Mengapa Sertifikasi Halal Terasa Rumit? Begini Penjelasan LPPOM
kumparanFOOD June 15, 2025 05:00 PM
Pemerintah tengah mendorong percepatan sertifikasi halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia, mulai dari makanan, minuman, hasil sembelihan, hingga bahan baku. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Namun, hingga kini masih banyak pelaku usaha yang belum mengantongi sertifikasi halal. Menurut Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Haikal Hassan, dari total 66 juta pelaku usaha di Indonesia, sebanyak 64 juta di antaranya belum tersertifikasi halal.
"Makanan itu kurang lebih 14 persen, jadi target kita yang 14 persen kita selesaikan dulu sampai 2026. Setelah itu baru kosmetik, obat, dan sebagainya. Nah, 14 juta ini harus kita kejar sampai 2029 ya," ujar Haikal Hassan seperti dikutip dari Antara, Minggu (15/6).
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menyebut ada sejumlah faktor yang menyebabkan sertifikasi halal belum maksimal. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi di kalangan pelaku usaha, terutama UMKM. Ia juga menekankan pentingnya peran konsumen dalam mendorong pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikasi halal.
Direktur Utama LPPOM Muti Arintawati menjadi pembicara kumparan Halal Forum 2025 di Ballroom Artotel Mangkuluhur, Jakarta, Selasa (27/5/2025). 
 Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama LPPOM Muti Arintawati menjadi pembicara kumparan Halal Forum 2025 di Ballroom Artotel Mangkuluhur, Jakarta, Selasa (27/5/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Namun, tak hanya soal sosialisasi, ketidakpastian dalam penerapan sanksi juga membuat pelaku usaha memilih untuk menunggu. Misalnya pada Oktober 2024 lalu, banyak pelaku usaha yang bergegas mendaftar karena khawatir dengan tenggat wajib halal. Namun saat pemerintah memperpanjang masa relaksasi bagi UMKM dan produk luar negeri, semangat itu pun mengendur.
"Jadi yang tadinya semangat, kemudian akhirnya wait and see, kita tunggu aja dulu deh, nanti apakah memang betul-betul akan diterapkan dengan tegas atau bagaimana. Jadi itu bagian yang memang menjadi challenging juga, karena kemudian pelaku usaha menunggu wait and see," ujar Muti saat di acara kumparan Halal Forum yang digelar di Ballroom Artotel Mangkuluhur, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Tantangan Bahan Baku

Ilustrasi penggilingan daging. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penggilingan daging. Foto: Shutterstock
Muti menyebut bahwa masih banyak pelaku usaha yang belum mengantongi sertifikasi halal karena mereka menganggap prosesnya memakan waktu dan sulit dilakukan. Padahal, jika ditelusuri lebih lanjut, persoalan ini sering kali muncul karena tantangan di sisi bahan baku.
Muti mencontohkan produk seperti lemper, yang umumnya diproduksi oleh pelaku usaha mikro. Dalam proses audit, tim harus menelusuri sumber daging ayam yang digunakan. Jika bahan tersebut belum bersertifikat halal, maka proses verifikasi berlanjut hingga ke toko penjual hingga rumah potong ayam (RPA) asal. Semua ini membutuhkan dokumen pendukung yang valid, sehingga memperpanjang proses sertifikasi.
"Kami harus menelusuri terus ke sana. Itunya akhirnya kemudian muncul cerita bahwa sertifikasi untuk UMK sulit, rumit, panjang. Kalau kita runut lagi, ternyata masalahnya adalah di bahan-bahan yang kritis ini," beber Muti.
Ketersediaan ayam dan daging bersertifikat halal di pasaran juga masih menjadi tantangan tersendiri. Audit menjadi lebih kompleks karena rantai pasok harus ditelusuri hingga ke hulu. Kondisi serupa juga terjadi pada produk bakso, terutama di tahap penggilingan daging.
Penyembelihan kambing dam di RPH Al-Okaishiah. Foto: MCH 2023
zoom-in-whitePerbesar
Penyembelihan kambing dam di RPH Al-Okaishiah. Foto: MCH 2023
Muti menjelaskan, itulah sebabnya dalam beberapa tahun terakhir, LPPOM mendorong pendekatan sertifikasi halal dimulai dari hulu, seperti rumah potong ayam dan hewan. Selama ini, fokus sertifikasi lebih banyak berdasarkan kelompok produk, namun ia menilai akan lebih efektif jika perhatian diarahkan pada bahan-bahan kritis yang banyak digunakan oleh pelaku usaha.
"Nah ke depannya akan lebih baik lagi kalau memang kita bisa menarik permasalahan bahan-bahan apa saja sih yang secara masif digunakan oleh banyak perusahaan, banyak produk yang sifatnya kritis. Misalkan bahan-bahan yang berbasis hewan tadi, rumah potong ayam, rumah potong hewan itu menjadi prioritas," ujar dia.
Dengan pasokan bahan baku bersertifikat halal yang lebih luas dan mudah diakses, proses sertifikasi produk hilir seperti lemper atau ayam goreng pinggir jalan pun bisa dilakukan dengan lebih cepat dan murah.
Ia juga menambahkan bahwa proses audit yang terlalu panjang akan berimbas pada biaya sertifikasi, karena tim harus memverifikasi langsung ke pemasok bahan. Oleh karena itu, Muti menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak untuk mempercepat ketersediaan bahan bersertifikat halal agar target nasional bisa tercapai.
"Karena tadi lemper, tapi karena kita harus melakukan proses pemeriksaan juga ke tukang potongnya, ke tokonya. Akhirnya menjadi panjang dan ujung-ujungnya akhirnya keluhannya menjadi lebih mahal karena harus meng-cover juga tahapan-tahapan tersebut," jelas dia.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.