Giant Sea Wall dan Harapan di Pesisir Jawa Tengah
GH News June 16, 2025 11:04 AM

TIMESINDONESIA, JAWA TENGAH – Rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di sepanjang pantai utara Jawa merupakan tonggak ambisi besar infrastruktur nasional. Dengan panjang lebih dari 500 kilometer dan estimasi biaya mencapai Rp 1.280 triliun.

Proyek ini mencerminkan keseriusan pemerintah pusat, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, dalam merespons krisis lingkungan yang semakin nyata: banjir rob yang rutin merendam kawasan pesisir, penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan, dan abrasi yang perlahan menggerus daratan. 

Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk memulai pembangunan, sembari menyadari bahwa proyek ini membutuhkan waktu setidaknya 15 hingga 20 tahun untuk rampung. Di tengah urgensinya, proyek ini membuka ruang refleksi mendalam bagi daerah-daerah yang akan terdampak langsung, terutama Provinsi Jawa Tengah.

Pesisir utara Jawa Tengah merupakan salah satu kawasan yang paling rentan terhadap ancaman iklim. Kota-kota seperti Semarang, Demak, dan beberapa kawasan lain setiap tahun menghadapi banjir rob yang kian parah. 

Di sejumlah titik, muka tanah telah turun hingga beberapa sentimeter per tahun, membuat garis pantai semakin mudah diterobos air laut. Dalam konteks inilah, Giant Sea Wall bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan intervensi besar yang menyangkut masa depan kehidupan jutaan warga pesisir. 

Maka, pertanyaan yang perlu diajukan bukan hanya seputar kapan proyek ini akan dimulai, tetapi bagaimana proyek ini akan dijalankan: siapa yang diikutsertakan, bagaimana prosesnya dijalankan, dan untuk siapa manfaatnya diarahkan.

Bagi Jawa Tengah, proyek ini menghadirkan tantangan tata kelola yang tidak ringan. Koordinasi antarpemerintah daerah lintas kabupaten/kota dan provinsi, akan sangat menentukan keberhasilan proyek ini di lapangan. Pemerintah daerah tidak boleh diposisikan hanya sebagai pelaksana teknis atau sekadar penerima manfaat. 

Tentu saja, mereka harus dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga implementasi, karena merekalah yang memahami struktur sosial, kebutuhan masyarakat, dan dinamika ruang yang selama ini berkembang di kawasan pesisir. 

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bisa menjadi navigator untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat serta para pihak yang terkait, terutama agar proyek tidak top down, tapi juga menyerap aspirasi rakyat dari bawah. 

Dampak lingkungan dan sosial harus menjadi perhatian utama. Pembangunan tanggul laut akan memengaruhi ekosistem pesisir secara signifikan. Perubahan arus laut, sedimentasi, dan potensi terganggunya habitat biota laut menjadi risiko ekologis yang tak bisa diabaikan. 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidup pada laut berisiko kehilangan akses terhadap sumber penghidupan mereka. Demikian pula dengan masyarakat pesisir yang kemungkinan besar akan terdampak oleh relokasi atau perubahan lanskap ruang hidupnya. 

Oleh karena itu, pembangunan harus diawali dengan kajian lingkungan hidup strategis dan analisis dampak sosial yang mendalam. Tidak cukup hanya memenuhi dokumen administratif, proses ini harus benar-benar melibatkan masyarakat dalam bentuk konsultasi publik yang bermakna dan transparan.

Dari sisi pembiayaan, proyek ini menuntut kejelasan dan akuntabilitas yang tinggi. Jumlah anggaran yang sangat besar menuntut adanya skema pembiayaan yang tidak hanya bergantung pada APBN, tetapi juga membuka ruang bagi investasi swasta dan kerja sama internasional. 

Namun demikian, masuknya investor asing maupun badan usaha swasta tidak boleh membuat kontrol atas proyek ini lepas dari tangan negara. Infrastruktur yang menyangkut perlindungan wilayah dan keselamatan rakyat harus tetap berada dalam kerangka kepentingan publik. Transparansi dalam mekanisme pembiayaan dan alokasi anggaran akan menjadi syarat mutlak untuk membangun kepercayaan publik terhadap proyek ini.

