Pengusaha Hotel dan Restoran Diminta Adaptif, Bisa Sasar Sektor Swasta
kumparanTRAVEL June 12, 2025 12:40 PM
Pelaku usaha perhotelan dan restoran diminta adaptif dengan kondisi perekonomian saat ini. Pengamat Pariwisata Taufan Rahmady, menyebut industri hotel dan restoran, tidak bisa hanya bergantung pada pasar wisatawan berbasis APBD atau APBN saja.
Menurutnya, pelaku usaha industri perhotelan dan restoran bisa melakukan reorientasi pasar.
“Apa reorientasi pasar itu? Bahwa sekarang tidak hanya bergantung pada market wisatawan APBN/APBD itu saja,” kata Taufan, seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima kumparan.
Lebih lanjut, Taufan menuturkan bahwa permasalahan yang terjadi saat ini, karena pelaku usaha mengandalkan kegiatan dan pemerintah saja. Ini terlihat porsi kegiatan yang menggunakan APBD/APBN mencapai 70 persen, padahal private sector juga bisa diandalkan karena memiliki pasar yang cukup besar.
“Private sector itu bisa jadi backbone. Jadi tidak hanya bergantung pada pemerintah saja, tapi juga pada kerja sama swasta,” tambahnya.
Saat ini menurut Taufan, ada tiga kunci yang bisa memulihkan industri hotel dan restoran. Pertama, adaptif, atau tidak hanya bergantung pada wisatawan berbasis APBD/APBN saja.
Kedua, inovatif, yaitu melakukan reorientasi pasar. Ketiga, kolaboratif dengan mengajak stakeholder ekosistem pariwisata untuk saling mendukung, seperti travel agent, pelaku pariwisata, guide, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Ini menurut saya yang perlu dilakukan oleh kawan-kawan di industri perhotelan. Tidak mudah memang,” ujar Taufan.
Perbesar
Ilustrasi meeting di hotel. Foto: Matej Kastelic/Shutterstock
Hal yang sama juga diungkapkan Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Ia mengatakan bahwa bergantung pada kegiatan pemerintah bukanlah strategi jangka panjang yang sehat, justru diperlukan inovasi dari para pelaku usaha.
“Inovasi bukan melulu soal teknologi tinggi, bisa dimulai dari efisiensi internal, diversifikasi produk, hingga kolaborasi dengan sektor lain,” ucapnya.
Ia menjelaskan, hotel bisa mengembangkan model co-working space dan memperluas segmentasi pasarnya. Selain itu, restoran bisa masuk ke layanan catering berbasis langganan, atau menawarkan produk makanan kemasan siap saji yang dipasarkan digital.
“Pelaku usaha hotel juga harus berani melihat peluang baru. Jangan tunggu order pemerintah, ciptakan pasar sendiri. Bangun relasi langsung dengan komunitas, korporasi lokal, dan UMKM lain,” tutur Yusuf.
Yusuf melanjutkan, banyak perusahaan skala menengah yang mencari mitra untuk acara internal, pelatihan, bahkan pengadaan konsumsi.
“Menurut saya ini peluang. Kadang pelaku usaha luput, karena terlalu fokus pada kontrak besar dari pemerintah. Jangan dilupakan juga, pasar dari pemerintah tetap ada, hanya memang ada penyesuaian, sehingga menjaga market dengan konsumen pemerintah juga perlu tetap dilakukan,” kata Yusuf.
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan, industri hotel dan restoran sudah terdampak pemangkasan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L), termasuk perjalanan dinas terhadap usaha hotel. Ketua PHRI Hariyadi B. Sukamdani, menyebut pendapatan perusahaan hotel bintang 3, 4 dan 5 berpotensi kehilangan Rp 24,5 triliun dari kebijakan tersebut.
Presiden Prabowo melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp 306,69 triliun.
Secara spesifik, Prabowo meminta kementerian/lembaga menghemat belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin. Sementara kepada kepala daerah, Prabowo juga meminta untuk membatasi kegiatan yang bersifat seremonial, bahkan meminta perjalanan dinas dipangkas 50 persen.