
Melalui Perpres ini, kehadiran TNI dalam pengamanan lembaga kejaksaan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai batas-batas kekuasaan militer serta potensi penyamaran wewenang. Terlebih lagi, apabila tidak disertai dengan sistem pengawasan yang ketat, kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan enkripsi yang tidak diizinkan dapat muncul.
Di samping itu, terdapat rasa khawatir bahwa perlindungan yang diberikan dapat terlalu berlebihan dan akan menghalangi transparansi serta akuntabilitas dalam penegakan hukum. Jika lembaga penegak hukum mendapatkan perlindungan yang berlebihan, maka kesempatan untuk kritik dan pengawasan masyarakat dapat berkurang. Hal ini memiliki potensi untuk menciptakan kesenjangan kekuasaan yang justru merugikan asas negara hukum.
Perpres Nomor 66 Tahun 2025 merupakan langkah pemerintah untuk memperkuat pelindungan terhadap jaksa dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal ini bertujuan memperkuat pelindungan terhadap jaksa dalam menjalankan tugasnya. Namun, pelibatan TNI dan penggunaan Perpres sebagai dasar hukum menimbulkan perdebatan mengenai potensi pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dan hierarki perundang-undangan. Diskusi dan kajian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa pelindungan terhadap jaksa tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Perpres 66/2025 Membuka Keran Kelebihan Kewenangan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyatakan tentang “kondisi kejaksaan yang masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada. Tidak ada ancaman militer yang mengharuskan presiden ataupun panglima TNI mengerahkan militer ke kejaksaan”. (Jawapos.com)
Perpres 66/2025 yang mengatur perlindungan jaksa oleh TNI dan Polri bertujuan untuk memastikan keselamatan penegak hukum yang sering menghadapi ancaman berat dalam pelaksanaan tugasnya. Akan tetapi, kebijakan ini juga memberikan peluang untuk terjadinya kelebihan kewenangan yang perlu diwaspadai.
Pertama, keterlibatan TNI dalam pengamanan institusi sipil seperti Kejaksaan memerlukan adanya batas konstitusi antara tugas militer dan sipil. Reformasi keamanan di Indonesia selama ini menekankan batasan yang jelas antara peran TNI dan Polri agar militerisasi masalah sipil dapat dihindari. Namun, Perpres ini malah memperluas kesempatan TNI untuk terlibat di ranah sipil yang selama ini dibatasi, tanpa memberikan penjelasan rinci mengenai kategori operasi militer selain perang (OMSP) yang menjadi dasar keterlibatan TNI dalam pengamanan jaksa.
Kedua, ketentuan dalam Perpres ini belum disertai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang tegas dan waktu yang pasti. Kekhawatiran ini muncul bahwa TNI dan Polri mungkin melaksanakan fungsi pengamanan secara berlebihan sehingga berisiko mengambil alih tanggung jawab penegakan hukum, yang sejatinya merupakan wilayah Polri dan kejaksaan. Tanpa pengawasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia semakin meningkat.
Ketiga, Perpres ini juga menimbulkan persoalan mengenai urgensi dan kebutuhan akan kebijakan tersebut. Koalisi masyarakat sipil berpendapat bahwa perlindungan khusus ini tidak mendesak dan dapat menjadi celah karena adanya tumpang tindih kewenangan antar lembaga keamanan. Alih-alih memperkuat penegakan hukum, kebijakan ini dapat memicu penegakan hukum dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme aparat.
Meskipun pemerintah menegaskan bahwa perlindungan TNI bersifat institusional dan tidak mengalihkan fungsi penegakan hukum, batasan ini sulit dipastikan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang kuat dan transparansi publik. Pengawasan oleh masyarakat sipil dan media sangat penting agar perlindungan yang diberikan tidak disalahgunakan sebagai alat kekuasaan yang berlebihan.
Menjaga Keseimbangan: Perlindungan dan Pengawasan
Dalam situasi ini, yang paling krusial adalah bagaimana pemerintah dan institusi terkait dapat mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan perlindungan dan kewajiban untuk menegakkan prinsip demokrasi serta hak asasi manusia. Perlindungan untuk jaksa perlu dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, serta dilengkapi dengan mekanisme pengawasan yang jelas agar tidak menjadi saluran bagi penerimaan kekuasaan.
Masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas independen perlu diberikan kesempatan untuk memulai pelaksanaan Perpres ini. Dengan demikian, perlindungan yang disediakan tidak hanya ampuh dalam memastikan keamanan, tetapi juga tetap menghormati prinsip-prinsip fundamental negara hukum.
Di samping itu, partisipasi TNI dalam pengamanan sipil perlu dibatasi dengan tegas dan jelas dalam peraturan pelaksanaannya. Peran TNI harus tetap seimbang dan tidak mengambil alih fungsi Polri sebagai aparat keamanan di wilayah sipil. Penting untuk memelihara keseimbangan kekuasaan dan menghindari militansi yang berlebihan dalam kehidupan masyarakat sipil.
Perpres 66/2025 mengenai perlindungan jaksa adalah tindakan strategis yang mencerminkan komitmen negara dalam menjamin keselamatan penegak hukum yang selama ini berhadapan dengan risiko signifikan dalam pelaksanaannya. Diharapkan perlindungan yang diberikan dapat meningkatkan keberanian serta kemandirian jaksa dalam menegakkan hukum dengan adil dan transparan.
Namun, kebijakan ini juga menghadirkan tantangan serius berkaitan dengan kemungkinan over-licensing dan ancaman pelanggaran hak asasi manusia, terutama dengan partisipasi TNI dalam pengamanan lembaga sipil. Oleh sebab itu, pelaksanaan Perpres ini perlu dilakukan dengan sistem pengawasan yang ketat, transparan, dan akuntabel agar tujuan perlindungan tidak beralih menjadi sarana perlindungan kekuasaan.
Akhirnya, perlindungan bagi penegak hukum perlu sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Hanya dengan kombinasi yang ideal antara keamanan dan kebebasan, penegakan hukum di Indonesia dapat dilaksanakan secara efektif dan adil, serta memperoleh kepercayaan seluruh masyarakat.