TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia tengah bertransisi dengan cepat menuju pemerintahan digital (GovTech), bergerak melampaui visi dan menuju realitas masa kini. Proses transformasi ini berjalan seiring dengan kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, progam pembangunan infrastruktur TIK yang massif, dan jumlah populasi yang terdidik dan melek teknologi digital semakin bertambah banyak. Transformasi digital yang mendukung pengembangan GovTech memang sedang menjadi tren global saat ini.
Forum Ekonomi Dunia (World Economy Forum, WEF) lewat laporannya yang dipublikasikan pada Januari 2025 ini, memproyeksikan bahwa proyek GovTech secara global akan menelan investasi sebesar USD 9,8 triliun pada tahun 2034 mendatang, sedangkan nilai pasar GovTech akan mencapai USD 1,4 triliun pada tahun 2034, naik dari USD 606 miliar pada tahun 2024.
Laporan WEF juga memproyeksikan bahwa solusi GovTech dapat mengurangi biaya administratif hingga 30 persen, menghasilkan penghematan USD 5,8 triliun secara global pada tahun 2034. WEF memperkirakan GovTech dapat menekan biaya terkait perubahan iklim sebesar 10 persen, dan menghemat biaya sebesar USD 2,9 triliun pada tahun 2030 nanti.
Menurut WEF upaya pengembangan GovTech secara global tampak nyata di beberapa negara seperti Arab Saudi, Azerbaijan, Bahrain, Malaysia, dan Singapura. WEF menyebutkan bahwa Kerajaan Arab Saudi berjuang mengembangkan GovTech dengan membuat langkah-langkah besar seperti mendigitalisasi lebih dari 6.000 layanan publik, membangun platform "Absher" untuk layanan daring, dan menyediakan aplikasi "Mawid" untuk penjadwalan janji temu.
Pada tahun 2024, kerajaan Arab Saudi menghabiskan SAR 93,7 miliar untuk mengembangkan infrastruktur digital agar siap untuk otomatisasi dan transformasi digital, dan mengalokasikan SAR 75 miliar lainnya untuk pengembangan platform pendukung GovTech di masa mendatang. Melalui proyek GovTech, Arab Saudi ingin menempatkan semua orang pada sistem infrastruktur publik digital (misalnya ID digital, pembayaran, pertukaran data).
Sementara, Azerbaijan juga mulai memetik manfaat dari pengembangan GovTech. Transformasi digital membantu negara itu mengembangkan sistem transportasi yang tidak saja lancar, tetapi juga selaras dengan sistem logistik yang efisien dan prosuder bea cukai efektif.
Aplikasi e-visa Azerbaijan berhasil mengurangi waktu pemrosesan visa dari hampir seminggu menjadi tiga jam, sementara sistem kontrak digitalnya memangkas tugas administratif dari beberapa hari menjadi hanya 15 menit.
Bahrain adalah salah satu negara yang gencar mengembangan GovTech. Sejak tahun 2023 higga tahun 2026 nanti, Bahrain berjuang keras memajukan digitalisasi untuk menigkatkan kualitas dan daya saing pada 500 jenis layanan pemerintah.
WEF menyebutkan, belanja cloud di Bahrain memberikan kontribusi lebih dari USD 1,2 miliar terhadap PDB tahun 2026 dan diharapkan dapat menciptakan lebih dari 9,3 juta lapangan pekerjaan.
Di kawasan ASEAN, Malaysia lewat Kementerian Digital (MyDIGITAL) nya sangat gencar mengembangkan GovTech yaitu Platform Data Terbuka untuk menghubungkan lembaga pemerintah, bisnis, dan seluruh warga negara.
Tahun ini Malaysia mengalokasikan 10 juta RM (USD 2,35 juta) untuk Kantor AI Nasional dan tambahan RM 50 juta (USD 11,7 juta) yang didedikasikan untuk pendidikan AI. Malysia bermaksud mendigitalkan 80 persen dari total layanan publiknya, dan mendorong efisiensi serta menjaga kelestarian lingkungan.
Inisiatif GovTech Malaysia juga diarahkan memperbesar kontribusi ekonomi digital terhadap PDB dari 23,5 persen (2024) menjadi 25,5 persen tahun ini, dan selanjutnya menjadi 30-35 persen pada tahun 2030.
