Bukan Kasihan, Tapi Kesetaraan: Menggeser Pandangan terhadap Difabel
SHELL HELISA REDINA June 16, 2025 01:40 PM
Ungkapan semacam itu sering terdengar sebagai bentuk kekaguman. Namun, dibalik niat baiknya, ada sesuatu yang tak nyaman. Seolah-olah penyandang disabilitas harus diberi pujian hanya karena menjalani hidup sehari-hari. Padahal mereka hanya ingin satu hal yang lebih penting, yaitu diperlakukan sama.
Di tengah dorongan untuk inklusi, masih banyak orang yang secara tidak sadar melihat penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan. Pandangan ini berasal daricharity model of disability, yang merupakan sebuah cara pandang lama yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan yang butuh pertolongan dan kebaikan hati orang lain. Dalam model ini, difabel dianggap "kurang" dan harus ditolong oleh masyarakat yang "lebih beruntung".
Model ini sering kali hadir dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pemberitaan media, konten media sosial, maupun kampanye donasi. Penyandang disabilitas kerap kali ditampilkan dalam narasi tragis dan menyedihkan, seolah hidup mereka luar biasa hanya karena mampu bertahan.
Ungkapan tersebut menempatkan penyandang disabilitas sebagai pihak yang "kurang" dan menunggu belas kasih dari masyarakat umum. Penyandang disabilitas dipandang sebagai individu yang malang, tidak mampu, serta membutuhkan belas kasih dan bantuan amal, bukan sebagai individu yang mempunyai hak dan kemampuan untuk berkontribusi secara aktif di masyarakat.
Sudah saatnya kita bergeser ke cara pandang yang lebih setara. Kesetaraan yang mengakui hak dan kapasitas difabel sebagi individu yang otonom. Mereka tidak perlu dikasihani untuk dihargai. Yang mereka butuhkan adalah akses yang adil pada segala aspek dalam masyarakat dan partisipasi sosial.
Mengubah pandangan dari charity model ke social model of disability adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih adil. Dalam media sosial, disabilitas tidak dipandang sebagai kekurangan, melainkan sebagai bagian dari keberagaman manusia yang harus dihormati dan difasilitasi.
Kesetaraan bukan soal memberi tempat sebagai bentuk belas kasih, tapi soal memastikan bahwa setiap orang mempunyai posisi yang sama untuk berdiri dan melangkah. Dan itu dimulai dari cara kita memandang mereka bukan sebagai objek kasihan, tapi sebagai sesama manusia yang setara.