TIMESINDONESIA, JAKARTA – Raja Ampat, “Surga di Tanah Papua”, kini berada di persimpangan tajam antara cita-cita konservasi dan ambisi korporasi. Dari sudut pandang ekologis, wilayah ini didefinisikan sebagai ekosistem maritim paling kaya di dunia, tapi di balik itu terselip ancaman dari izin tambang nikel yang kian masif.
Pemerintah seolah terombang-ambing antara target ekonomi dan perlindungan lingkungan. Meski Keputusan Menteri dan Keputusan Presiden telah menetapkan zonasi laut, tumpang-tindih izin eksplorasi tambang tetap terjadi, bahkan di habitat kritis seperti pulau Gag dan Kawe.
Hutang moral terhadap masyarakat adat pun terabaikan. Mereka bergantung pada pariwisata dan ekosistem laut, tetapi tidak pernah dilibatkan dalam kebijakan maupun pembagian keuntungan; izin tambang sering kali diputus tanpa persetujuan mereka.
Pengaruh korporasi membawa nemesis bagi ekologi. Greenpeace menemukan bahwa lebih dari 500 hektar hutan telah dibabat. Dampaknya, merembet ke perairan, memicu sedimentasi dan kerusakan karang.
Jejak bencana di Sulawesi dan Maluku menjadi alarm merah. Di banyak wilayah tambang nikel lain seperti Weda Bay, hutan dan komunitas lokal luluh lantak; pertanyaannya, apakah Presiden dan MenESDM, seperti menteri illiberal semacamnya, sudah belajar dari situasi ini?
Pendapatan pariwisata Raja Ampat pun tercemar praktik pungli. KPK menemukan pungutan liar bisa hingga Rp18 miliar per tahun, merusak citra dan integritas pengelolaan destinasi premium ini.
Kekacoan regulasi menjadi jalan bagi korupsi dan chaos pengelolaan. Belum adanya roadmap zonasi yang jelas membuat pintu pungli lebar, sementara masyarakat hanya menjadi korban sistem yang buntu.
Sistem zonasi laut dianggap hanya pajangan belaka. Padahal idealnya zonasi harus tegas membedakan area konservasi, perikanan dan pariwisata—sekarang semua bercampur, menciptakan konflik kepentingan.
Pemerintah daerah pun teredam oleh regulasi pusat. Meski DPRD daerah setempat sudah berharap dapat mencabut izin tambang, mereka tak punya kuasa karena “semua izin di tangan pemerintah pusat” membukti hilangnya otonomi yang sebenarnya.
Korporasi besar, terutama BUMN dan investasi asing mengincar tambang nikel ultrakritis. PT Gag Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining memegang konsesi puluhan ribu hektar, yang kontribusinya jauh lebih besar untuk oligarki daripada untuk pemberdayaan masyarakat lokal.
Kesadaran lokal sudah berbicara keras. Masyarakat adat, seperti dari Manyaifun, mewakili perlawanan kolektif, bukan penolakan buta, melainkan suara rasional untuk mempertahankan mata pencaharian umum.
12. **Krisis ini mengemuka dalam dua wacana pandemi lingkungan dan sosial**. Eksploitasi ekologis diperparah oleh konflik sosial internal, kezaliman oleh rezim pita hijau dan corporate capture—melihat masyarakat jadi korban silang.
Langkah “penangguhan izin” oleh pemerintah hanyalah solusi setengah hati. Ini hanya refleksi tekanan publik jangka pendek, sementara kerusakan ekologis bisa tetap permanent dan izin digulirkan kembali.
Satu-satunya jalan adalah reformasi sistemik: transparansi, zonasi tegas, dan penegakan hukum independen. Bukti KPK sejak 2024 menunjukkan bahwa tatakelola pajak, retribusi, dan pengawasan wisata pun masih lemah .
Raja Ampat harus menjadi simbol bahwa pembangunan bukan sekadar soal profit korporat, tapi keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial.
Jika pemerintah dan korporasi balk, maka yang hancur bukan hanya terumbu karang atau hutan, melainkan kepercayaan kita terhadap visi pembangunan Indonesia di era krisis iklim ini. (*)
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.