Menyelami Nilai Tarbiyah dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
GH News June 14, 2025 11:04 PM

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Di antara sekian banyak kisah yang diabadikan dalam Al-Quran, pertemuan antara Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Khidir adalah salah satu yang paling sarat makna. Kisah pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir yang termaktub dalam Surah Al-Kahfi ayat 60-82 merupakan narasi yang sarat dengan pelajaran mendalam tentang ilmu, kesabaran, dan adab dalam menuntut ilmu. 

Kisah ini tidak hanya menggambarkan perjalanan fisik dua tokoh agung, tetapi juga perjalanan spiritual dan intelektual yang penuh makna. Kisah menggambarkan perjalanan dua sosok manusia pilihan Allah yang sarat dengan nilai spiritual, intelektual, dan tarbiyah (pendidikan) yang sangat dalam. 

Ia mengandung pelajaran-pelajaran yang melintasi zaman, menembus batas-batas formal pendidikan, dan sangat relevan untuk direnungkan dalam dunia pendidikan kita hari ini.

Nabi Musa, seorang nabi yang telah menerima wahyu dan memimpin Bani Israil, menunjukkan kerendahan hati dengan mencari ilmu dari Nabi Khidir, seorang hamba Allah yang dikaruniai ilmu ladunni-ilmu langsung dari sisi Allah. 

Perjalanan ini menjadi simbol pencarian ilmu yang sejati, di mana seorang penuntut ilmu harus siap menghadapi ujian kesabaran dan ketundukan terhadap hikmah Ilahi yang mungkin belum dapat dipahami secara lahiriah.

Kisah ini bermula ketika Nabi Musa ditegur oleh Allah karena merasa paling alim di antara manusia. Sebagai bentuk pembelajaran, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui seorang hamba-Nya yang lebih berilmu, yaitu Nabi Khidir. Perjalanan ini mengajarkan bahwa dalam dunia pendidikan, sikap tawadhu’ dan kesadaran akan keterbatasan ilmu adalah kunci untuk terus berkembang.

Dari sinilah kita diajarkan bahwa di jalan ilmu, rasa cukup dan merasa paling pandai adalah jebakan yang berbahaya. Teguran kepada Nabi Musa menjadi pengingat bahwa kerendahan hati adalah fondasi utama dalam menuntut ilmu. 

Dunia pendidikan kita hari ini sangat memerlukan penanaman karakter ini. Betapa sering kita jumpai, baik pelajar maupun pengajar, yang merasa sudah cukup tahu sehingga enggan terus belajar dan terbuka pada pengetahuan baru. Padahal ilmu Allah itu luas, bagaikan samudera yang tak bertepi.

Nabi Musa pun memulai perjalanannya dengan semangat dan tekad kuat. Beliau bersama pemuda pembantunya (Yusya’ bin Nun) berlayar menuju tempat yang telah ditentukan. Namun dalam perjalanan ini, mereka mengalami ujian awal berupa tersesat. 

Ikan yang mereka bawa sebagai bekal hilang di suatu tempat yang menjadi tanda pertemuan mereka dengan Khidir. Ini menjadi isyarat bahwa dalam perjalanan mencari ilmu, rintangan-rintangan adalah hal yang wajar, bahkan niscaya. Keuletan dan kesungguhanlah yang menjadi bekal utama.

Setelah perjalanan yang panjang, Nabi Musa akhirnya bertemu dengan Nabi Khidir. Namun, untuk dapat belajar darinya, Nabi Musa harus memenuhi syarat: tidak bertanya tentang apa pun yang dilakukan oleh Nabi Khidir hingga dijelaskan. 

Syarat ini menekankan pentingnya kesabaran dan kepercayaan dalam proses belajar, serta menunjukkan bahwa tidak semua ilmu dapat dipahami secara instan. Nabi Musa menerima syarat itu dengan penuh optimisme dan janji kesabaran. Ini adalah momen tarbiyah yang sangat penting. 

