Lampung Selatan dan Transformasi Ekonomi Menembus Kutukan Gerbang
Althof endawansa June 12, 2025 04:40 PM
Lampung Selatan sedang memasuki babak baru dalam perjalanan transformasi wilayahnya. Dikenal selama ini sebagai gerbang Pulau Sumatra, daerah ini sempat terjebak dalam gateway paradox—paradoks geografis di mana wilayah transit yang strategis justru tertinggal karena hanya menjadi simpul lintas logistik, bukan simpul produksi. Tapi kini data ekonomi menunjukkan bahwa Lampung Selatan mulai keluar dari fase stagnasi dan perlahan bertransformasi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis nilai tambah.

Ekonomi yang Bangkit dari Luka

Perekonomian Lampung Selatan terpukul berat saat pandemi, mencatat kontraksi -1,73% pada 2020. Namun sejak 2021, arah berubah. Pertumbuhan ekonomi berangsur pulih: 2,60% (2021), 4,81% (2022), 4,82% (2023), dan 4,62% pada 2024. Meskipun angka 2024 sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya, struktur pertumbuhannya jauh lebih sehat. Untuk pertama kalinya sejak 2020, kontribusi ekspor neto barang dan jasa terhadap PDRB melonjak ke 4,96%—suatu capaian signifikan dibanding -0,27% pada 2021 dan hanya 0,22% pada 2020.
Ini menandakan bahwa Lampung Selatan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada permintaan domestik. Sebaliknya, kabupaten ini mulai menyatu ke dalam rantai nilai yang lebih luas—indikator awal dari integrasi ekonomi yang lebih dalam.

Pergeseran Struktural: Sinyal Transformasi

Perubahan struktural turut mengiringi dinamika pertumbuhan. Kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDRB menurun dari 29,49% pada 2020 menjadi 25,97% pada 2024. Sementara sektor perdagangan dan reparasi kendaraan melonjak dari 12,45% menjadi 15,64% dalam kurun waktu yang sama. Ini menunjukkan meningkatnya peran konsumsi dan distribusi sebagai penggerak ekonomi. Infrastruktur seperti Jalan Tol Trans-Sumatra dan pembangunan Bakauheni Harbour City menjadi katalis penting dalam mengubah wajah logistik dan mobilitas.
Namun ironi muncul dalam sektor industri pengolahan yang justru stagnan—kontribusinya turun dari 24,02% pada 2020 menjadi 23,50% pada 2024. Ini mencerminkan apa yang disebut dalam teori pembangunan sebagai missing middle (; World Bank, 2009): kekosongan pada lapisan industri skala menengah yang seharusnya menjembatani sektor primer (bahan mentah) dan sektor tersier (jasa). Akibatnya, Lampung Selatan masih terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah seperti jagung, kopi, kelapa, dan hasil laut.

Indikator Sosial: Perbaikan Bertahap, Ketimpangan Tersisa

Dari sisi kesejahteraan, ada kabar baik. Jumlah penduduk miskin menurun dari 143.330 jiwa (2020) menjadi 132.380 jiwa (2024). Persentase kemiskinan turun dari 13,14% (2022) menjadi 12,57% (2024). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik dari 70,36 pada 2020 menjadi 72,15 pada 2024. Harapan hidup tahun 2024 kini mencapai 74,46 tahun—tanda positif dari perbaikan kesehatan. Namun IPM Lampung Selatan tahun 2024 masih di bawah rata-rata Provinsi Lampung (73,13) dan nasional (75,02). Ini menunjukkan bahwa meski angka makro membaik, kualitas pembangunan manusia belum sepenuhnya merata.

Tantangan Baru: Strategi, Bukan Sekadar Lokasi

World Development Report (2009) menyebut bahwa pembangunan ekonomi akan selalu tidak merata secara geografis—yang bisa merata adalah inklusivitasnya. Karena itu, daerah strategis seperti Lampung Selatan memerlukan intervensi berbasis nilai tambah, bukan hanya berbasis letak geografis. Keunggulan spasial harus dikonversi menjadi keunggulan produksi.
Lampung Selatan perlu menggeser fokus kebijakan dari “anggaran serap” menjadi “kapasitas tangkap nilai.” Hal ini mencakup: (1) penguatan hilirisasi berbasis komoditas unggulan lokal, (2) pengembangan klaster agro-maritim dan logistik melalui tata ruang terintegrasi, dan (3) desain insentif investasi daerah untuk menarik pelaku sektor menengah dan teknologi pengolahan.
Pemerintah daerah, bersama pusat, harus mulai merancang institutional ecosystem yang mendorong produktivitas desa—seperti koperasi modern, pelatihan vokasi berbasis permintaan pasar, dan akses ke pasar daring yang kompetitif.
Lampung Selatan telah memulai perjalanannya keluar dari kutukan gerbang. Tapi waktu adalah faktor kritis. Bila dekade ini gagal dimanfaatkan, pertumbuhan bisa kembali terjebak dalam ketimpangan dan stagnasi. Sebaliknya, jika ditata dengan visi jangka panjang dan keberanian reformasi, Lampung Selatan dapat menjadi model keberhasilan transformasi wilayah pinggiran menjadi pusat gravitasi ekonomi selatan Sumatra.
Kita tidak bisa lagi membiarkan daerah yang dilintasi hanya menjadi tempat transit. Ia harus menjadi tempat tumbuh, berkembang, dan menentukan arah. Dan Lampung Selatan, kini lebih dari sekadar gerbang—ia adalah medan uji bagi masa depan pembangunan Indonesia yang lebih merata dan bernilai tambah.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.