Sementara itu, Singapura pun giat mengembangkan GovTech-nya. Pada tahun fiskal 2023, Singapura menghabiskan SGD 3,3 miliar (USD 2,5 miliar) untuk TIK, dan pada tahun fiskal 2025, mengalokasikan SGD 605,70 juta khusus untuk GovTech.
Transformasi Digital pada GovTech Indonesia
Selama dekade terakhir, Indonesia mengguyurkan dana besar untuk pembangunan infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi. Contoh, pada periode 2019-2022, melalui APBN, Indonesia menginvestasi dana senilai Rp75 triliun untuk membangun jaringan kabel laut, jaringan nirkabel, dan jaringan seluler 5G dan adopsi teknologi kecerdasan buatan dan Internet of Things (IoT).
Menurut data Kementerian Komunkasi dan Digital (Komdigi), hingga akhir tahun 2024, Indonesia telah menghadirkan jaringan seluler 5 G di 48 kota hingga akhir tahun 2024.
Sementara, data Digital Report 2025, per Januari 2025 Indonesia telah memiliki 356 juta sambungan telepon seluler aktif, setara denan 125 persen dari total populasi, dan sekitar 212 juta orang atau sekitar 74,6 persen dari total populasi, 280 juta jiwa.
Data dari Statista.com mencatat bahwa hingga akhir tahun 2022 Indonesia memiliki 1,346 miliar koneksi IoT. Nilai pasar IoT Indonesia bertumbuh mencapai nilai USD 40 miliar pada tahun 2025.
Transformasi digital mendorong pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel. Kemudian pada tahun 2023, pemerintah mendorong percepatan transformasi digital dan keterpaduan layanan digital secara nasional.
Lalu, pada akhir Mei 2024, Indonesia meluncurkan GovTech Indonesia dengan nama INA Digital. Pada tahun yang sama, pemerintah meluncurkan Visi Indonesia Digital (VID) 2045 dan memulai rilis terbatas tahap pertama INApas, INAku, dan INAgov.
Kemajuan digitalisasi membawa Indonesia ke peringkat ke-64 E-Goverment Development Index dengan nilai 0.799, dan peringkat ke-35 E-Participation Indeks dari 193 negara di dunia dengan nilai 0.7945, pada tahun 2024.
Digitalisasi juga membuat Indonesia mampu menyediakan layanan GovTech seperti PeduliLindungi, e-KTP, e-Samsat, BPJSTKU, aplikasi perizinan SiCantik Cloud, Mal Pelayanan Publik Digital (MPP Digital), Dukcapil Online, Telemedicine; Sistem Pembelajaran Daring (SPADA); e-SIM dan lainnya.
Transformasi digital juga memungkinkan ada platform e-commerce yang makin canggih. Hingga kini, terdapat lebih dari 180 juta orang Indonesia menggunakan platform e-commerce, dengan rata-rata nilai transaksi mencapai USD 800 per orang. Produk terlaris dalam e-commerce adalah fashion, elektronik dan produk kecantikan.
Transformasi digital juga mendorong pertumbuhan bisnis di sektor finctech dan perbankan digital. Hingga awal tahun ini, tercatat lebih dari 70 juta orang Indonesia aktif menggunakan layanan keuangan digital seperti dompet digital, platform pinjaman online, dan platform QRIS, dengan total tranksaksi mencapai USD 50 miliar per tahun.
Kemajuan transformasi digital di industri perbankan mendorong kelahiran sejumlah lembaga perbankan digital seperti BRI Digital, Bank Jago, Bank Saqu dan Bank Neo Commerce.
Namun, pada kenyataannya, transformasi digital dan pengembangan GovTech Indonesia masih diwarnai oleh tiga tantangan utama berupa kesenjangan digital, ketahanan siber yang rapuh, serta masalah regulasi dan pajak digital yang membingungkan.
Terkait kesenjangan digital, disebutkan kini masih ada sekitar 40 juta atau 25,4 persen dari total populasi Indonesia, masih offline karena belum memiliki akses internet. Hal ini terjadi karena faktor pembangunan infrastruktur TIK yang kurang menyentuh daerah 3T. Juga karena faktor ekonomi di mana warga miskin tak mampu membeli gadget canggih dan membayar biaya internet yang relatif mahal.
Selain itu masih banyak warga Indonesia, terutama dari generasi Baby Boomer, yang lahir antara 1946 hingga tahun 1964, dan mereka yang berpendidikan rendah, belum tahu cara menggunakan perangkat digital secara bijak dan aman.
