Penduduk Miskin Standard Bank Dunia vs Standard BPS, Apa Maknanya Untuk Kita?
Yuliasti Ika Handayani June 16, 2025 01:40 PM
Kabar terbaru dari laporan Bank Dunia bikin heboh: 194 juta orang Indonesia disebut masuk kategori miskin! Yap, ini bukan typo. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) cuma mencatat sekitar 24 juta orang sebagai penduduk miskin. Kok bisa beda jauh banget? Yuk, kita bedah bareng-bareng!
Bank Dunia baru aja memperbarui standar global untuk mengukur kemiskinan dengan Purchasing Power Parity (PPP) 2021. Sebelumnya, patokan garis kemiskinan global adalah USD 6,85 PPP per hari. Sekarang? Naik jadi USD 8,3 PPP per hari, atau sekitar Rp 49.244 per orang per hari. Naiknya angka ini bikin jumlah warga yang dikategorikan miskin jadi melonjak drastis.

194 Juta Orang Miskin? Kenapa Beda Banget sama Data BPS?

Menurut laporan World Bank edisi Juni 2025, 68,2% penduduk Indonesia punya pengeluaran di bawah Rp 49.244 per hari. Artinya, kalau kamu sehari-hari cuma mampu belanja di bawah angka itu, kamu masuk kategori "miskin" versi mereka. Kalau dihitung dari total populasi Indonesia tahun 2024 sebanyak 285,1 juta jiwa, berarti ada 194,4 juta orang yang tergolong miskin menurut standar ini. Wow!
Bandingin sama data dari BPS per September 2024: penduduk miskin cuma 8,57%, atau 24,06 juta orang.
Garis kemiskinan nasional dihitung berdasarkan kemampuan orang untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan dan non-makan.
Untuk makanan, BPS pakai standar minimal 2.100 kalori per orang per hari, dihitung dari 52 komoditas kayak beras, mie instan, bahkan rokok.
Untuk nonmakanan, mereka pakai 51 komoditas di kota dan 47 di desa, termasuk biaya sewa, transportasi, dan pendidikan.
Jadi, hasil akhirnya? Garis kemiskinan nasional pada September 2024: Rp 595.243 per kapita per bulan alias sekitar Rp 19.841 per hari. Jauh banget dari standar Bank Dunia tadi yang Rp 49 ribuan per hari.

Fakta Seru: Tiap Daerah Punya Garis Kemiskinan Sendiri

Garis kemiskinan di Indonesia itu nggak seragam, bro!
Di Jakarta, batasnya Rp 846.085/bulan.
Di Papua Pegunungan, malah bisa tembus Rp 1,08 juta/bulan.
Itu karena biaya hidup beda-beda, dan BPS ngitung berdasarkan wilayah. Tapi, garis kemiskinan nasional tetap pakai rata-rata nasional. Inilah kenapa banyak yang bilang metode ini udah waktunya di-upgrade.

Jadi, yang mana yang jadi acuan kita, data BPS atau Bank Dunia? Keduanya penting, tapi beda fungsi.

Bank Dunia: buat perbandingan antarnegara dan ngasih gambaran soal ketimpangan global.
BPS: buat kebijakan dalam negeri, karena lebih relevan dengan kondisi lokal.
Yang pasti, fakta bahwa banyak orang hidup dengan pengeluaran minim itu nyata. So, daripada debat angka, yuk fokus cari solusi: pendidikan, akses kesehatan, pekerjaan layak, dan tentu saja kebijakan yang adil.
Apa maknanya buat kita?
Buat kamu yang masih ngerasa hidup pas-pasan meski udah kerja keras, kamu nggak sendiri. Statistik global bahkan mengakui itu. Tapi daripada baper, mending kita jadi bagian dari perubahan: mulai dari awareness, kontribusi sosial, sampai dorong kebijakan publik yang lebih manusiawi.
Kalau kamu generasi muda yang peduli soal data dan realita hidup, jangan cuma baca, tapi sebarkan juga! Karena paham isu = langkah awal menuju perubahan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.