TIMESINDONESIA, SUMENEP – Di tengah gemuruh zaman yang makin cepat dan kadang bising, keberadaan sosok seperti KH. Fadlan Masykuri adalah anugerah yang langka. Ia bukan sekadar seorang kiai pengasuh pesantren, bukan pula hanya seorang tokoh agama yang disegani.
Lebih dari itu, Abuya begitu para santri dan masyarakat memanggilnya dengan penuh takzim adalah cerminan kearifan lokal yang berpijak pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darur Rahman di Sumenep, Madura, Abuya Fadlan telah memahat jejak panjang dalam dunia pendidikan, dakwah, dan sosial keagamaan. Namun, yang membuat beliau istimewa bukan semata karena kapasitas intelektualnya yang luas, tapi karena caranya menyampaikan ilmu dan mendampingi umat dengan kelembutan dan kasih sayang.
Dalam tutur katanya, dalam sikap tubuhnya, dalam cara ia memandang murid-muridnya selalu ada kehangatan yang tak dibuat-buat. Ia tak berdiri di menara gading; beliau berjalan bersama, menuntun perlahan, dan hadir sepenuhnya bagi siapa pun yang datang mengetuk pintu hatinya.
Saya pertama kali mengenal Abuya di usia belasan, ketika mulai nyantri di Darur Rahman. Awalnya saya takjub melihat sosoknya dari jauh: berwibawa, tenang, dengan sorot mata yang tajam tapi damai. Tapi yang paling membekas bukan penampilan luarnya, melainkan cara beliau memuliakan setiap orang.
Tak pernah sekalipun saya lihat Abuya mengangkat suara tinggi, apalagi merendahkan orang yang ilmunya masih dangkal. Bahkan kepada santri yang bandel pun, beliau lebih memilih mendekat dengan nasihat lembut ketimbang hukuman keras.
Inilah hal pertama yang ingin saya tegaskan: Abuya adalah guru sejati. Bagi beliau, pendidikan bukan cuma soal mentransfer ilmu, tetapi membentuk akhlak dan jiwa. Ia meyakini bahwa santri bukanlah kertas kosong yang bisa dicoret sesuka hati, melainkan taman yang butuh dirawat dengan kesabaran dan kasih.
Dalam setiap pengajian kitab, Abuya menyisipkan pelajaran hidup: tentang ikhlas, tentang kejujuran, tentang pentingnya istiqamah dalam perjuangan. Beliau mencontohkan langsung bagaimana hidup dengan prinsip, tanpa kehilangan kelembutan.
Kedua, Abuya adalah sosok yang sangat membumi. Meski ilmunya tinggi, beliau tidak pernah merasa lebih tinggi dari siapa pun. Ketika menghadiri undangan warga di pelosok desa, ia datang tanpa protokol ribet. Duduk di tikar, makan seadanya, mendengar keluh kesah masyarakat, bahkan sering ikut membantu mencari solusi.
Bagi Abuya, agama itu harus hadir dalam kehidupan nyata, bukan hanya di mimbar atau kitab-kitab. Ia mengajarkan bahwa Islam harus menjadi cahaya yang menerangi, bukan menakut-nakuti. Dakwah beliau tidak memukul, melainkan memeluk.
Yang menarik, Abuya tidak menutup mata terhadap realitas zaman. Di tengah derasnya arus modernitas, beliau tidak serta-merta menolak kemajuan. Beliau paham bahwa zaman terus berubah, dan umat Islam harus mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.
Karena itu, pesantren Darur Rahman di bawah asuhannya tidak hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi juga mendorong para santri untuk mengenal teknologi, bahasa asing, dan keterampilan hidup lainnya. Bagi Abuya, Islam tidak anti terhadap perubahan, selama nilai-nilai pokoknya tetap terjaga.
Kebijaksanaan Abuya dalam memandang kehidupan sosial juga patut dicontoh. Ia bukan tipe ulama yang eksklusif hanya bicara soal surga dan neraka. Ia ikut memikirkan persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, ia turut aktif menyuarakan pentingnya pemimpin yang adil dan amanah di tengah masyarakat. Tapi caranya selalu santun tanpa provokasi, tanpa mencaci. Ia mengajak berpikir, bukan menghasut.
Saya percaya, Abuya Fadlan adalah representasi dari sosok ulama ideal yang kita butuhkan di zaman ini. Ia tidak keras, tapi tegas. Tidak mencari popularitas, tapi sangat dihormati. Tidak banyak bicara soal kebesaran diri, tapi selalu dirindukan kehadirannya. Ia tak pernah menyuruh orang untuk memuliakannya, tapi justru kemuliaan datang karena ia memuliakan orang lain.
Mereka yang pernah nyantri langsung padanya akan paham bahwa ilmu Abuya bukan sekadar di kepala, tapi sudah menjadi darah dan daging dalam keseharian. Ia membaca kehidupan dengan mata hati. Ia mengajar bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan laku.
Beliau menunjukkan bahwa menjadi kiai bukan berarti harus menjadi sosok yang menakutkan, tapi cukup menjadi orang tua rohani yang sabar, bijak, dan selalu membuka pelukan untuk siapa saja.
Kini, saat saya menulis opini ini, wajah Abuya terbayang jelas. Suaranya yang tenang, senyumnya yang teduh, dan tatapannya yang penuh cinta semua itu seperti membentuk semacam kekuatan moral yang terus membimbing kami, para alumni, dalam menapaki hidup yang penuh liku.
Banyak dari kami yang telah tersebar ke berbagai daerah, membawa bekal dari Darur Rahman. Tapi di mana pun kami berada, satu hal yang selalu kami pegang: ajaran Abuya untuk hidup dengan akhlak mulia, berpikir jernih, dan melayani sesama.
Menulis tentang Abuya Fadlan Masykuri bukan sekadar mengenang, tapi juga meneguhkan kembali nilai-nilai yang beliau tanamkan. Di zaman yang penuh kegaduhan dan kehilangan arah, keteladanan beliau menjadi cahaya penunjuk jalan.
Semoga Allah selalu menjaga beliau, memanjangkan umurnya dalam keberkahan, dan menjadikan ilmunya manfaat dunia-akhirat. Dan semoga kita, para murid dan anak-anak rohaninya, mampu meneladani jejak langkahnya meski hanya setapak demi setapak.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Alumni Pondok Pesantren Darur Rahman dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.