Satuan Hitung “Kepala Keluarga” Perlu Dicermati Penggunaanya
Mohamad Jokomono June 16, 2025 02:20 PM
Masih saya ingat, saat masa awal magang sebagai editor bahasa di Harian Suara Merdeka Semarang pada kisaran Maret 2001, diwanti-wanti benar oleh koordinator desk. Dan, ini pelajaran pertama yang benar-benar menancap di pikiran hingga kemudian hari saya mendapat mutasi ke redaktur hingga purnatugas pada pengujung 2024 lalu.
Pelajaran pertama tersebut, yaitu untuk berhati-hati mencermati penggunaan satuan hitung “kepala keluarga” atau yang lazim mendapat penyingkatan KK. Tidak semua konteks kalimat merupakan habitat yang tepat untuk asupan maknanya. Pelajaran pertama ini menjadi kesan mendalam dalam langkah menapaki seluruh perjalanan karier saya.
Laporan Penyerbuan Teroris
Delapan tahun kemudian, tepatnya pada Jumat, 18 September 2009, saya menemukan sebuah feature yang mengingatkan pada pelajaran pertama tadi. Kebetulan yang memantik perhatian saya adalah bagian awalnya. Berikut sajian kutipannya.
Malam itu, suasana tintrim (tenang) menyergap warga RT 3 RW 11, Kampung Kempuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo.
Saat mereka beranjak terlelap, Rabu (16/9) malam, bukannya bunyi jengkerik yang menemani.
Kampung yang dihuni lebih dari 100 kepala keluarga itu justru mendapat “iringan” berondongan tembakan bak suasana film perang.
Laporan ini mengisahkan tentang fakta penyergapan aparat Polri dan Densus 88 yang memungkasi sepak terjang buronan teroris kelas wahid Noordin M. Top. Kutipan di atas merupakan penggalan deskripsi awal dari feature tersebut.
Kepala Keluarga
Kali ini pun saya menemukan penggunaan satuan hitung “kepala keluarga” yang perlu memperoleh pencermatan yang saksama. Satu pertanyaan kembali menggugat logika bahasa saya.
Apakah pemakaian satuan hitung “kepala keluarga” dalam kalimat “Kampung yang dihuni lebih dari 100 kepala keluarga itu justru mendapat ‘iringan’ berondongan tembakan bak suasana film perang” sudah benar?
Jalan penalaran pun bisa dilempangkan dengan penelusuran pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring). Mohon maaf kalau ada sedikit anakronisme antara contoh kasus (2009) dan rujukan untuk penelusurannya. Tapi tak mengapa, subjek pembaca yang saya bayangkan ada di masa kini.
Ayah sebagai figur kepala keluarga membatu putranya membuat alat peraga pendidikan. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ayah sebagai figur kepala keluarga membatu putranya membuat alat peraga pendidikan. (Sumber: Shutterstock)
Pada lema “kepala” di KBBI VI Daring, terdapat gabungan kata “kepala keluarga”, artinya “orang yang bertanggung jawab terhadap suatu keluarga (biasanya bapak)”. Sementara itu, lema “keluarga” merujuk artian “ibu dan bapak beserta anak-anaknya”.
Keluarga meliputi ibu dan ayah beserta anak-anaknya. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga meliputi ibu dan ayah beserta anak-anaknya. (Sumber: Shutterstock)
Landasan Makna Leksikal
Dengan landasan makna leksikal ini, bila kita berbicara satuan hitung “kepala keluarga” maka pada hakikatnya kita hanya berbicara mengenai satu orang saja.
Akan tetapi, bila kita menyebut “keluarga” maka cakupannya terdiri atas kepala keluarga (biasanya bapak/ayah) beserta para anggota keluarga (ibu/istri) dengan anak (bisa seorang saja, bisa beberapa).
Oleh karena itu, jika kita berpegang pada logika bahasa yang sehat, semestinya penggunaan satuan hitung “kepala keluarga” dalam kalimat “Kampung yang dihuni lebih dari 100 kepala keluarga itu justru mendapat ‘iringan’ berondongan tembakan bak suasana film perang”, sesungguhnya kurang tepat.
Sebab, kalau kita menyebut warga RT 3 RW 11, Kampung Kempuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo berjumlah lebih dari 100 kepala keluarga, yang menjadi subjek terhitung hanyalah para kepala keluarganya saja. Logika bahasa ini kurang tepat, karena yang ikut mendengar suara berondongan tembakan juga anggota keluarga masing-masing.
Logika bahasanya akan lebih masuk, jika satuan hitung “keluarga” yang digunakan dalam konteks ini. Dengan demikian, kalimat yang seharusnya adalah “Kampung yang dihuni lebih dari 100 keluarga itu justru mendapat ‘iringan’ berondongan tembakan bak suasana film perang”. ***
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.