BANJARMASINPOST.CO.ID - Malam 1 Suro 2025, yang kerap diperingati masyarakat Jawa sebagai malam sakral penuh makna, akan bertepatan pada Kamis malam, 26 Juni 2025, tepatnya mulai pukul 18.00 WIB.
Momen ini menandai pergantian tahun dalam penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam atau 1 Muharam dalam kalender Hijriah.
Menurut kalender resmi yang dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag), 1 Suro 1446 Hijriah jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025, yang bertepatan dengan weton Jumat Kliwon, kombinasi hari dan pasaran yang dalam kepercayaan Jawa memiliki makna spiritual tersendiri.
Peringatan Malam Satu Suro biasanya dilakukan setelah Magrib pada hari sebelum tanggal 1 Suro.
Hal ini selaras dengan perhitungan dalam kalender Jawa dan Islam, di mana pergantian hari dimulai sejak terbenamnya matahari, bukan pukul 00.00 seperti dalam kalender Masehi.
Oleh karena itu, meskipun 1 Suro jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025, masyarakat Jawa akan memperingati malam 1 Suro pada Kamis malam, 26 Juni 2025.
Sejarah Satu Suro
Tradisi peringatan Satu Suro bermula pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam.
Dalam sistem penanggalan Jawa, bulan Suro dimaknai sebagai bulan yang penuh kesucian dan diyakini memiliki kekuatan spiritual yang tinggi.
Selama bulan ini, masyarakat Jawa—terutama yang masih memegang nilai-nilai Kejawen—dianjurkan untuk melakukan perenungan diri, serta berdoa agar diberi keselamatan dan keberkahan dalam menyongsong tahun yang baru.
Karena nilai sakral inilah, muncul sebuah larangan tidak tertulis yang menyatakan bahwa menyelenggarakan pesta atau acara besar pada bulan Suro dianggap kurang tepat.
Larangan ini bukan sekadar mitos. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga Mataram Islam yang memerintah pada 1613–1645, adalah tokoh penting di balik lahirnya kalender Jawa yang dipadukan dengan unsur kalender Hijriah.
Penyatuan kedua sistem kalender ini terjadi pada Jumat Legi, Jumadil Akhir 1555 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Sultan Agung ingin menciptakan satu momentum khusus bagi seluruh rakyat—dari berbagai lapisan—untuk menyucikan diri dari hal-hal negatif dan mengevaluasi perjalanan hidup mereka.
Maka, bulan Suro pun dipilih sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat sisi batiniah masyarakat, jauh dari hiruk-pikuk urusan duniawi.
Dari sinilah asal muasal mengapa masyarakat Jawa menghindari pesta meriah di bulan Suro, dan lebih memilih menarik diri untuk introspeksi dan mendekatkan diri secara spiritual.
Hingga kini, nilai-nilai tradisi Suro masih dijaga dan diwariskan, terutama di kota-kota seperti Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Bahkan, berbagai rangkaian acara bulan Suro tak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tapi juga telah menjadi daya tarik wisata yang kuat di kedua daerah tersebut.
Amalan-amalam Malam Satu Suro Menurut Pakar
Sejumlah ustadz memberikan penjelasan mulai Gus Baha, Buya Yahya, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Khalid Basalamah hingga Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.
Dalam penjelasan Gus Baha dalam buku Islam Santuy Ala Gus Baha oleh Harakah.id, amalan sunnah Malam 1 Suro, yakni sholat dan wirid tasbih.
"Satu sholat yang akan menghapus dosa yang lalu dan yang akan datang. Ini ada ibadah yang menghapus dosa tetapi bentuk wiridnya itu tasbih."
"Tidak ada istighfarnya inilah rahasia kenapa saya mengajarkan tasbih."
"Sebab inu awal tahun akhir tahun, kita ingin Allah mengampuni dosa kita, awwalu wa akhiru, qadimahu wa haditsahu, sirrahu wa alaniyatahu. Kiai-kiai itu mengajarkan," dikutip Surya.co.id.
Gus Baha menjelaskan, amalan tersebut berdasarkan hadist Nabi yang kemudian dijelaskan dalam kitab I'anatuth Muthalibin.
"Dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Abbas bib Abdul Muthalib, "Maykah kamu saya kasih? Maukah kamu saya anugerahu?
Apakah kamu tidak senang jika engkau melakukannya, Allah akan mengampuni dosamu, awalnya, akhirnya, yang lama, yang baru, yang tanpa disengaja maupun yang terang-terangan?
Engkau shalat empat rakaat, di setiap rakaat membaca Al Fatihah dan satu surat.
