Desentralisasi Semu: Otonomi Daerah dan Resentralisasi Kekuasaan di Indonesia
Ibrayoga Rizki Perdana June 08, 2025 07:00 PM
Fenomena desentralisasi semu di Indonesia mencerminkan ketimpangan serius antara kewenangan formal pemerintah daerah dan praktik nyata pelaksanaan otonomi. Secara normatif, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur urusan lokal sesuai karakteristik wilayahnya. Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan strategis masih dikendalikan secara sentral oleh pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah lebih sering berperan sebagai pelaksana kebijakan pusat, bukan sebagai entitas mandiri yang mengelola sumber daya dan kebijakan sesuai kebutuhan lokal. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana otonomi daerah benar-benar dijalankan dalam sistem pemerintahan Indonesia?
Menurut Smoke (2015), desentralisasi yang efektif harus melibatkan pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, serta memperkuat partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Namun, regulasi dan struktur pemerintahan di Indonesia masih sangat sentralistis. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi dasar hukum desentralisasi, tetapi peraturan pelaksana seperti PP No. 38 Tahun 2007 dan PP No. 41 Tahun 2007 justru memperkuat kendali pusat. Faguet (2014) menegaskan bahwa sentralisasi berlebihan menghambat kapasitas pemerintah daerah mengelola urusan lokal secara efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Kasus eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat, menjadi ilustrasi nyata desentralisasi semu ini. Meskipun pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur pemanfaatan sumber daya alam, keputusan strategis tetap dipegang pusat dan korporasi besar. Akibatnya, masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, terpinggirkan.
Dampaknya bukan hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam keberlanjutan sosial dan budaya lokal serta meningkatkan konflik horizontal yang melemahkan legitimasi pemerintah daerah. Ribot (2009) mengingatkan bahwa ketika pusat mempertahankan kontrol atas sumber daya strategis, desentralisasi menjadi formalitas tanpa pemberdayaan masyarakat lokal, bahkan memperkuat ketimpangan sosial.
Pemerintah merespons dengan pendekatan desentralisasi asimetris, mengklasifikasikan daerah ke dalam otonomi penuh, sebagian, dan terbatas berdasarkan kematangan institusional dan kapasitas fiskal. Rondinelli et al. (1983) menyatakan desentralisasi asimetris dapat menjadi solusi pragmatis untuk mengakomodasi perbedaan kapasitas dan kebutuhan daerah. Namun, tanpa penguatan peran masyarakat lokal dan pengawasan yang efektif, inisiatif ini belum cukup.
Sayangnya, kebijakan nasional terkini justru mengarah pada resentralisasi. Revisi UU Aparatur Sipil Negara yang mengembalikan kewenangan pengangkatan pejabat eselon II ke Presiden, moratorium pemekaran daerah otonomi baru sejak 2014, serta revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja memperkuat dominasi pusat atas sektor strategis seperti pertambangan dan tata ruang. Shah (2007) mengingatkan bahwa resentralisasi dalam konteks desentralisasi dapat melemahkan otonomi daerah dan memperburuk ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Strategi Penguatan Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat
Mengatasi desentralisasi semu membutuhkan langkah konkret dan terukur. Pertama, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah harus diperkuat melalui pelatihan teknis dan manajerial berkelanjutan, didukung lembaga independen dan akademisi. Peningkatan kapasitas ini penting agar pemerintah daerah mampu mengelola sumber daya secara efektif, melakukan perencanaan berbasis data dan partisipasi, serta menjalankan fungsi pengawasan optimal.
Kedua, partisipasi masyarakat, terutama kelompok adat dan komunitas lokal, harus dilembagakan melalui forum konsultasi yang memiliki kekuatan administratif dalam perizinan dan pengawasan sumber daya alam. Forum ini harus dilengkapi mekanisme pengaduan dan penegakan hukum responsif dan adil, agar masyarakat lokal menjadi subjek aktif dalam pembangunan. Partisipasi nyata memperkuat legitimasi kebijakan dan mendorong pembangunan berkelanjutan serta berkeadilan.
Ketiga, regulasi harus direformasi menyeluruh agar memberikan kewenangan substansial kepada pemerintah daerah, termasuk perlindungan eksplisit hak masyarakat adat sebagai bagian dari keadilan ekologis dan sosial. Reformasi ini harus menghapus hambatan birokrasi yang mengikat kewenangan daerah dan menghambat inovasi pengelolaan sumber daya.
