TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda merespons soal diperbolehkannya kembali Pemerintah Daerah (Pemda) menggelar rapat di hotel atau restoran.
Pernyataan itu diungkap langsung oleh Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) Tito Karnavian dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (4/6/2025).
Menurut Rifqinizamy, kebijakan berupa kelonggaran di masa efisiensi anggaran oleh Tito itu perlu disambut positif, demi menyelamatkan lumpuhnya industri perhotelan atau restoran.
"Karena itu jalan tengah ini menurut kami patut kita sambut positif, sepanjang kemudian semangatnya tetap dalam efisiensi dan efektifitas anggaran itu sendiri," kata Rifqinizamy saat dimintai tanggapannya, Senin (9/6/2025).
Pasalnya kata dia, atas adanya kebijakan efisiensi anggaran yang dikeluarkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto sejak awal tahun 2025 ini turut berdampak pada berbagai sektor.
Terlebih menurut legislator dari Fraksi Partai NasDem tersebut, dampak itu dirasakan oleh industri yang berkaitan dengan Meeting, Invention, Convention and Event yang notabene kaitannya dengan perhotelan.
"Kami menyadari pada pihak yang lain, industri MICE, meeting, invention, convention dan event yang melibatkan hotel dan restoran banyak yang lumpuh akibat adanya efisiensi dan efektifitas anggaran," kata dia.
Meski begitu, Rifqinizamy tetap meminta kepada pemerintah daerah untuk bijak dalam menggunakan anggaran daerah.
Dirinya menegaskan, perlu adanya petunjuk teknis serta standart biaya sewa hotel yang diatur agar kepentingannya memang semata untuk keperluan rapat dan pertemuan resmi.
"Di tengah semangat efisiensi dan efektivitas anggaran, memang diperlukan ada petunjuk teknis serta standar biaya penggunaan hotel dan restoran untuk kepentingan rapat rapat dan pertemuan pertemuan resmi. Baik yang dilakukan oleh kementerian lembaga, maupun pemerintah pemerintah daerah," tandas dia.
Sebelumnya, terkait dengan kebijakan ini, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya membeberkan alasan diperkenankannya kembali pemerintah melakukan rapat di hotel.
Menurutnya, hal tersebut karena dampak efisiensi yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai tempat termasuk hotel dan restoran.
"Mungkin nantinya disusun panduan secara lebih teknis. Tetapi tentu pemerintah daerah kami minta untuk menyusun perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan. Satu, substansinya atau kebutuhannya itu ada. dan kedua dalam hal intensitas frekuensi tentu dibatasi," ujar dia.
Atas hal itu, dirinya beranggapan kebijakan ini diterapkan agar dampak lain dari efisiensi anggaran tidak menyebar, justru bisa menghidupkan kembali ekosistem industri.
"Yang penting ekosistemnya kembali hidup. Karena kita bukan hanya berbicara tentang karyawan hotel, tetapi dampak lain, ekosistem dari wisata, kunjungan, rapat-rapat dan sebagainya," tambahnya.