Mencari Kebahagiaan di Antara Lusinan Target Kinerja dan Tupoksi
Perdhana Ari Sudewo June 08, 2025 07:00 PM
Sebuah Catatan Untuk Tetap Sehat Mental dan Terus Melayani
Di tengah berbagai regulasi baru, transformasi sistem kerja, perampingan struktur jabatan, dan ledakan istilah seperti "kinerja", "output", "percepatan layanan", para ASN terus bergerak. Mereka terus datang ke kantor, mengikuti rapat daring dan luring, mengejar target indikator, menyiapkan bahan paparan pimpinan, hingga lembur mengisi lembar kerja evaluasi dan menyusun laporan akuntabilitas. Di balik layar, sebagian dari mereka menahan kantuk, sebagian lagi menahan lelah, dan tak sedikit yang sedang menahan rasa sesak di dada.
Kita sering menyebut ASN sebagai tulang punggung pelayanan publik, tapi kita jarang bertanya, “bagaimana kabar batin mereka? Apakah mereka bahagia?”
Transformasi manajemen ASN dimulai sejak terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang membawa semangat sistem merit, suatu harapan bahwa ASN akan dikelola berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Sejak itu, berbagai kebijakan ditelurkan, manajemen kinerja ASN berbasis dialog kinerja dan ekspektasi pimpinan, penyederhanaan birokrasi dengan penghapusan eselon III dan IV, sistem kerja berbasis tim fleksibel, hingga kebijakan perpanjangan usia pensiun untuk jabatan fungsional utama.
Namun, kenyataannya justru muncul kontradiksi. Banyak Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) memilih berpindah ke jabatan fungsional bukan karena alasan profesionalisme, tetapi demi memperpanjang usia pensiun. ASN fungsional menumpuk di jenjang ahli pertama dan ahli muda karena formasi naik jenjang penuh, dan kini muncul wacana formasi "peralon", sebuah formasi jabatan yang lurus dari bawah ke atas tanpa memperhitungkan kebutuhan riil organisasi. Semua ini menimbulkan kebingungan, kegelisahan, bahkan frustrasi.
Apa yang sebenarnya sedang kita cari dari semua ini? Apakah semua perubahan struktural ini benar-benar menyentuh esensi manusia dalam birokrasi? Ataukah hanya menciptakan lapisan administrasi baru yang menambah beban tanpa memberi arah?
Dalam realitasnya, menjadi ASN di zaman ini bukan hanya soal menjalankan tupoksi, tetapi menjalani tekanan bertingkat. Di kantor, mereka bisa menghadapi pimpinan yang tidak memberi arahan jelas, hanya sekadar menuliskan "untuk ditindaklanjuti" dalam disposisi, lalu mengklaim hasil kerja tim seolah milik pribadi. Di media sosial, mereka harus siap menghadapi cibiran masyarakat, dianggap tidak produktif, boros anggaran, bahkan disebut sebagai beban negara.
Tak cukup sampai di situ. ASN juga adalah manusia biasa yang harus pulang ke rumah dan menghadapi kenyataan pribadi. Ada yang harus membiayai kuliah adiknya, menyekolahkan anaknya, mengirimi uang kepada orang tua setiap bulan, menemani orang tua yang sakit, atau sekadar menyembunyikan lelahnya agar pasangannya tidak ikut cemas. Mereka adalah manusia yang kadang menangis diam-diam di kamar mandi kantor, tapi tetap tersenyum saat menerima tamu di ruang layanan.
Kita sering memaksa ASN untuk selalu tampil kuat. Menjadi role model, perekat bangsa, harus adaptif, inovatif, dan juga kolaboratif. Tapi jarang kita berikan ruang untuk mereka mengakui bahwa mereka pun bisa rapuh. Kita sering menuntut ASN bekerja dengan semangat 45, padahal semangat mereka sering terkikis hanya karena satu kalimat dari atasan yang tak pernah belajar cara memimpin dengan empati.
Di sinilah pentingnya mengangkat kesadaran bahwa kebahagiaan ASN bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan. Bukan sekadar nilai tambah, tapi pondasi utama agar sistem birokrasi bisa berjalan sehat dan berkelanjutan.
