Banyak Diterapkan di Negara Maju, Skema Co-Payment Asuransi Ideal di Indonesia?
kumparanBISNIS June 09, 2025 09:46 PM
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan baru yang membuat peserta asuransi harus membayar biaya perawatan saat berobat. Skema ini disebut dengan co-payment atau pembagian risiko.
Aturan baru ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025. Dalam beleid tersebut, peserta wajib menanggung minimal 10 persen dari total klaim, sekalipun nilai pengobatan sepenuhnya tercantum dalam polis.
Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2026. Skema co-payment wajib untuk semua produk asuransi kesehatan, baik konvensional maupun syariah, yang menggunakan skema ganti rugi (indemnity) maupun pelayanan kesehatan terkelola (managed care).
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), Abitani Taim, mengatakan skema co-payment sudah diadaptasi oleh banyak negara maju, baik itu di Uni Eropa hingga Australia.
"Banyak negara Eropa lainnya, seperti Austria, Prancis, dan Belanda, juga memiliki sistem co-payment, seperti Swiss, Jerman, Prancis, Belanda dan lain-lain. Co-payment juga diberlakukan di Australia dan New Zealand," ungkapnya kepada kumparan, Senin (9/6).
Menurut Abitani, skema tersebut ideal diberlakukan di Indonesia, karena pada dasarnya sudah pernah diterapkan dalam asuransi kesehatan korporasi untuk para karyawannya.
"Saya rasa ideal, karena sebenarnya sudah biasa diterapkan pada asuransi kesehatan kumpulan bagi perusahaan untuk para karyawannya. Hal ini hanya baru diterapkan pada asuransi kesehatan individu di Indonesia," jelasnya.
Dia menjelaskan, skema co-payment bertujuan untuk mengurangi moral hazard, baik bagi pasien maupun penyedia pelayanan kesehatan.
Selain itu, skema ini juga berlaku dengan batasan, baik itu untuk rawat inap dan rawat jalan, sehingga tidak terlalu membebani pasien.
Untuk menjamin perlindungan konsumen, OJK menetapkan batas maksimal yang harus dibayar peserta yakni Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap per klaim. Namun, batas ini dapat diperbesar jika disepakati antara perusahaan asuransi dan pemegang polis serta tertulis di dalam polis.
"Batas 10 persen ada batas maksimalnya, yaitu Rp 300 ribu per pelayanan rawat jalan, dan Rp 3 juta per pelayanan rawat inap," tutur Abitani.
Menurut OJK, pembagian biaya ini bertujuan memperkuat manajemen risiko dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Skema ini juga diharapkan bisa menekan praktik over-klaim yang selama ini membebani sistem.
Perusahaan asuransi kini juga diperbolehkan menyesuaikan besaran premi berdasarkan riwayat klaim nasabah dan inflasi biaya kesehatan. Artinya, premi bisa naik saat perpanjangan polis atau bahkan di luar periode tersebut, asalkan ada persetujuan dari peserta.
“Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan,” kata OJK dalam Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025.
Namun, skema co-payment tidak berlaku untuk asuransi mikro yang menyasar kelompok berpenghasilan rendah. OJK menegaskan kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi perilaku konsumtif dalam pemanfaatan layanan asuransi kesehatan.
“Maksud dan tujuan pengaturan co-payment adalah mencegah moral hazard dan mengurangi penggunaan layanan kesehatan oleh peserta secara berlebihan (over-utilitas). Diharapkan pemegang polis, tertanggung atau peserta menjadi lebih bijaksana dan prudent dalam menggunakan asuransi kesehatan,” tulis OJK.
Selain menekan penggunaan berlebih, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menahan laju kenaikan premi agar tetap terjangkau di masa depan.
Kewajiban co-payment ini berlaku untuk semua jenis asuransi, termasuk asuransi kumpulan yang biasa digunakan dalam program kerja sama perusahaan dengan karyawan. Menanggapi keberatan sebagian pihak, terutama dari penyelenggara asuransi kumpulan yang selama ini lebih fleksibel atau tailormade, OJK menegaskan tidak ada pengecualian.
“Dengan adanya SEOJK asuransi kesehatan ini diharapkan adanya perubahan ekosistem jaminan kesehatan yang lebih baik, sehingga tetap diterapkan pada asuransi kumpulan,” terang OJK.
Dalam praktiknya, perusahaan sebagai pemegang polis bisa saja menanggung porsi biaya co-payment tersebut, tergantung pada kesepakatan kerja dengan karyawan. Satu hal yang dipastikan OJK, tidak akan ada lagi produk asuransi kesehatan tanpa co-payment.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.