Ketika selesai membaca surat dan kamu masih dalam keadaan berdiri, bacalah 'subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar' sebanyak 15 kali.
Setelah itu rukuk dan baca tasbih 10 kali. Setelah itu berdiri dari rukuk dan baca lagi tasbih 10 kali.
Setelah itu sujud dan baca lagi tasbih 10 kali. Setelah itu bangkit dari sujud dan baca tasbih 10 kali.
Setelah itu sujud lagi dan kembali membaca tasbih 10 kali. Total seluruhnya adalah 75 kali tasbih."
Kata Buya Yahya
Penceramah Buya Yahya menjelaskan cara menyambut tahun baru Hijriyah bagi umat Islam.
Buya Yahya menerangkan menyambut datangnya tahun baru Hijriyah, sebaiknya umat muslim menggaungkan semangat syiar Islam.
"Syiar bisa dilakukan dengan gebyar yang indah dan menarik sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Nabi Muhammad SAW," jelas Buya Yahya dikutip Banjarmasinpost.co.id dari kanal youtube Al-Bahjah TV.
Dikulik dari asal sejarah adanya sistem penanggalan Hijriyah, karena kegundahan kaum muslimin mengenai tanggal yang sama dengan kaum di luar Islam pada zaman Sayyidina Umar bin Khattab RA, maka dicetuskanlah untuk membuat tanggal yang berbeda.
Pesan yang dipahami yaitu hendaknya umat Islam membuat sesuatu yang khas, sebagian orang merayakan tahun baru agamanya atau kebiasaan lainnya, mengapa umat muslim harus ikut-ikutan, di saat mempunyai tahun baru sendiri seolah tidak bisa mengagungkan syiar.
Syiar-syiar dalam Islam adalah indah, tidak hanya bermanfaat atau disenangi oleh umat Islam saja bisa pula dirindukan kaum non Islam, di antaranya menghargai tetangga, anak harus berbakti kepada Orangtua, Orangtua harus mendidik anak dengan benar, menjauhkan sifat-sifat penyakit hati, dan lainnya.
"Tidak harus gebyar, di antara contoh kecil cara menyambut tahun baru Islam misalnya makan bersama dengan anak-anak, kegembiraan yang halal, dan seterusnya," kata Buya Yahya.
Buya Yahya berpesan memaknai tahun baru Hijriyah umat muslim harus mengangkat syiar setinggi-tingginya, seluas-luasnya, semarak-maraknya.
Selain itu, penting bagi kaum muslimin untuk introspeksi diri dalam keseharian misalnya meningkatkan sholat sunnah, Tahajud, dan ibadah lainnya.
Keterangan Muhammad Abduh Tuasikal
Dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharram, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal juga memberikan penjelasan yang dikutip Rumaysho.
Menurutnya, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapi tahun baru Islam.
Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya.
Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini.
Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.
Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Dia juga membahas amalan yang keliru dalam menyambut tahun baru.
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun Hijriyah.
Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perowi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.
Kesimpulannya hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu mengkhususkan puasa pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
Lalu, Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya.
Yang memeriahkan tahun baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
Menurut Adi Hidayat
Sementara, Ustadz Adi Hidayat akan memberikan amalan apa saja yang dapat dikerjakan oleh umat Islam selama di bulan Muharram. Ini dikutip dari kanal YouTube Kajian Islam Official.
"Ada 4 Bulan Hurum Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Al-Muharram dan yang ke empat Bulan Rajab. Pada Bulan-bulan itu disunnahkan kita memperbanyak amal Shaleh," ucap Ustadz Adi Hidayat.
Kemudian lebih lanjut beliau menerangkan sekaligus bertanya kepada jama'ah.
"Kalau anda kerjakan amal Shaleh, maka status pahalanya naik di Bulan-bulan itu. Jadi kalau anda sekarang Shalat pahalanya bertambah. Kalau anda sekarang misalnya baca Qur'an pahalanya bertambah, Kalau anda sekarang misalnya berinfak pahalanya bertambah," ujar Ustadz Adi.
Lebih lanjut Ustadz Adi menambahkan terkait dengan amalan-amalan sunnah di 1 Muharram.
"Mumpung masih ada waktunya ayo tingkatkan, nah caranya bagaimana? Kalau anda ingin mengamalkan 1 amalan dan banyak amalan lain mengikuti 1 amalan yang lain ikut," imbuhnya.
"1 amalan, mendayung 1 amalan 2, 3 amal mengikuti apa amalannya? Rumus Nabinya Puasa, karena dengan Puasa yang lain ngikut," ujar Ustadz Adi.
