TIMESINDONESIA, SURABAYA – Fenomena Ballerina Cappucina, Tralalero Tralala, dan animasi absurd sejenisnya kini membanjiri layar gawai anak-anak. Konten "anomali" ini menampilkan benda mati dan hewan yang beraksi layaknya manusia, dan meskipun tidak logis, sisi ganjil tersebut justru menarik perhatian anak-anak yang masih dalam fase imajinatif.
Menurut Dra. Lisa Narwastu Kristsuana, M.PSDM., dosen Elementary Teacher Education atau PG-PAUD Universitas Kristen atau UK Petra atau Petra Christian University (PCU), fenomena ini tidak sepenuhnya baru.
Imajinasi memang bagian penting dari tumbuh kembang anak, bahkan sejak usia dua tahun. Namun saat memasuki usia enam tahun, anak perlu mulai mengenali realita dan belajar berpikir logis.
“Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter. Tapi yang membedakan, sekarang imajinasinya makin absurd dan tak terkendali,” tuturnya.
Konten anomali ini menjadi semakin populer bukan hanya karena daya tarik visual, tapi juga karena algoritma yang mendorong konsumsi berulang. Akhirnya anak-anak menjadi ‘penikmat pasif’ dari konten tidak mendidik.
“Ibarat tanaman yang disiram tak beraturan, otak anak-anak bisa rusak. Mereka jadi blank, sulit fokus, dan emosinya ikut kacau,” ujar Lisa.
Hal-hal ini merupakan efek dari dopamin yang terus diproduksi otak secara tidak teratur saat menerima rangsangan. Konten acak seperti itu membuat otak kehilangan struktur dalam menyerap informasi, hingga akhirnya memicu brainrot secara perlahan.
Lisa menambahkan, dampak brainrot tak hanya menyerang kemampuan belajar, tapi juga aspek emosi dan sosial anak. Anak jadi lebih kasar, mudah tersinggung, bahkan mengalami kecemasan berlebih.
“Banyak orang tua mengeluhkan anaknya bicara ketus dan lebih senang menyendiri dengan gadget,” katanya prihatin.
Empati pun menipis karena otak anak-anak menjadi terbiasa melihat konten yang palsu dan tak berperasaan. Melarang sepenuhnya bukan solusi. Menurut dosen yang memiliki pakar di bidang parenting dan psikologi kepribadian itu, kuncinya ada pada kekuatan relasi dan komunikasi antara orang dewasa dengan anak-anak.
“Semakin dilarang, makin anak melawan. Kita harus jadi teman bicara yang bijak, bukan penghakim,” jelasnya.
Komunikasi yang hangat dan kepercayaan diri anak akan menjadi pelindung terbaik dari pengaruh buruk dunia digital. Lisa menegaskan pentingnya edukasi bagi orang tua dan guru, bukan hanya soal teknologi tapi juga soal nilai.
“Anak harus merasa dirinya berharga. Bukan karena diterima teman, tapi karena tahu dirinya dikasihi,” jelasnya.
"Jika anak punya rasa aman dari rumah, mereka akan lebih tahan terhadap tekanan luar. Di era serba cepat dan penuh distraksi ini, kehadiran yang hangat dan penuh pengertian dari orang dewasa adalah fondasi perlindungan terbaik bagi anak," tandasnya. (*)