Seorang penuntut ilmu harus memiliki kesabaran dan kesiapan untuk menerima pelajaran yang mungkin tidak sejalan dengan akalnya. Dunia pendidikan modern sering kali mengagungkan nalar rasional, padahal ada pelajaran-pelajaran kehidupan yang melampaui itu ada seorang hamba-Nya yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa, yakni Khidir. 

Maka dimulailah perjalanan mencari ilmu tersebut. Selama perjalanan, Nabi Musa menyaksikan tiga tindakan Nabi Khidir yang tampak aneh: melubangi perahu, membunuh seorang anak, dan memperbaiki dinding tanpa meminta imbalan. Setiap tindakan ini menimbulkan pertanyaan dalam benak Nabi Musa, yang kemudian melanggar syarat awal dengan bertanya.

Sebagaimana sifat manusia, Nabi Musa pun mengalami kesulitan untuk menalar “keanehan-keanehan” yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Hinggi akhirnya Nabi Musa tidak tahan untuk tidak bertanya.

Kisah saat Nabi Khidir melubangi perahu mengajarkan bahwa dalam proses pendidikan, pengetahuan yang diperoleh bisa saja tampak tidak masuk akal di awal. 

Guru yang bijak seperti Khidir memahami bahwa ada waktu dan proses yang harus dijalani agar pemahaman itu matang. Maka kesabaran, kembali lagi, adalah kunci. Dalam kisah kedua saat Nabi Khidir membunuh anak kecil mengajarkan bahwa dalam proses pendidikan, nilai-nilai yang kita pegang terkadang akan diuji.

Seringkali murid belum memahami konteks atau dimensi yang lebih luas dari tindakan atau kebijakan seorang guru atau sistem. Penting bagi dunia pendidikan hari ini untuk mengajarkan keterbukaan pikiran, kemampuan melihat persoalan dari berbagai sisi, dan menahan penilaian prematur. 

Demikian pula dalam kisah ketiga saat tindakan memperbaiki tembok milik masyarakat yang enggan memberi jamuan. Lagi-lagi, Musa mempertanyakan mengapa kerja keras dilakukan tanpa imbalan. Di sini, pendidikan karakter muncul dengan sangat kuat. 

Sikap ikhlas, beramal tanpa pamrih, serta orientasi kepada maslahat jangka panjang adalah pelajaran berharga. Dunia pendidikan kini sangat memerlukan penanaman nilai-nilai ini, terutama dalam menghadapi budaya pragmatis dan serba transaksional yang makin marak.

Setelah perpisahan mereka, Nabi Khidir menjelaskan hikmah di balik setiap tindakan tersebut, yang semuanya didasarkan pada ilmu dan petunjuk dari Allah. Kisah ini mengajarkan bahwa dalam pendidikan, tidak semua pelajaran dapat langsung dipahami. 

Terkadang, pemahaman datang setelah proses yang panjang dan melalui pengalaman. Oleh karena itu, kesabaran dan kepercayaan kepada guru serta proses pembelajaran sangat penting.

Dalam konteks pendidikan saat ini, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir relevan untuk menggambarkan hubungan antara guru dan murid. Guru, seperti Nabi Khidir, memiliki pengalaman dan pemahaman yang mungkin belum dimiliki oleh murid. Murid, seperti Nabi Musa, harus menunjukkan sikap rendah hati, kesabaran, dan kepercayaan dalam proses belajar.

Selain itu, kisah ini juga menekankan pentingnya memahami bahwa tidak semua pengetahuan dapat dijelaskan secara rasional atau langsung. Beberapa pelajaran hidup hanya dapat dipahami melalui pengalaman dan waktu.