Keempat, desentralisasi fiskal perlu diarahkan agar lebih adil dan transparan. Daerah penghasil sumber daya alam harus mendapat porsi lebih besar dari hasil pendapatan, disalurkan langsung dan digunakan untuk pembangunan berkelanjutan. Sistem pelaporan digital terbuka penting untuk mencegah korupsi dan kolusi. Falleti (2005) menegaskan penguatan kapasitas lokal dan transparansi fiskal kunci keberhasilan desentralisasi berkelanjutan dan inklusif.
Kelima, pembentukan badan koordinasi lintas sektor yang melibatkan pusat, daerah, aparat hukum, dan masyarakat sipil sangat krusial. Badan ini menyelaraskan kebijakan, mencegah tumpang tindih kewenangan, serta menjadi mediator penyelesaian konflik sosial akibat perebutan sumber daya alam. Koordinasi efektif memperkuat tata kelola dan mengurangi potensi konflik yang mengganggu stabilitas sosial dan pembangunan.
Keenam, reformasi manajemen publik daerah berbasis kinerja, termasuk penganggaran berbasis hasil dan audit publik rutin, diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi penggunaan anggaran sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan nyata oleh masyarakat.
Federalisme: Alternatif Sistem Pemerintahan untuk Indonesia
Melihat akar persoalan desentralisasi semu yang sangat struktural, dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan alternatif sistem pemerintahan yang sesuai dengan karakter geografis, sosial, dan ekonomi Indonesia, yaitu federalisme. Sebagai negara kepulauan dengan keragaman tinggi, Indonesia memiliki kompleksitas besar dalam tata kelola wilayah. Dalam sistem federal, pembagian kewenangan antara pusat dan daerah lebih tegas dan proporsional, memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur urusan lokal, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan fiskal yang berkeadilan.
Oates (2016) menyatakan federalisme memungkinkan pembagian kekuasaan lebih jelas dan peningkatan akuntabilitas dalam pengelolaan urusan lokal. Model federalisme asimetris seperti di Jerman, India, dan Amerika Serikat dapat menjadi referensi agar tetap dalam kerangka kesatuan nasional yang kohesif (Watts, 2008). Dengan federalisme, daerah memiliki kewenangan nyata mengembangkan kebijakan berdasarkan potensi, nilai budaya, dan kebutuhan masyarakat lokal. Ini memperkuat partisipasi politik masyarakat, mempersempit kesenjangan ekonomi antarwilayah, dan meningkatkan legitimasi pemerintah daerah.
Kesimpulannya, untuk mewujudkan desentralisasi sejati, Indonesia tidak cukup hanya memperbaiki regulasi atau sistem pengawasan. Reformasi struktural dan visi jangka panjang yang mampu menjawab tantangan tata kelola sumber daya dan pembangunan lokal secara adil dan berkelanjutan sangat dibutuhkan. Baik melalui penguatan desentralisasi substansial maupun transisi menuju federalisme, yang terpenting adalah pemberdayaan daerah, perlindungan hak masyarakat lokal, dan pembangunan berbasis keadilan sosial dan ekologis. Tanpa itu, desentralisasi akan tetap menjadi formalitas administratif yang gagal memenuhi kebutuhan rakyat di daerah.
Referensi
Faguet, J.-P. (2014). Decentralization and Governance. World Development, 53, 2–13. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.01.002
Falleti, T. G. (2005). A Sequential Theory of Decentralization: Latin American Cases in Comparative Perspective. American Political Science Review, 99.
Ribot, J. C. (2009). Authority over Forests: Empowerment and Subordination in Senegal’s Democratic Decentralization. Development and Change, 40(1), 105–129. https://doi.org/10.1111/j.1467-7660.2009.01507.x
Rondinelli, D. A., Cheema, G. S., & Nellis, J. R. (1983). Decentralization in Developing Countries: A Review of Recent Experience. In Decentralization and development: policy implementation in developing countries. (Issue 581). Wolrd Bank Working Papers.
Shah, A. (2007). The Practice of Fiscal Federalism: Comparative Perspectives. In Sustainability (Switzerland) (Vol. 11, Issue 1). McGill-Queen’s University Press.
Smoke, P. (2015). Rethinking Decentralization: Assessing Challenges to a Popular Public Sector Reform. Public Administration and Development, 35(2), 97–112. https://doi.org/10.1002/pad.1703
Watts, L. (2008). Comparing Federal Systems (Third). McGill-Queen’s University Press.