TIMESINDONESIA, PAPUA BARAT DAYA – Waktu menunjukkan sekitar pukul 15.00 WIT, tapi Joshias Kapitarau belum beranjak dari warungnya. Padahal, biasanya, para pedagang di dermaga Pulau Piaynemo, Raja Ampat, Papua Barat Daya, sudah mulai bersiap-siap untuk kembali ke kediaman masing-masing, mengikuti kepulangan para wisatawan pada sore hari.
Berbeda dengan mama-mama yang asik berbincang dengan satu sama lain, Joshias menatap lesu ke hamparan laut nan bening yang menjadi rumah bagi ikan dengan warna-warni yang khas.
Gorengan di dalam kotak bening terlihat tak lagi bertekstur renyah, sepertinya telah layu termakan waktu. Sejumlah kopi dalam kemasan saset, berikut dengan gelas-gelas yang siap untuk diisi, juga menganggur di atas meja.
Ketika dihampiri, Joshias mengeluhkan jumlah wisatawan yang menurun.
“Biasa satu hari itu 50 sampai lebih speed (boat)-lah, yang masuk (Piaynemo). Tapi karena adanya informasi tambang, hari ini tak sampai 20 (speedboat),” tuturnya sembari bersandar di sudut pagar pembatas.
Menyebarnya informasi mengenai keberadaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mengakibatkan beberapa wisatawan membatalkan perjalanannya.
Joshias tidak bisa mengira-ngirakan jumlah penurunan wisatawan, tetapi ia menyampaikan pada hari-hari biasa, tepatnya sebelum isu tambang nikel di Raja Ampat mencuat, jumlah wisatawan bisa mencapai 500–1.000 orang per hari.
Ucapan Joshias dibenarkan oleh pedagang-pedagang lainnya yang berjualan minyak pijat dari kelapa, hingga penjual kelapa muda. Mereka menyayangkan aktivitas tambang yang berlokasi di Raja Ampat karena membawa pengaruh negatif terhadap minat wisatawan untuk berkunjung.
“Tambang ini menjadi kendala untuk para wisatawan,” keluhnya lagi.
Meski Pulau Gag, sebuah pulau di pinggir Raja Ampat yang menjadi lokasi tambang nikel, terletak sekitar 40 km dari Pulau Piaynemo, kegelisahan akan dampak pertambangan itu tetap menyeruak..
Joshias tidak hanya khawatir terhadap pencemaran laut akibat kehadiran tambang nikel. Lebih dari itu, ia takut jika keberhasilan tambang nikel di Pulau Gag bisa mendorong pulau-pulau lainnya di kawasan Raja Ampat untuk dijadikan area tambang juga.
Ketika pulau-pulau yang berada di dekat Piaynemo menjadi sasaran para penambang nikel, maka tidak ada lagi lautan jernih yang menjadi daya pikat gugusan kepulauan tersebut.
Kekhawatirannya terbukti dengan munculnya aktivitas pertambangan di pulau-pulau lain di Raja Ampat yang masuk ke kawasan Geopark, salah satunya adalah Batang Pele. Adapun jarak dari Piaynemo ke Batang Pele kurang lebih 30 km, 10 km lebih dekat apabila dibandingkan dengan Pulau Gag.
Menimpali obrolan tersebut, Timothius Mambraku, yang merupakan seorang pengusaha penginapan di Pulau Manyaifun, turut angkat suara.
Pulau Manyaifun, yang berjarak hanya sejengkal dari Pulau Batang Pele, akan menjadi kawasan yang paling terdampak apabila penambangan nikel dilakukan di Batang Pele.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) merupakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dari SK Bupati Raja Ampat No. 153.A Tahun 2013 yang berlaku selama 20 tahun hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 Ha di Pulau Batang Pele.
Kegiatan masih tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
Timothius bersama rekan-rekan pengusahanya di Manyaifun betul-betul menolak pertambangan nikel di Batang Pele, sebab merugikan Manyaifun sebagai destinasi para wisatawan menginap.
Penolakan tersebut menuai perlawanan dari kubu yang mendukung perusahaan tambang.
Ia mengungkapkan bahwa perselisihan itu memicu konflik di antara masyarakat Papua, bahkan ada seorang penolak tambang yang mendapatkan intimidasi dari pendukung tambang berupa pemukulan.
Joshias Kapitarau, pedagang di Pulau Piaynemo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/2025). (Foto: Antara/Putu Indah Savitri)
Timothius mengakui bahwa konflik yang berlangsung saat ini sangat rawan dan dapat memicu pecahnya perang saudara, yakni antara pihak yang menolak tambang melawan pihak yang menerima tambang.
Menurut dia, kehadiran pihak yang menerima perusahaan tambang dilatarbelakangi oleh ketimpangan perekonomian. Pihak-pihak yang mendukung perusahaan tambang biasanya tidak memiliki pekerjaan atau gagal merintis usaha di bidang pariwisata.
Selain itu, pihak pendukung tambang juga acapkali datang dari daerah-daerah yang tidak menjadi objek wisata.
“Tapi mungkin ada hal lain, tidak tahu bagaimana, sehingga dia juga bergabung ke masyarakat yang sementara ada mendukung perusahaan,” kata Timothius.
Bagi Timothius, inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan intervensi. Masyarakat membutuhkan penenang dan penengah yang dapat menjadi wasit bagi kedua belah pihak.
Permasalahan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya untuk selesai antar-masyarakat. Pendekatan tersebut justru tidak efektif, karena masyarakat akan saling mengancam hingga konflik kian memanas.
Oleh karena itu, bila perusahaan tambang harus ditutup, maka pemerintah sebaiknya bertindak cepat dan tidak perlu menunggu amarah masyarakat. Pun, bila terjadi gejolak ketika pemerintah menutup perusahaan tambang, Timothius meyakini pemerintah memiliki ragam cara yang bisa menertibkan masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, baik Timothius maupun Joshias menegaskan bahwa mereka menolak kawasan Raja Ampat, utamanya Piaynemo, menjadi titik pertambangan nikel.
Piaynemo merupakan pusat aktivitas pariwisata. Setiap tamu yang menginap di kampung-kampung lain, kata dia, pasti aktivitas utamanya mengunjungi Piaynemo.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq akan meninjau ulang persetujuan lingkungan bagi empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat.
Selain itu, Hanif juga melakukan penegakan hukum terhadap dua perusahaan, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), yang kegiatan pertambangan nikelnya merusak lingkungan di wilayah pulau-pulau kecil Raja Ampat.
“Kami tidak akan membiarkan satu inci pun kerusakan di wilayah yang menjadi rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies endemik,” kata Hanif sampaikan dalam sebuah konferensi pers.
Langkah tersebut diharapkan memberi angin segar bagi masyarakat yang menolak kehadiran tambang, utamanya bagi Timothius yang memperjuangkan penolakan tambang di Pulau Batang Pele dan Manyaifun.
Konflik masyarakat di kawasan Raja Ampat akibat melejitnya isu pertambangan nikel menjadi penanda ketimpangan perekonomian di kawasan tersebut.
Ketimpangan itulah yang membelah masyarakat menjadi dua kubu, pendukung tambang dan penolak tambang.
Gugusan kepulauan Raja Ampat memiliki daya magisnya tersendiri, biarlah Raja Ampat terjaga keagungannya tanpa dikeruk isi buminya.