Oleh karena itu, dalam pendidikan, penting untuk menanamkan nilai-nilai kesabaran, kepercayaan, dan keterbukaan terhadap proses pembelajaran yang berkelanjutan.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir adalah cerminan dari perjalanan seorang pembelajar sejati. Dalam dunia yang terus berkembang, sikap rendah hati, kesabaran, dan keterbukaan terhadap ilmu baru adalah kunci untuk terus maju. Semoga kita semua dapat meneladani semangat belajar Nabi Musa dan kebijaksanaan Nabi Khidir dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi dunia pendidikan, penjelasan ini menyiratkan bahwa dalam proses tarbiyah, guru kadang melakukan sesuatu dengan pertimbangan yang tidak mudah dipahami murid di awal. Perlu ada kepercayaan dan kesabaran hingga hikmah suatu tindakan atau keputusan terungkap. 

Relasi guru-murid yang sehat adalah relasi yang dibangun di atas rasa hormat, kepercayaan, dan kesabaran. Bisa jadi murid yang masih belum mendapatkan keterbuakaan fikiran (Futuh).

Mengaitkan kisah ini dengan konteks pendidikan saat ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran praktis. Pertama, pentingnya membangun karakter rendah hati dalam menuntut ilmu. Setinggi apapun posisi seseorang, harus ada kesadaran bahwa selalu ada ilmu yang belum kita ketahui. 

Kedua, kesabaran dalam belajar adalah kunci sukses. Tidak semua pengetahuan bisa dipahami secara instan.

Ketiga, pentingnya menghormati dan mempercayai guru, sambil tetap bersikap kritis dengan adab yang baik. 

Keempat, bahwa amal ikhlas, kerja keras tanpa pamrih, serta orientasi pada kemaslahatan adalah nilai-nilai inti yang harus diinternalisasikan dalam dunia pendidikan.

Buku ini, yang ditulis dengan kerja keras dan ketelitian oleh penulis Nanda Naf’an Thoriq an Dakhil, penulis berhasil menyajikan kisah Nabi Musa dan Khidir dengan pendekatan tafsir yang mendalam dan aplikatif. 

Penulis tidak sekadar menceritakan ulang kisah, tetapi mengurai tafsir ayat demi ayat, kemudian mengaitkannya dengan nilai-nilai tarbiyah yang sangat relevan untuk dunia pendidikan kita hari ini.

Narasi yang disusun mengalir dan mudah dipahami, sehingga buku ini tidak hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi, tetapi juga bagi para guru, santri, pelajar, dan masyarakat luas.

Penulis buku ini telah berhasil menyajikan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dengan pendekatan yang menarik dan relevan dengan konteks pendidikan modern. Melalui penjabaran tafsir dari berbagai ayat, penulis mampu mengaitkan nilai-nilai tarbiyah dalam kisah tersebut dengan tantangan dan dinamika dalam dunia pendidikan saat ini. 

Usaha penulis dalam menyusun narasi yang mendalam dan aplikatif patut diapresiasi. Buku ini tidak hanya menjadi sumber inspirasi bagi para pendidik dan pelajar, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami makna mendalam dari proses belajar dan hubungan antara guru dan murid.

Kepada para pembaca, khususnya para santri Kunuuzul Imam Kauman, saya ingin menyampaikan harapan yang besar. Jadikan buku ini sebagai salah satu rujukan dalam membangun karakter dan visi belajar kalian. 

Tanamkan sikap rendah hati dalam menuntut ilmu, bersabarlah dalam proses belajar, hormatilah guru-guru kalian, dan jadikan amal ikhlas sebagai fondasi hidup. Dunia yang kalian hadapi nanti adalah dunia yang penuh tantangan. Bekal karakter kuat dan nilai-nilai tarbiyah yang dipetik dari kisah ini akan menjadi penopang yang kokoh bagi perjalanan hidup kalian.

Akhir kata, semoga buku ini menjadi lentera ilmu yang menerangi jalan kita semua, menginspirasi kita untuk terus belajar dengan rendah hati, bersabar dalam setiap proses, dan mengamalkan ilmu dengan penuh keikhlasan. Selamat membaca dan menyelami hikmah abadi dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir.

***

*) Oleh : Dr. Suheri, M.Pd.I., Rektor IAI At Taqwa Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.