Mengutip "The Emotional Guidance Scale" dari Abraham-Hicks, manusia bergerak dalam spektrum emosi dari yang paling memberdayakan hingga paling melemahkan. Seorang ASN yang bekerja dengan rasa penuh semangat, apresiasi, dan cinta terhadap tugasnya akan menghasilkan energi pelayanan yang luar biasa. Sebaliknya, ASN yang terus-menerus berada dalam rasa frustrasi, kecewa, atau apatis, akan hanya menjalankan tugas sebatas formalitas.
Jika kita kaitkan lebih dalam, sebagian besar kebijakan ASN hari ini, meskipun di atas kertas terlihat rasional, belum sepenuhnya menyentuh dimensi emosional ASN. Mereka bekerja dalam zona emosi seperti discouragement (16), frustration (10), bahkan powerlessness (22). Sistem yang dibangun belum memberikan jembatan naik menuju hopefulness (6), enthusiasm (3), apalagi joy (1).
Kita tak sedang meminta ASN untuk terus tersenyum palsu atau menutupi kesedihan. Justru sebaliknya, kita perlu menciptakan sistem kerja, kepemimpinan, dan budaya birokrasi yang memberi ruang aman bagi mereka untuk merasa, untuk bercerita, untuk jujur bahwa mereka butuh istirahat. Bahwa mereka ingin dimanusiakan, bukan hanya dinilai dari angka SKP atau banyaknya jam kerja.
Mencari kebahagiaan di tengah tuntutan dan tekanan bukanlah hal yang naif. Justru itulah perjuangan yang sepatutnya kita apresiasi. Karena ASN yang mampu menemukan alasan untuk bahagia, meski sederhana, adalah ASN yang akan tetap punya energi untuk melayani dengan hati.
Namun kebahagiaan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan dari luar. Ia harus dicari dan dipupuk dari dalam. Setiap ASN punya jalan yang berbeda untuk menemukannya. Ada yang bahagia saat bisa membantu rekan kerja. Ada yang bahagia ketika pekerjaannya dihargai. Ada yang bahagia lewat doa anak-anaknya di rumah. Bahkan ada yang menemukan makna saat duduk sendiri di pojok ruang kantor, menuliskan harapan di selembar kertas kecil.
Tidak ada standar tunggal tentang kebahagiaan. Ada yang merasa cukup dengan pencapaian karier, ada yang bahagia dengan relasi sosial yang hangat. Ada yang merasa utuh saat bisa membeli rumah untuk orang tua, ada pula yang merasa tenang hanya dengan melihat senyum rekan kerja. Itulah sebabnya, kebijakan ASN juga tidak bisa hanya melihat pegawai sebagai objek yang harus dicetak seragam. Mereka adalah manusia dengan latar belakang, emosi, dan definisi bahagianya masing-masing.
Maka, ASN harus tetap menjaga keseimbangan jiwa dan raganya. Harus tetap sehat, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Dan itu dimulai dari menerima bahwa tidak apa-apa merasa lelah. Tidak apa-apa mengakui bahwa hari ini tidak baik-baik saja. Yang penting, ada upaya untuk terus mencari makna. Terus belajar untuk berdamai dengan keadaan. Karena pada akhirnya, kebahagiaan ASN bukan hanya penting untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat yang mereka layani.
ASN itu seperti pelita, nyalanya mungkin kecil, tapi bisa menerangi gelap di banyak ruang. Tapi agar terus menyala, pelita itu perlu dirawat. Butuh bahan bakar, dan bahan bakar itu adalah rasa bahagia yang tumbuh dari rasa berarti.
Maka tulisan ini bukanlah ajakan untuk melupakan target kinerja atau mengabaikan tanggung jawab. Tapi sebuah pengingat, bahwa di balik angka-angka dan laporan, ada manusia yang sedang mencari makna. Ada ASN yang ingin tetap merasa utuh.
Dan jika birokrasi ingin benar-benar sehat, ia harus mulai bertanya, "apakah orang-orang di dalamnya sudah cukup bahagia untuk bisa melayani dengan sepenuh jiwa?"