Penjelasan Ustadz Khalid Basalamah
Pendakwah Ustadz Khalid Basalamah menjelaskan hukum merayakan tahun baru Islam 1 Muharram bagi umat muslim.
Dipaparkan Ustadz Khalid Basalamah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidak pernah mencontohkan adanya perayaan tahun baru Islam.
Ustadz Khalid Basalamah menuturkan bagi kaum muslimin hendaknya tidak menyerupai kebiasaan suatu kaum yang disebut tasyabbuh.
Ustadz Khalid Basalamah menjelaskan mengenai hal tersebut hendaknya kembali kepada pendapat-pendapat para ulama berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW.
"Wallahu'alam, saya bukan menyatakan pendapat saya pribadi, tapi kita harus kembali kepada pendapat umumnya ulama. Ulama-ulama yang saya pernah belajar dari tangan mereka, mereka mengatakan tidak pernah ada dicontohkan oleh Nabi SAW, yang merupakan utusan Allah," jelas Ustadz Khalid Basalamah dilansir Banjarmasinpost.co.id dari kanal youtube Kajian Ar-Rahman.
Begitu pula dengan para sahabat belum pernah merayakan tahun baru Islam, jika alasan umat Islam merayakan tahun baru hijriyah sebab meniru cara umat lain yang merayakan tahun baru masehi hal itu adalah keliru.
Dari Ibn Umar beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud, Hasan).
"Untuk apa kita menambah-nambah perayaan, apa esensi dari keharusan merayakan tahun baru hijriyah, sebab tidak ada hubungannya dengan syariat," papar Ustadz Khalid Basalamah.
Pihaknya pun menegaskan hanya menyampaikan dakwah sesuai syariat dan memurnikan ajaran Islam sesuai Alquran dan hadits Nabi SAW.
Ustadz Khalid Basalamah mengimbau tidak perlu adanya perayaan dengan melombakan sesuatu, misalnya cerdas cermat dan lainnya.
"Sebab nanti tahun berikutnya akan ada lagi, dan lomba-lomba yang ditampilkan pun menjadi lebih melebar jadi kemana-mana dikhawatirkan tidak mencerminkan ajaran Islam," ujar Ustadz Khalid Basalamah.
Sama halnya dengan perayaan lainnya yakni peristiwa Isra Mi'raj, Nabi SAW tidak merayakannya.
Ustadz Khalid Basalamah menekankan penyampaian yang disampaikan hanya untuk kembali ke kemurnian Islam.
"Tapi kalau Anda merayakannya ya itu hak Anda silakan saja, saya bukan mengajar yang salah, hanya mengajak kepada kemurnian agama," ucap Ustadz Khalid Basalamah.
Jika kebiasaan perayaan itu dibiarkan dikhawatirkan akan ada banyak embel-embel yang menyimpang dari ajaran Islam.
Terlebih adanya umat muslim yang turut merayakan tahun baru Masehi hal tersebut sangat dilarang sebab perayaan umat non Islam.
Nabi Muhammad SAW nabi akhir zaman tak pernah menganjurkan adanya perayaan tahun baru.
"Tidak pernah Nabi Muhammad SAW menyuruh ini adalah akhir tahun silakan bagi umat muslim yang tinggal di wilayah non muslim untuk merayakannya. Kan syariat Allah itu lengkap, sempurna, bermanfaat semuanya, Allah tidak akan turunkan syariat kalau tidak bermanfaat, kenapa Nabi SAW tidak suruh merayakan tahun baru?," terang Ustadz Khalid Basalamah.
Ustadz Khalid Basalamah pun mengungkap kebingungannya soal banyaknya orang-orang yang terlalu bersemangat merayakan tahun baru masehi.
"Kalau tidak dirayakan kenapa? Butakah mata Anda? Apakah ada yang kurang? Rambut Anda rontok? Orang-orang muslim memenuhi jalan, meniup terompet, menyalakan petasan, yang menghabiskan jutaan bahkan miliaran uang untuk perayaan itu, habis begitu saja," ucap Ustadz Khalid Basalamah.
Padahal jika dihabiskan di jalan Allah, uang atau materi yang dimiliki jauh lebih bermanfaat dan berkah misalnya membangun mesjid, membantu janda-janda, orang-orang miskin, hal ini bisa dicatat menjadi pahala.
Segala sesuatu akan diberikan Allah SWT kepada negara kita, pemimpin yang baik, kesehatan fisik yang baik, semuanya akan diberikan jika kita bertaqwa kepada-Nya.
Berlaku sebaliknya, sebab pemerintah yang zalim, sebab penyakit, sebab musibah yang besar adalah karena dosa yang dilakukan para warganya.
Banjarmasinpost.co.id/Tribunnews.com