Adopsi teknologi digital untuk GovTech Indonesia dibarengi oleh meningkatnya serangan siber. Serangan itu tak hanya menyasar data privasi dan data perusahaan swasta, tetapi juga data pemerintah yang ada di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).
Menurut Kearney Report 2024, pelanggaran keamanan siber dan kebocoran data di Indonesia, menduduki peringkat ke-85 dari 175 negara. Dalam hal ini, Lembaga konsultan, DAKA Advisori menyebutkan bahwa pada tahun 2024 kerugian akibat kejahatan siber di Indonesia mencapai USD 895 miliar atau Rp 14.320 triliun.
Regulasi dan pajak digital adalah masalah lagi menghalangi kemajuan GovTech Indonesia. Pada satu sisi Indonesia sudah menerapkan ketentuan tarif PPN 11 persen untuk transaksi digital.
Namun, pada sisi lain, berdasarkan peraturan konvensional, Indonesia masih kesulitan menarik pajak atas perusahaan digital asing yang hadir dan beroperasi di Indonesia secara online saja.
GovTech Indonesia
Dalam VID 2045 Indonesia berharap transformasi digital dan GovTech, mampu mengakselerasi peningkatan daya saing nasional dan meraih Visi Indonesia Emas 2045 yaitu menjadi NKRI yang maju, berdaulat, dan berkelanjutan pada tahun ke-100 kemerdekaannya.
Harapan VID 2045 senada dengan makna ungkapan ‘Utopia GovTech’ yang dilontarkan Wakil Gubernur Layanan Bersama Arab Saudi Hisham Abdulmalik AlSheikh saat berbicara di Pertemuan Musim Semi IMF-Kelompok Bank Dunia 2024 di Washington DC, AS pada 15 hingga 20 April 2024 lalu.
AlSheikh menggambarkan bahwa hingga 2024, Arab Saudi berada dalam kondisi ‘Utopia Govtech’ karena masih membayangkan pemerintahan digital masa depan yang mampu memberikan layanan pulik secara optimal apabila infrastruktur dan ekosistem digital sudah tersedia secara memadai.
Merujuk ke istilah yang disampaikan Hisham Abdulmalik AlSehik, kita dapat mengatakan bahwa pengembangan GovTech yang selaras dengan VID 2045 adalah ‘Govtech yang utopis’ juga.
Dalam laporan penelitiannya yang dirilis tahun 2024 lalu, Bank Dunia menyebutkan bahwa untuk mewujudkan GovTech pada tahun 2030, Indonesia membutuhkan tambahan 9 juta talenta digital.
Untuk mengembangkan talenta digital, pemerintah lewat Kementerian Komdigi RI telah meluncurkan program Beasiswa Talenta Digital (DTS), yang bertujuan untuk melatih lebih dari 100.000 profesional di bidang-bidang seperti AI, keamanan siber, dan analisis data.
Selain di bidang SDM, Indonesia juga membangun Pusat Data Nasional (PDN) yang ditargetkan dapat beroperasi sejak Juni 2025 ini. Apabila target tersebut terlaksana maka nilai pasar PDN akan meningkat dari USD 2,39 miliar dolar AS pada 2025 menjadi 3,79 miliar dolar AS pada tahun 2030.
Adopsi teknologi digital dalam GovTech diproyeksikan mampu mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan mendongkak nilai ekonomi digital Indonesia hingga USD 146 miliar pada akhir tahun 2025, USD 230 miliar pada tahun 2028, dan USD 315 miliar pada tahun 2030.
Terkait hal itu, Kementerian Komdigi mencanangkan 10 juta UMKM terhubung platform e-commerce pada 2027, dan pada tahun 2029, sebanyak 25 UMKM bisa melakukan ekspor dan berkompetisi di pasar global.
Komitmen dan Kerja Keras
Bertolak dari data yang dikemukakan di atas, kita dapat menegaskan bahwa transformasi digital dan GovTech adalah realitas yang penuh tantangan, dan utopia yang menjanjikan banyak peluang dan harapan.
Untuk menjadikan ‘Utopia GovTech’ sebuah realitas, Indonesia perlu terus membina kemitraan dengan para pemimpin teknologi global dan mendorong industri lokal untuk berinovasi.
Lebih daripada itu Indonesia pun harus berkomitmen dan bekerja keras mengatasi kesenjangan digital, menciptakan ekosistem digital yang inklusif, menjamin ketahanan siber, dan menerapkan regulasi dan pajak digital yang berkeadilan.(*)
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) dan Pelaku Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.