Melek Angka di Era Proyek Raksasa
GH News June 14, 2025 05:04 PM

TIMESINDONESIA, PADANG – Di berbagai sudut negeri ini, geliat pembangunan tampak nyata. Dari Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur hingga kereta cepat Whoosh di Jawa Barat, dari bendungan raksasa di Sumatra hingga smelter nikel di Sulawesi. 

Indonesia seperti terobsesi mengejar lompatan infrastruktur raksasa demi mencetak pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Tapi di tengah gebyar proyek mercusuar ini, ada satu hal yang kerap terabaikan: melek angka-kemampuan publik memahami data, angka, dan hitung-hitungan ekonomi proyek tersebut.

Di era digital ini, tak semua warga terampil membaca rencana anggaran proyek miliaran rupiah, memahami rasio pembiayaan hutang, atau mengkritisi hitungan pengembalian investasi (IRR) yang dipakai pemerintah atau swasta. Padahal, angka-angka itu menentukan bukan hanya kelayakan proyek, tapi juga dampak jangka panjang pada APBN, pajak, bahkan utang generasi berikutnya.

Ambil contoh proyek IKN Nusantara. Anggaran Rp466 triliun disiapkan, 20 persen dari APBN, sisanya dari investasi swasta. Tapi benarkah proyeksi pembiayaan ini realistis? Sejauh ini, sejumlah investor asing belum tampak meyakinkan, beberapa justru wait and see. 

Publik berhak bertanya: berapa biaya riil infrastruktur dasar? Berapa biaya operasional pemerintah pusat kelak? Apakah ada analisis kepekaan jika investasi swasta tak kunjung masuk? Sayangnya, laporan resmi soal ini jarang tampil di media populer dengan bahasa yang mudah dicerna publik.

Hal serupa terjadi pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Ketika groundbreaking dilakukan pada 2016, proyek ditaksir menelan biaya US$6 miliar. Kini, realisasi melonjak ke US$7,2 miliar. Overrun biaya ini menimbulkan kehebohan di Senayan, juga di kalangan ekonom. 

Namun pertanyaan mendasar jarang dibahas di ruang publik: adakah kajian IRR baru? Kapan proyek ini betul-betul impas? Siapa menanggung beban kelebihan biaya ini-negara, konsorsium BUMN, atau masyarakat lewat pajak tambahan?

Proyek bendungan, jalan tol, hingga smelter di Indonesia Timur pun serupa. Selalu diklaim akan mendorong pertumbuhan, membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan.

Semua terdengar mulia. Namun tanpa angka-angka detail soal multiplier effect, efisiensi biaya, atau proyeksi ROI yang jelas, publik cenderung hanya disuguhi jargon.

Inilah ironi pembangunan Indonesia di abad 21: proyek raksasa bertebaran, tapi literasi numerasi publik-termasuk wartawan, politisi, bahkan sebagian akademisi-masih tertinggal. Padahal, di negara maju, laporan kelayakan proyek sudah menjadi konsumsi harian media, LSM, hingga kampus. 

Di Inggris, misalnya, proyek rel cepat HS2 diperdebatkan terbuka soal pembengkakan biaya dan justifikasi sosial-ekonominya. Di Korea Selatan, proyek-proyek infrastruktur selalu disertai simulasi dampak makro-ekonomi yang bisa diakses umum.

Mengapa Indonesia masih tertinggal dalam soal ini? Salah satunya karena angka sering dipersepsi sebagai urusan elite: insinyur, menteri keuangan, atau auditor BPK. Bukan konsumsi masyarakat umum.

Padahal, inilah kekeliruan besar. Demokrasi fiskal menuntut rakyat paham angka-bahkan angka-angka rumit soal utang, defisit, cost overrun, capital expenditure.

Problem lain, pemerintah sendiri masih setengah hati membuka data. Banyak dokumen feasibility study tak dipublikasikan. Bahkan dalam rapat-rapat DPR, angka realistis soal IRR, payback period, atau risk factor proyek sering tak muncul ke permukaan. Ruang publik pun makin miskin diskusi berbasis data.

Di sinilah peran media, kampus, dan LSM penting: mendorong lahirnya budaya “melek angka” di kalangan warga. Tidak harus setingkat auditor BPK atau analis Bappenas. 

Cukup paham prinsip sederhana: tiap proyek harus punya proyeksi untung rugi jelas, punya risiko terukur, punya analisis sensitivitas bila inflasi, suku bunga, atau kurs berubah.

Pendidikan ekonomi dasar di sekolah pun layak dirombak. Jangan hanya soal pasar, permintaan-penawaran, atau teori makro. Perlu tambahan modul soal ekonomi proyek: bagaimana membaca cash flow, NPV, IRR. Agar generasi muda tak buta ketika kelak membaca APBN atau proposal megaproyek.

Kampanye politik pun perlu perubahan. Daripada hanya menjual narasi “pembangunan masif” tanpa angka, para calon pemimpin semestinya ditantang menyodorkan hitungan rinci: berapa kebutuhan dana proyek infrastruktur mereka? Bagaimana pembiayaannya? Berapa lama balik modal? Apa skema risikonya?

Sinyal positif sudah muncul. Beberapa media mulai mengulas proyek IKN dan kereta cepat dengan simulasi anggaran dan risiko. Di kampus teknik, mata kuliah ekonomi teknik mulai populer lagi. Komunitas fiskal di media sosial pun mulai membahas rasio utang-proyek. Tapi jalan masih panjang.

Padahal bangsa ini harus belajar dari kegagalan masa lalu. Krisis moneter 1997 meledak karena proyek raksasa (seperti petrochemical complex) ternyata tidak layak secara ekonomi-terlalu bergantung utang, tanpa analisis sensitivitas. Sejarah mestinya tak terulang.

Di era megaproyek seperti sekarang, melek angka bukan sekadar kecakapan tambahan. Ia menjadi syarat utama demokrasi anggaran. Tanpa itu, rakyat hanya menjadi penonton megaproyek yang entah untuk siapa.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.