TIMESINDONESIA, PADANG – Indonesia bukan negeri yang miskin pertumbuhan ekonomi. Angka produk domestik bruto (PDB) terus merangkak naik, indeks konsumsi masyarakat cukup kuat, dan agenda pembangunan tampak tak pernah surut.
Tapi angka-angka makro itu sering kali menyembunyikan kenyataan lain: ketimpangan yang kian menganga, bukan menyempit. Di sinilah sistem ekonomi Pancasila diuji, bukan sekadar sebagai dokumen normatif, melainkan sebagai arah kebijakan nyata.
Sebuah paper dari Dewi Fatmala Putri dan tim peneliti di Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Manajemen edisi Desember 2023 mengupas persoalan klasik ini dengan nada yang tetap relevan: pertumbuhan tidak selalu berarti pemerataan.
Mereka menyoroti Yogyakarta sebagai daerah dengan rasio Gini tertinggi di Indonesia-angka 0,449 per Maret 2023 yang mencerminkan jurang menganga antara warga kaya dan masyarakat rentan. Dan ternyata, hingga pertengahan 2025, data itu tak banyak berubah.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, rasio Gini nasional naik menjadi 0,391 per Maret 2025, sementara Yogyakarta tetap menjadi "juara ketimpangan" dengan rasio di kisaran 0,448–0,451.
Kota pelajar ini berubah menjadi kota eksklusif, tempat bertemunya wisatawan, pendatang berduit, dan harga tanah yang melambung tinggi. Di satu sisi, apartemen dan kafe tumbuh pesat. Di sisi lain, buruh harian dan pedagang kaki lima justru makin terpinggirkan.
Ketimpangan ini bukan sekadar masalah wilayah. Ia juga terakumulasi dalam akses terhadap layanan dasar. Pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan bahkan jaringan digital belum tersebar merata.
Di tengah euforia kecerdasan buatan dan ekonomi digital, kita lupa bahwa ribuan desa masih terpaut sinyal lemah dan minim literasi teknologi. Kesenjangan digital ini menjadi wajah baru dari ketimpangan struktural-dan belum sepenuhnya dibahas dalam naskah-naskah akademik yang membahas ekonomi kerakyatan.
Ironisnya, semua ini terjadi di bawah konstitusi yang menempatkan keadilan sosial sebagai tujuan utama. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyebut bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi dalam praktiknya, prinsip ini sering tersisih oleh jargon "kemudahan berusaha" dan agenda deregulasi.
Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, arah kebijakan ekonomi Indonesia lebih condong pada liberalisasi pasar dan insentif kepada pemodal besar. Rasio pajak nasional stagnan di bawah 11 persen terhadap PDB, sementara distribusi subsidi dan bantuan sosial masih kerap salah sasaran.
Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2025 menunjukkan bahwa sekitar 40 persen penerima bansos justru berasal dari kelompok non-miskin.
Pemerintah sebenarnya tak tinggal diam. Program Dana Abadi UMKM sebesar Rp15 triliun diluncurkan pada awal 2025, disertai proyek besar bertajuk Transformasi Ekonomi Wilayah Timur.
Namun efektivitasnya masih menjadi tanda tanya. Sementara anggaran negara masih berat ke sektor infrastruktur makro dan belanja pertahanan, sektor mikro dan ekonomi rakyat tetap menunggu giliran.
Dalam konteks inilah paper Dewi dkk terasa penting. Mereka menyerukan reformasi struktural berbasis nilai-nilai Pancasila: gotong royong, keadilan distributif, dan penguatan sektor-sektor inklusif seperti UMKM dan pertanian.
Tapi jika semangat itu berhenti pada narasi akademik atau seremoni kenegaraan, maka sistem ekonomi Pancasila akan tetap menjadi utopia dalam brosur pelatihan aparatur sipil negara.
Apa yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menyembelih ego kebijakan—seperti menyembelih hewan kurban dalam Iduladha. Membuat pajak lebih progresif untuk kelompok ultra-kaya, memastikan legalitas dan jaminan sosial bagi sektor informal, serta memperbaiki distribusi bansos dan subsidi berbasis data yang akurat.
Pemerataan ekonomi tidak akan terjadi jika pemerintah hanya menjadi fasilitator pasar. Ia harus menjadi penyeimbang. Menjembatani logika investasi dengan kebutuhan hidup dasar rakyat.
Menyusun ulang prioritas belanja negara agar berpihak pada desa-desa tertinggal, kawasan timur Indonesia, dan komunitas rentan yang selama ini hidup di pinggir data.
Yogyakarta hanyalah etalase. Ketimpangan sebenarnya menjalar ke banyak kota—Jakarta, Bandung, Makassar, Medan. Semua mencerminkan pola yang sama: pertumbuhan tanpa pemerataan. Data terbaru BPS mencatat bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) nasional memang naik, tetapi disparitas antardaerah tetap tinggi.
Jika ekonomi Indonesia ingin lebih stabil, lebih adil, dan berkelanjutan, maka sistem ekonomi Pancasila harus kembali ke jantung kebijakan. Bukan hanya sebagai acuan normatif dalam pidato pejabat, tapi sebagai prinsip teknokratik yang diturunkan dalam anggaran, reformasi fiskal, dan regulasi digital.
Keadilan sosial bukan tujuan simbolik. Ia adalah kerja teknis, birokratik, dan politis yang menuntut keberanian. Dalam bahasa kurban: dibutuhkan keberanian untuk melepaskan sesuatu yang kita anggap sah milik kita demi kepentingan yang lebih besar. Itulah hakikat pengorbanan dalam konteks ekonomi kebangsaan. Jika tidak sekarang, lalu kapan?
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.