Metode THR untuk Kurangi Jumlah Perokok, Bisakah Diterapkan di Indonesia?
Acos Abdul Qodir June 14, 2025 02:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Swedia tercatat sebagai salah satu negara dengan prevalensi perokok dewasa terendah di dunia, yakni di bawah lima persen. Hal ini memunculkan perhatian terhadap metode Tobacco Harm Reduction (THR) yang disebut-sebut turut berkontribusi dalam pencapaian tersebut.

THR merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat penggunaan produk tembakau, terutama bagi individu yang mengalami kesulitan berhenti merokok secara langsung. Pendekatan ini tidak menggantikan upaya berhenti merokok, melainkan menyediakan opsi yang dianggap berisiko lebih rendah bagi mereka yang belum dapat berhenti sepenuhnya.

Ahli Kesehatan Arifandi Sanjaya menilai bahwa pendekatan ini dapat menjadi salah satu strategi tambahan di Indonesia, meski harus disesuaikan dengan konteks sosial dan regulasi yang berlaku.

“Kalau di Indonesia sendiri, berdasarkan yang saya amati, penggunaan THR bagi masyarakat yang teredukasi, baik itu diedukasi secara ilmiah ataupun secara ekonomi, akan mendorong orang itu bisa lepas dari rokok. Menurut saya, memang harusnya ada satu divisi yang berhubungan dengan harm reduction ini di Indonesia,” ujar Arifandi dalam keterangannya, dikutip Jumat (13/6/2025).

Menurut Arifandi, keberhasilan pendekatan ini tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti ketersediaan produk alternatif serta kebiasaan perokok yang masih ingin merasakan aktivitas serupa, seperti menghisap dan menghembuskan uap. Namun, ia menekankan bahwa penggunaan perasa dalam produk alternatif bukan ditujukan untuk menarik minat non-perokok, melainkan agar perokok yang ingin beralih bisa merasa lebih terbantu dalam prosesnya.

“Pengguna yang masih mendapat sensasi seperti kebiasaan merokok ketika pengguna melakukan aktivitas mengisap dan mengeluarkan sesuatu itu lebih efektif diterapkan di Indonesia. Selain itu, banyak sekali orang sebenarnya tidak suka dengan wangi rokok. Aroma rokok atau tembakau bakar itu tidak disukai. Ini menunjukkan perlunya opsi (alternatif),” tambah Arifandi.

Dalam konteks Swedia, peran pemerintah dalam penyusunan regulasi dan dukungan terhadap riset disebut turut memperkuat penerapan metode ini. Alih-alih fokus pada pelarangan total, pendekatan berbasis pilihan dan edukasi menjadi langkah yang ditempuh.

“Edukasi dan penelitian itu penting. Tanpa penelitian yang valid dari pemerintah, masyarakat masih akan bingung. Namun jika sudah ada, masyarakat jadi bisa menentukan sendiri dan memilih. Regulasi yang efektif juga dibutuhkan, yang sesuai dengan persoalan,” jelas Arifandi.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan bahwa upaya utama pemerintah tetap fokus pada pengurangan konsumsi produk tembakau melalui pendekatan preventif dan promotif.

“Kita tahu bahwa Indonesia memasuki bonus demografi dan kita ingin menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang andal pada 2045. Kita ingin memiliki SDM yang tidak memiliki faktor risiko terhadap rokok,” kata Siti dalam media briefing, Senin (02/06).

Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah terus mendorong layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM), serta memperkuat pemantauan konsumsi dan pengendalian tembakau di Indonesia sebagai bagian dari komitmen dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.