Aspek Sustainability 

Proyek Giant Sea Wall sejatinya juga menyimpan potensi besar untuk mendorong pembangunan ekonomi kawasan. Dengan perlindungan terhadap ancaman rob dan abrasi, lahan-lahan produktif yang selama ini terancam bisa diselamatkan. Kawasan industri di pesisir utara dapat dikembangkan dengan lebih aman, tanpa risiko gangguan akibat banjir pasang. 

Infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, jalan akses, dan sistem drainase terpadu juga bisa dibangun dengan pendekatan kawasan yang berkelanjutan. Di titik inilah peluang hadir bagi pemerintah daerah untuk menata ulang rencana tata ruang wilayah pesisir mereka, menyesuaikan dengan dinamika baru yang akan muncul pasca-pembangunan tanggul.

Di sisi lain, proyek ini juga membuka ruang bagi penguatan kapasitas daerah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus menyiapkan diri, baik dari sisi sumber daya manusia, kelembagaan, maupun regulasi daerah. Ini penting agar ketika proyek mulai berjalan, daerah tidak hanya menjadi penerima, tetapi juga mitra aktif dalam pengawasan, pengelolaan, dan pemeliharaan infrastruktur. 

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bisa didorong untuk terlibat dalam berbagai aspek proyek ini, mulai dari jasa konstruksi, penyediaan material, hingga pengelolaan fasilitas pendukung. Dengan demikian, manfaat ekonomi dari proyek ini tidak hanya mengalir ke pusat, tetapi juga menghidupkan ekonomi lokal. Penting untuk memperhatikan ekonomi sirkular dan aspek sustainability. 

Keberhasilan proyek Giant Sea Wall akan ditentukan oleh seberapa kuat visi kebijakan yang dibangun atas dasar kolaborasi lintas level pemerintahan. Pemerintah pusat perlu menetapkan kerangka regulasi dan standar teknis yang tegas, namun fleksibel dalam mengakomodasi kekhasan wilayah. Pemerintah provinsi harus memainkan peran strategis sebagai penghubung antara pusat dan daerah-daerah administratif yang terlibat. 

Sementara itu, pemerintah kabupaten dan kota harus menjadi ujung tombak dalam menyuarakan kebutuhan dan aspirasi warga. Di atas semuanya, masyarakat harus diberikan ruang untuk berpartisipasi, tidak hanya dalam bentuk sosialisasi satu arah, tetapi dalam bentuk dialog kebijakan yang sejajar dan bermakna.

Proyek sebesar dan sepanjang Giant Sea Wall juga menantang paradigma pembangunan kita: apakah infrastruktur besar selalu menjadi jawaban terbaik bagi setiap persoalan? Apakah pendekatan teknokratis cukup menjawab kompleksitas sosial-ekologis yang dihadapi masyarakat pesisir? Atau justru diperlukan pendekatan hibrida yang menggabungkan solusi teknis dengan pendekatan berbasis komunitas dan alam? 

Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa infrastruktur keras semacam tanggul laut hanya akan efektif jika dipadukan dengan perlindungan ekosistem alami, seperti restorasi mangrove, revitalisasi tambak, dan pengendalian eksploitasi air tanah.

Giant Sea Wall memang bukan proyek yang bisa ditunda. Namun mendesaknya pembangunan tidak boleh membuat kita melupakan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. Bagi pesisir Jawa Tengah, proyek ini membawa harapan besar, tetapi juga memerlukan sikap kritis agar pelaksanaannya tidak menjadi bumerang. 

Pemerintah daerah memiliki peran penting sebagai garda depan yang menjaga agar pembangunan tidak hanya memenuhi indikator teknis, tetapi juga menjawab kebutuhan riil masyarakat dan menjaga keberlangsungan ekosistem pesisir yang rapuh.

Jika dikelola dengan inklusif, transparan, dan berbasis data, Giant Sea Wall bisa menjadi warisan pembangunan yang melindungi generasi mendatang dari bencana ekologis. Tetapi jika dijalankan secara terburu-buru tanpa partisipasi dan perlindungan sosial yang memadai, proyek ini bisa menjadi simbol kegagalan dalam memahami wajah kompleks pembangunan pesisir Indonesia. 

Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa yang dibangun bukan hanya tembok raksasa, tetapi juga fondasi keadilan, keberlanjutan, dan masa depan yang lebih baik bagi warga pesisir.(*) 

***

*) Oleh : Kholid Abdillah, Ketua DPW Garda Bangsa Jawa Tengah, Anggota Komisi A DPRD Jateng dari PKB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.